Tujuh Tahun Terkatung-katung, RUU Perampasan Aset Dibutuhkan
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Fokus pemidanaan terhadap kejahatan yang merugikan negara seharusnya tak hanya terpusat pada penghukuman pelaku, tetapi juga pada pemulihan aset melalui perampasan barang-barang hasil kejahatan itu sendiri. Namun, tujuan itu seringkali terhenti karena aspek legislasi.
Selama ini perampasan aset masih menunggu putusan inkrah dari pengadilan, sehingga berpotensi aset-aset itu hilang. Oleh karena itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) didorong segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang naskah akademiknya telah diserahkan ke DPR pada 2012.
Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Santoso mengatakan, perampasan aset hasil kejahatan pidana tak perlu sampai menunggu ada tuntutan pidana. Sebab, seringkali, aset hasil kejahatan hilang begitu saja setelah terdakwa dinyatakan bersalah.
"Pengejaran aset hasil kejahatan pun menjadi tak optimal. Tetapi, kita perlu UU yang mengatur itu, salah satunya lewat Rancangan UU Aset Perampasan yang sekarang sebenarnya sudah ada drafnya," ujar Budi dalam Diskusi Publik "Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan dan Peluang Penerapannya dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi" di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Hadir pula dalam diskusi itu, antara lain Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung Surya Jaya, Direktur Tindak Pidana Pencucian Uang Deputi Bidang Pemberantasan di Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigadir Jenderal (Pol) Bahagia Dachi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Nur Sholikin, serta Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Yunus Husein.
Naskah akademik RUU Perampasan Aset sebenarnya telah diserahkan kepada DPR sejak 2012. Namun hingga saat ini, RUU tersebut selalu gagal masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan.
Naskah akademik RUU Perampasan Aset sebenarnya telah diserahkan kepada DPR sejak 2012. Namun hingga saat ini, RUU tersebut selalu gagal masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan.
Oleh karena itu, menurut Budi, sembari menunggu RUU itu diusulkan kembali ke Prolegnas Tahun 2020, setidaknya perlu ada beberapa penyempurnaan terkait yurisdiksi dari perampasan aset itu sendiri.
Pertama, perampasan aset harus bisa dilakukan secara transnasional karena selama ini aset kejahatan tak hanya ada di Indonesia. Kedua, perampasan aset harus bersifat umum, tak terbatas di tindak pidana tertentu.
"Jadi nanti bukan hanya tindak pidana korupsi semata. Karena, kalau dilihat historisnya, masalah ini kerap terkait dengan pemberantasan terhadap narkoba," tutur Budi.
Brigjen (Pol) Bahagia Dachi membenarkan, perampasan aset seharusnya tak perlu menunggu putusan inkrah dari pengadilan. Sebab, proses itu terlalu panjang.
Bahkan, menurut dia, tahanan narkoba saja saat ini bisa bertransaksi di dalam lembaga pemasyarakatan. "Kalau menunggu inkrah, prosesnya begitu panjang dan aset hasil kejahatan itu bisa hilang," tutur Dachi.
Yunus Husein menambahkan, penegak hukum saat ini harus mampu mengubah pola pikir pemidanaan dalam upaya menanggulangi kejahatan. Subjek pemidanaan tak bisa lagi hanya dilihat sebatas pelaku kejahatan, tetapi uang. Apalagi, itu menyangkut kerugian negara.
"Jangan mengejar orang, tetapi follow the money. Kalau tidak, negara malah kedodoran dan kewalahan mengejar orang-orang itu," kata Yunus.
Menurut Yunus, yang utama dalam upaya penerapan perampasan aset tanpa pemidanaan adalah uang itu harus patut diduga berasal dari tindak kejahatan. Hal itu telah diatur dalam Pasal 67 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pintu masuk
Surya Jaya menilai, upaya monitoring aset hasil kejahatan sebenarnya bisa dimulai sejak pejabat negara melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK. Perampasan aset hasil kejahatan bisa diterapkan apabila penegak hukum mulai menduga ada kekayaan yang diperoleh dengan cara tak wajar (illicit enrichment) atas pejabat negara tersebut.
"Baru setelah lapor LHKPN, kita terapkan pembuktian terbalik. Itu pendekatan NCB (Non-Conviction Based) Asset Forfeiture (perampasan aset tanpa pemidanaan) yang paling tepat untuk diterapkan. Tetapi, itu pun perlu payung hukumnya," kata Surya.