Daur ulang sampah plastik global terganggu setelah China mengeluarkan kebijakan larangan menerima sampah plastik. Asia Tenggara jadi tujuan alternatif.
KUALA LUMPUR, SENIN —Selama bertahun-tahun, China menerima sebagian besar plastik bekas dari seluruh dunia, mengolahnya menjadi bahan berkualitas lebih tinggi yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Namun, pada awal 2018, China memilih menutup pintunya untuk hampir semua sampah plastik dari luar negeri.
Langkah itu diambil China dalam upaya melindungi lingkungan lokal dan kualitas udara. Jumlah impor limbah plastik ke China per tahun mencapai 7 juta ton atau senilai 3,7 miliar dollar AS. Kondisi tersebut membuat negara-negara maju berjuang menemukan tempat untuk mengirim limbah mereka. Pilihan pun dialihkan kepada sejumlah negara, khususnya di Asia Tenggara.
”Hal itu layaknya sebuah gempa bumi,” kata Arnaud Brunet, Direktur Jenderal Biro Daur Ulang Internasional, sebuah grup industri yang berbasis di Brussels, Belgia. ”China adalah pasar terbesar untuk proses daur ulang global. Pelarangan itu mengakibatkan keterkejutan di pasar global,” ujarnya.
Beralih
Dalam laporan oleh Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) dan Greenpeace Asia Timur yang menganalisis 21 eksportir dan importir teratas limbah plastik daur ulang dari 2016 hingga 2018—waktu sebelum dan sesudah China berhenti menerima kiriman limbah plastik—ditemukan bahwa impor limbah plastik ke Thailand, Malaysia, dan Vietnam melonjak dari pertengahan 2017 hingga awal 2018.
Dalam laporan yang dirilis pada Selasa (23/4/2019) di Kuala Lumpur, Malaysia, disebutkan, ironisnya kegiatan itu mengarah pada operasi ilegal pembuangan dan pembakaran terbuka, mencemari pasokan air, membunuh tanaman, dan menyebabkan penyakit pernapasan.
”Untuk negara-negara maju, itu membuat mereka merasa senang karena menyangkut limbah mereka yang seharusnya didaur ulang, tetapi pada kenyataannya itu berakhir di negara-negara yang tidak dapat menangani limbah,” tutur Beau Baconguis, juru kampanye plastik di GAIA.
”Jadi, polusi menuju selatan ke negara-negara yang tidak memiliki kapasitas itu,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
Menimbulkan protes
Sejumlah studi menunjukkan, polusi dan kerusakan lingkungan terkait peningkatan limbah plastik menjadi dikenal di negara seperti Malaysia dan Thailand selama 2018. Protes pun timbul dengan tuntutan perlunya peraturan limbah yang ketat dan pembatasan impor.
Dampaknya, limbah plastik dalam volume besar kemudian mengalir ke sejumlah negara, seperti Indonesia dan India, atau negara dengan peraturan tentang perdagangan limbah yang lebih lunak, kata studi itu.
”Ini sistem predator, sekaligus semakin tidak efisien. Setiap perulangan baru menunjukkan semakin banyak plastik keluar dari jaringan di mana kita tidak bisa melihat apa yang terjadi selanjutnya; sebuah kondisi yang tidak dapat diterima,” tutur Kate Lin, juru kampanye Greenpeace untuk wilayah Asia Timur yang berbasis di Hong Kong.