Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman sebagai tersangka kasus dugaan suap untuk pengurusan dana alokasi khusus Kota Tasikmalaya 2018.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman sebagai tersangka kasus dugaan suap untuk pengurusan dana alokasi khusus Kota Tasikmalaya 2018.
Penetapan status ini merupakan pengembangan perkara penerimaan suap oleh mantan pejabat Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo, yang telah divonis bersalah dalam kasus suap dan gratifikasi dari sejumlah penyelenggara negara.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengumumkan informasi tersebut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (26/4/2019). ”Tersangka diduga memberi uang total sebesar Rp 400 juta terkait dengan pengurusan DAK (dana alokasi khusus) untuk Kota Tasikmalaya tahun anggaran 2018 kepada Yaya Purnomo dan kawan-kawan,” katanya.
Penetapan status tersangka dilakukan setelah KPK mengumpulkan sejumlah bukti dalam proses penyidikan, antara lain dari penggeledahan yang dilakukan dua hari terakhir. KPK menggeledah empat lokasi, yaitu Kantor Wali Kota Tasikmalaya pada Rabu (24/4/2019), Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kantor Dinas Kesehatan, dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Tasikmalaya.
Pengumpulan bukti juga telah dilakukan dalam proses penyidikan dan pencermatan fakta-fakta persidangan pihak-pihak terkait dalam perkara awal, seperti dari terpidana Yaya Purnomo. Febri menjelaskan, pertemuan tidak wajar antara Budi dan Yaya terjadi pada awal 2017. Dalam pertemuan itu, Yaya menawarkan bantuan pengurusan DAK untuk Tasikmalaya.
”BBD (Budi Budiman) pun bersedia memberikan komisi jika Yaya membantunya mendapatkan alokasi DAK. Pada Mei 2017, BBD mengajukan usulan DAK untuk Kota Tasikmalaya tahun 2018 kepada Kementerian Keuangan. Beberapa bidang yang diajukan dalam usulan tersebut adalah jalan, irigasi, dan rumah sakit rujukan,” papar Febri.
Sejak saat itu, Budi diduga beberapa kali bertemu dengan Yaya untuk memberi uang secara bertahap. Pertama, uang Rp 200 juta diberikan pada Juli 2017. Pemberian kedua sejumlah Rp 200 juta dilakukan pada April 2018.
Budi pun disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto pasal 64 Ayat 1 KUHP karena ia diduga menjanjikan atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan kewajiban dalam jabatannya.
Budi menjadi tersangka ke-7 dalam pusaran kasus dugaan suap terkait usulan DAK dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan tahun anggaran 2018 yang diawali dengan operasi tangkap tangan pada Jumat, 4 Mei 2018, di Jakarta.
Sebelumnya, ada empat orang yang sudah divonis bersalah dalam kasus ini. Dua di antaranya adalah mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Amin Santono, serta mantan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo.
Dua lainnya adalah terpidana perantara Eka Kamaludin dan pengusaha Ahmad Ghiast. Sementara dua orang lainnya masih dalam tahap penyidikan, yaitu anggota DPR, Sukiman, dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, Natan Pasomba.
Fokus pencegahan
Sekian banyak penyelenggara negara yang terungkap memainkan DAK, yang bersumber dari APBN, membuat KPK akan terus memfokuskan sisi pencegahan untuk mengamankan penyalahgunaan dalam pengajuan ataupun penggunaan DAK untuk daerah.
”DAK yang bersumber dari pendapatan APBN dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana ini seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas yang menunjang kesejahteraan rakyat,” kata Febri.
Konflik kepentingan
Dari kajian terkait DAK pendidikan pada tahun 2009, KPK menemukan bahwa alokasi DAK kerap tidak sesuai kebutuhan daerah. Terdapat konflik kepentingan dalam pengadaan. Lalu, tidak semua aset yang diperoleh dari DAK tercatat dan penggunaan DAK tidak sesuai peruntukan.
”Tahun ini, KPK kembali melakukan kajian DAK pendidikan. Kajian tersebut masih berjalan hingga saat ini. Artinya, DAK akan terus menjadi perhatian KPK dari sisi pencegahan,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, pernah mengatakan, upaya penyelenggara negara untuk mendapatkan dana daerah melalui cara suap, yang kerap disebut praktik ”membeli uang”, juga harus jadi fokus pencegahan pemerintah pusat.
Upaya pencegahan itu harus dikuasai Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), salah satunya dengan mengawasi pembuatan anggaran daerah. ”Kemendagri harus mengoptimalkan peran provinsi sebagai koordinator dalam hal pengawasan," ujarnya (Kompas, 8/2/2019).