BOGOR, KOMPAS — Enam petugas Panitia Pemungutan Suara atau PPS di Kota dan Kabupaten Bogor meninggal dan belasan orang sakit. Mereka diduga kelelahan saat melaksanakan penghitungan dan pengamanan surat suara. Komisi Pemilihan Umum Kota dan Kabupaten Bogor mengakui pelaksanaan pemilu kali ini memang berat.
”Ada dua petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kami yang meninggal. Delapan orang sakit sampai dirawat di rumah sakit. Mereka kelelahan setelah melaksanakan tugas pemungutan dan penghitungan suara,” kata Ketua KPU Kota Bogor Samsudin, Rabu siang.
Salah satu petugas yang meninggal di Kota Bogor adalah Rasti (24). Rasti merupakan petugas KPPS 31 Kelurahan Bondongan, Bogor Selatan. Ia meninggal pada Minggu (21/4/2019) di rumah sakit. Petugas lain yang mengembuskan napas adalah Anwar Sofian Harahap (66), Ketua KPPS 75 Kelurahan Tegalgundil, Bogor Utara. Anwar meninggal di rumahnya, Selasa lalu.
”Menurut orangtua Rasti, almarhum punya riwayat penyakit jantung atau asma. Namun, Rasti juga menjadi KPPS saat Pilkada 2018, dan ia tidak apa-apa. Karena pemilu kali ini luar biasa ’edan’ dan melelahkan, jangankan yang sangat sakit, yang sehat juga ambruk. Jadi selain faktor sakit, Rasti juga kelelahan. Kalau alamahum Anwar, sebelum meninggal, ia mengeluh dadanya sakit,” tutur Samsudin.
Yang sekarang masih sakit dan dirawat di rumah sakit, menurut Samsudin, usianya 30-50 tahun. Kerja di TPS memang sangat berat kali lini karena ada lima kotak suara. Penghitungan surat suara rata-rata selesai pukul 02.00, tetapi ada juga yang baru selesai pukul 08.00. Petugas harus segera menyerahkan kotak suara ke kelurahan untuk diteruskan ke kecamatan.
Sementara Komisioner KPU Kabupaten Bogor Heri Setiawan mengatakan, empat petugas KPPS meninggal dan belasan orang sakit. Usia mereka yang meninggal di atas 50 tahun. ”Mereka kelelahan melaksanakan tugasnya di TPS,” katanya.
”Kami belum dapat data yang akurat berapa yang masih dirawat di rumah sakit. Sebab, yang sakit ini bukan hanya petugas KPPS, tetapi juga ada anggota linmas di bawah pemkab dan pengawas di bawah Bawaslu,” tutur Heri, kemarin.
Mereka yang sakit, kata Heri, ada yang masih koma dan dirawat di rumah sakit. Ada yang mengalami pendarahan dan terkena tipes. ”Mereka usianya masih muda, di bawah 30-an tahun. Namun, karena faktor kerja yang luar biasa, capek, makan tidak teratur, rekapnya di gudang yang sirkulasi udara tidak bagus dan panas, maka risikonya sakit,” ujar Heri.
Menurut Heri, kemungkinan akan ada santunan bagi mereka dari KPU RI, yang akan disalurkan lewat KPU kota/kabupaten. Karena itu, pendataan semua korban dilakukan KPU.
Ia menambahkan, pemilu kali ini memang lebih detail dan rumit, tetapi bisa memperkecil kecurangan, misalnya pengalihan suara. Sebab, penghitungannya per-TPS secara berjenjang dan lebih detail.
”Saya rasa KPU RI sudah melakukan evaluasi. Kami pun melakukan tugas sesuai ketentuan dari KPU RI,” katanya.
Pencegahan
Pada Rabu ini, penghitungan surat suara di tingkat kecamatan masih berlangsung, dan penghitungan itu harus selesai pada 4 Mei. KPU mempediksikan hal ini tercapai tidak lewat waktu.
”Kami mengupayakan semua sesuai jadwal. Untuk ini beberapa antisipasi kami lakukan, yaitu mencegah petugas sakit dan lainnya. Kami berkoordinasi dengan Bawaslu dan saksi-saksi bahwa waktu rapat pleno dibatasi maksimal sampai pukul 18.00, setelah itu mereka harus istirahat,” tuturnya.
Selain itu, KPU bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bogor menyiagakan mobil ambulans dan tim pelayanan kesehatan di lokasi penghitungan suara serta menyiapkan petugas di puskesmas terdekat.
Sejauh ini, lanjut Samsudin, pihaknya sudah mengunjungi rumah petugas yang meninggal dan menjenguk yang sakit, termasuk memberi bantuan sesuai kemampuan.
”KPU provinsi dan pusat sudah menghubungi kami, meminta data para korban, baik yang meninggal maupun yang sakit. Informasinya, mereka tengah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, membicarakan kemungkinan ada alokasi dana untuk bantuan atau santunan. Hasilnya, kami belum dapat informasi lanjutannya,” tutur Samsudin.
Perlu evaluasi
Terkait banyaknya petugas yang sakit bahkan meninggal, Samsudin menilai, evaluasi yang harus dilakukan adalah evaluasi pemilu yang menggabungkan pilpres dengan pileg. Sekarang ini ada lima kotak suara yang prosesnya dilaksanakan dalam waktu bersamaan.
”Kemarin, saya lihat petugas nyaris tidak bisa istirahat, bahkan untuk ke kamar mandi pun sulit. Sebab dibatasi waktu dan tahapan pelaksanaan,” katanya.
Evaluasi lainnya, lanjut Samsudin, bisa tidak pelaksanaan pemilu dilakukan serentak berdasarkan tahapannya atau tingkatannya. Misalnya, jadi dua atau tiga tahap, yaitu pemilihan presiden dengan DPD dan DPR RI, gubernur dengan DPRD provinsi, dan bupati/wali kota dengan DPRD kabupaten/kota. ”Sehingga terbagi dan masyarakat juga lebih bisa meneliti calon yang akan dipilihnya. Jadi, secara nasional akan ada dua atau tiga kali pemilu serentak,” ujarnya.