JAKARTA, KOMPAS - Inflasi tercatat stabil dan cukup rendah selama triwulan I 2019. Harga barang terjaga bukan karena permintaan yang melemah, tetap lebih karena pasokan barang cukup memadai. Sayangnya, pemerintah masih terlalu mengandalkan impor untuk menjaga pasokan barang tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip di Jakarta, Jumat (26/4/2019), menyebutkan, inflasi secara berturut-turut sebesar 0,32 persen, -0,08 persen, dan 0,11 persen pada selama Januari-Maret 2019. Inflasi tercatat turun dibandingkan periode yang sama pada 2018, yaitu sebesar 0,62 persen, 0,17 persen, dan 0,2 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal Jumat (26/4/2019) berpendapat, inflasi awal 2019 lebih rendah dibandingkan 2018 karena antisipasi pemerintah semakin baik dalam meredam lonjakan harga, terutama beras dengan mengimpor dan menjaga stok beras jauh-jauh hari.
Adapun pada 2018, pemerintah baru melakukan impor beras setelah harga beras naik.
“Namun, pemerintah perlu mewaspadai potensi inflasi menjelang bulan Ramadhan pada tahun ini. Selain itu, pemerintah perlu antisipasi kemungkinan harga minyak dunia yang secara bertahap terus naik,” ujar Faisal.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyampaikan, meskipun manajemen stok membaik, sejumlah komoditas indikator inflasi masih harus diimpor.
“Kondisi ini menunjukkan inflasi terjaga, tetapi tidak ada produktivitas di dalam negeri. Jadi, tidak ada dampak signifikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat,” tuturnya.
Daya beli membaik
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menambahkan, inflasi yang rendah saat ini bukan berarti daya beli masyarakat sedang menurun. Inflasi yang terjaga justru berdampak positif pada daya beli masyarakat.
BI mencatat, indeks penjualan riil (IPR) secara berturut-turut sebesar 7,2 persen dan 9,1 persen selama Januari-Februari 2019. Untuk sementara, IPR diperkirakan sebesar 8 persen pada Maret 2019.
IPR pada 2019 lebih tinggi dari penjualan eceran pada tahun lalu. Selama Januari-Maret 2018, IPR sebesar -1,8 persen, 1,5 persen, dan 2,5 persen.
“Saat ini, daya beli masyarakat menengah ke atas sedang membaik. Konsumsi masyarakat kalangan menengah ke atas secara tidak langsung akan mendorong konsumsi masyarakat bawah,” kata Hariyadi.
Sebagai contoh, pembelian properti akan mendorong geliat industri semen, besi, dan kayu serta kebutuhan akan tenaga kerja. Menurut dia, kondisi ini berbeda pada 2017, yang saat itu inflasi rendah memang disebabkan oleh daya beli yang menurun.
Pacu produktivitas
Enny berpendapat, pemerintah perlu segera memacu produktivitas komoditas indikator inflasi dalam negeri. Hal ini bertujuan agar ketergantungan terhadap impor dalam menjaga inflasi dapat berkurang.
“Ini harus dicari titik keseimbangan antara produktivitas dalam negeri dan impor. Pemerintah perlu memilih prioritas apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus menjaga harga tetap stabil,” kata Enny.
Dengan perbaikan produktivitas, lanjutnya, daya beli masyarakat akan semakin meningkat. Parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui daya beli masyarakat membaik adalah upah petani. Margin antara ongkos produksi dan harga jual perlu diperhatikan agar tidak terlalu tipis.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Tata Kelola Perusahaan dan Tanggung Jawab Sosial, Suryani S Motik, menambahkan, pemerintah dapat menaikkan daya beli masyarakat melalui penyediaan insentif pajak bagi pelaku industri yang hendak menaikkan kapasitas produksi.
Dengan demikian, investasi ikut meningkat sehingga berdampak positif pada penyediaan lapangan pekerjaan baru. Lapangan pekerjaan baru dapat menambah kemampuan masyarakat untuk berbelanja.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan, inflasi pada awal 2019 cukup terjaga. BI memperkirakan inflasi hingga akhir 2019 akan lebih rendah dari sasaran inflasi awal sebesar 3,5 persen.
“Semua indikator penyumbang inflasi dan berbagai harga komoditas terkendali. Inflasi inti rendah karena kenaikan permintaan komoditas dalam negeri masih dipenuhi oleh pasokan yang ada,” kata Perry.