Keadilan bagi Korban Pelecehan Seksual Terus Diperjuangkan
Berdasarkan fakta sidang, terdakwa mengakui telah melakukan tindakan kekerasan yang didakwa terhadapnya. Dari hasil visum juga telah ditemukan ada tindakan kekerasan. Persoalan tidak adanya saksi saat peristiwa kekerasan tersebut terjadi tidak dapat menjadi alasan terdakwa dibebaskan sebab sebagian besar tindakan kekerasan seksual pada anak tidak ada saksi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus pelecehan seksual yang dialami kakak beradik J (14) dan J (7) masih ditindaklanjuti. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang membebaskan terdakwa HI (41) dipandang sebagai bentuk ketidakadilan bagi korban.
Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta pun telah berusaha mendampingi dan mengawal kasus tersebut untuk memberikan keadilan bagi korban. Bahkan, kini mereka mencari dukungan masyarakat melalui penandatanganan petisi daring Change.org.
Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta Uli Pangaribuan mengatakan, pada kasus ini terdapat kejanggalan dalam proses pemeriksaan terhadap korban dan pengambilan keputusan.
”Jaksa sudah menuntut hukuman 14 tahun penjara bagi terdakwa, tetapi hakim membebaskan terdakwa dengan alasan tidak ada saksi,” kata Uli saat dihubungi di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Menurut Uli, dalam persidangan, seharusnya jaksa keberatan ketika korban diperiksa dalam kondisi psikis sedang trauma. Korban juga tidak mendapatkan pendampingan hukum, sedangkan terdakwa didampingi pengacara.
Dalam persidangan, terdakwa juga mengakui telah melakukan tindakan kekerasan. Dari hasil visum juga telah disebutkan ada bekas luka pada korban. Kedua bukti tersebut seharusnya sudah kuat untuk menghukum terdakwa.
Melihat banyaknya kejanggalan tersebut, LBH APIK Jakarta telah menyurati Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Yudisial (KY), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), serta Kantor Staf Presiden (KSP). Saat ini, KY telah merespons dan dalam waktu dekat mereka akan memenuhi undangan dimintai keterangan.
Komisioner Bidang Anak Berhadapan Hukum KPAI Putu Elvina mengatakan, KPAI telah menyurati Mahkamah Agung untuk meninjau ulang putusan bebas pada pelaku. Surat tersebut disampaikan berdasarkan laporan dari LBH APIK dan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bogor.
”Laporan tersebut ditindaklanjuti karena ada kejanggalan yang tidak sesuai prosedur dalam pemeriksaan,” kata Elvina. Ia berharap, MA dapat meninjau ulang permohonan kasasi dari jaksa.
Berdasarkan fakta sidang, terdakwa mengakui telah melakukan tindakan kekerasan yang didakwa terhadapnya. Dari hasil visum juga telah ditemukan ada tindakan kekerasan. Persoalan tidak adanya saksi saat peristiwa kekerasan tersebut terjadi tidak dapat menjadi alasan terdakwa dibebaskan sebab sebagian besar tindakan kekerasan seksual pada anak tidak ada saksi.
Unsur-unsur pemidanaan yang ada pada terdakwa seharusnya layak menjadi pertimbangan. Hal tersebut menjadi bentuk keadilan dan kepastian hukum dari negara bagi korban kekerasan.
Upaya banding
Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA Nahar mengatakan, Kementerian PPPA sudah berkoordinasi dengan Dinas PPPA Kabupaten Bogor terkait kasus kekerasan yang menimpa kedua kakak beradik tersebut. KPPPA telah meminta Dinas PPPA Bogor untuk berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum tentang peluang melakukan upaya banding atas putusan tersebut demi kepentingan terbaik bagi anak.
Korban juga telah mendapatkan pendampingan psikologis oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta KPAD Kabupaten Bogor. Terkait dengan kejanggalan pada proses persidangan, Nahar perlu memastikan terlebih dahulu melalui upaya hukum banding atau kasasi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, mengaku belum mendapatkan laporan terkait kasus kekerasan seksual yang menimpa kakak beradik tersebut. Meski demikian, dirinya akan memprosesnya melalui penegakan hukum secara proporsional.
”Saya akan mencari tahu terkait kasus ini dan akan mengawalnya. Kita tidak ingin ada kekerasan anak dan perempuan di Indonesia,” ujar Arteria. Komisi III DPR membidangi masalah hukum.
Terkait dengan tidak adanya saksi yang menjadi alasan hakim membebaskan terdakwa, Arteria mengkritisi keputusan tersebut. Ia menuturkan, saksi hanya menjadi salah satu alat bukti.
Petunjuk persidangan dapat diperoleh melalui alat bukti lainnya, seperti visum dan keterangan pelapor. ”Dua alat bukti persidangan sudah cukup. Jika semua harus ada saksi, maka semua pelaku kejahatan seksual akan lepas,” ujar Arteria.