Pengembangan penyehatan tradisional atau pengobatan tradisional menghadapi tantangan, mulai dari kualitas dan kuantitas bahan baku yang menurun, sulitnya mendapat izin praktik, dan izin edar. Pengobatan tradisional pun terancam ditinggalkan karena minimnya riset.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
DELI SERDANG, KOMPAS – Pengembangan penyehatan atau pengobatan tradisional menghadapi tantangan, mulai dari kualitas dan kuantitas bahan baku yang menurun, sulitnya mendapat izin praktik, dan izin edar. Pengobatan tradisional pun terancam ditinggalkan karena minimnya riset.
Hal itu terungkap dalam seminar bertema “Tantangan Penyehat Tradisional Ke Depan” yang diselenggarakan Perkumpulan Aktivis Penyehat Alternatif Sumatera Utara (P-APASU) di Training Centre Sayum Sabah, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (25/4/2019).
“Kendala paling dominan yang dihadapi para penyehat tradisional adalah sulitnya mengurus izin praktik penyehat tradisional dan izin edar obat tradisional,” kata Ketua P-APASU Muhammad Yusuf Harahap dalam semintar yang difasilitasi Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia tersebut.
Menurut Yusuf, diperkirakan ada ribuan penyehat tradisional baik dalam bidang keterampilan, ramuan, maupun kombinasinya di Sumut. Bidang keterampilan itu biasanya menyediakan jasa pijat, dukun patah tulang, akupuntur, hingga akupresur. Sementara di bidang ramuan menyediakan obat tradisional yang didapat dari tanaman.
Yusuf mengatakan, untuk membuka praktik, penyehat tradisional harus mempunyai surat terdaftar penyehat tradisional (STPT) yang dikeluarkan dinas kesehatan atau pelayanan terpadu satu pintu di kabupaten/kota yang berlaku selama dua tahun. Selain itu, ramuan yang mereka buat juga masih banyak yang belum mendapat izin edar.
“Sebagian besar penyehat tradisional belum mempunyai STPT. Ini karena banyak yang tidak tahu aturan, cara, dan tempat mengurus izin,” katanya.
Selain perizinan, kata Yusuf, kesulitan lain yang mereka hadapi adalah semakin sedikitnya bahan baku membuat ramuan. Bahan baku yang ada pun kualitasnya sudah menurun.
“Berkurangnya pasokan bahan baku ramuan ini antara lain disebabkan banyaknya hutan yang hilang. Padahal, peramu obat tradisional itu banyak di desa penyangga hutan. Kini, hutannya hilang, tanaman obatnya pun ikut hilang,” kata Yusuf.
Yusuf mencontohkan, tanaman kumis kucing yang beberapa puluh tahun lalu banyak tumbuh di pekarangan desa atau di pinggir hutan. Kini, tanaman yang biasa diramu untuk pengobatan gangguan ginjal itu sudah sulit ditemukan. Kalaupun ada, khasiatnya kemungkinan besar sudah berkurang karena terkontaminasi polusi udara.
Tanaman lainnya yang mengalami penurunan kualitas adalah akar lalang. Tanaman ini banyak digunakan dalam berbagai jenis ramuan tradisional. “Namun, khasiatnya kini berkurang karena sebagian besar lalang terkontaminasi residu pestisida di tanah,” kata Yusuf.
Wakil Direktur Bitra Indonesia Iswan Kaputra mengatakan, pengobatan tradisional adalah bagian dari kebudayaan Indonesia yang terancam ditinggalkan dan hilang. Padahal, pengobatan itu sangat cocok untuk Indonesia, khususnya pedesaan yang jauh dari fasilitas kesehatan medis. “Biaya pengobatan tradisional juga lebih terjangkau bagi warga desa,” kata Iswan.
Anggota Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional Dinas Kesehatan Sumut Sri Agustina Sembiring mengatakan, masyarakat Indonesia sangat lekat dengan pengobatan tradisional. Obat tradisional adalah warisan dari leluhur dan sudah merasakan manfaatnya. “Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2010, sebanyak 59,1 persen masyarakat pernah minum jamu dan 95,6 persen di antaranya merasakan manfaatnya,” katanya.
Akan tetapi, kata Sri, berbagai regulasi terus dibuat pemerintah untuk pengawasan dan pembinaan penyehat tradisional. Pembinaan dilakukan untuk mengembangkan layanan penyehatan tradisional. Di sisi lain pemerintah juga harus melindungi konsumen dari malpraktik yang cukup sering terjadi dengan mengatasnamakan pengobatan tradisional.
Staf Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan Aminah Fuady Siregar mengatakan, sangat sedikit penyehat tradisional yang mengurus izin edar obat atau ramuan tradisional. Tahun 2018, hanya ada 20 yang mendaftar dan hanya delapan yang lolos mendapat izin edar.
“Tahun ini, baru dua produk obat tradisional yang mendapat izin edar,” kata Aminah.
Aminah mengatakan, mereka terus berupaya untuk menyederhanakan izin edar obat tradisional. Izin edar itu sangat bermanfaat agar produk penyehat tradisional bisa dipasarkan di apotek, toko obat, maupun fasilitas kesehatan lainnya.