Merawat Bhinneka Tunggal Ika
Pemilu yang seharusnya menjadi ajang pendidikan politik kewargaan justru menjadi pisau pembelah masyarakat. Narasi dari para elite, alih-alih memperkuat ikatan kebangsaan, malah memperlebar perbedaan di masyarakat.
Perbedaan dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang baru. Para pendiri bangsa secara sadar memilih semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai satu-satunya kalimat dalam konsensus di burung Garuda Pancasila. Kesadaran para pendiri bangsa ini menjadi keniscayaan karena mereka sadar akan rakyatnya dan sejarah bangsanya.
Belakangan ini, elite-elite mempertajam perbedaan, bahkan membingkainya dengan ujaran-ujaran kebencian bernuansa konflik. Hal ini ditambah dengan perkembangan teknologi informasi yang membawa masyarakat ke era post-truth (pasca-kebenaran). Pada era ini, tidak mudah mencapai kata sepakat tentang kebenaran. Orang tidak lagi mencari kebenaran berdasarkan fakta. Akan tetapi, ia mendefinisikan kebenaran versinya dengan mencari pembenaran, konfirmasi, dan dukungan terhadap keyakinan yang dimiliki. Ia tidak peduli dari mana informasi itu berasal, siapa yang menyatakan, bahkan tidak peduli informasi itu betul atau tidak.
Kembali ke masyarakat Indonesia, masyarakat yang berbeda-beda ini mengejawantah dalam politik formal sejak Pemilu 1955. Saat itu, ada 29 partai politik peserta pemilu, yang menunjukkan bervariasinya ideologi masyarakat. Bahkan, berbagai variasi juga ada dalam satu golongan, misalnya lahir beberapa partai Islam. Dari sini terlihat bahwa masyarakat memang terdiri dari komunitas yang beragam. Dalam konteks kekinian, perbedaan itu semakin menajam karena masyarakat semakin terbagi-bagi lagi dalam komunitas.
Makalah di International Conference on Language Phenomena in Multimodal Communication (KLUA 2018), penelitian Moh. Gandhi Amanullah dan Syahrur Marta Dwisusilo yang berjudul ”Post-Truth and Echo Chamber Phenomena of Indonesian Social Media: Analysis of Political Contestation of Jokowi and Prabowo’s Supporters in Facebook” mengupas kondisi masyarakat Indonesia setelah Pemilu 2014.
Tulisan ini mengungkap bahwa pada 2014-2018 masyarakat Indonesia terjebak dalam echo chamber di media sosial, terutama Facebook yang memiliki grup-grup yang menyatakan dukungan ke masing-masing kandidat. Echo chamber merupakan sebuah ruang gema di media sosial yang menguatkan fenomena post-truth. Informasi berbasis emosi diperbesar, lepas dari apakah informasi ini hoaks, salah secara logika, propaganda, atau ujaran kebencian.
Fenomena ini yang terus dieksploitasi elite politik. Mereka kerap lupa konflik yang dibentuk untuk meraih kemenangan elektoral kerap terus berlanjut bertahun-tahun kemudian di masyarakat akar rumput.
Kekhawatiran itu juga muncul dalam diskusi Satu Meja di Kompas TV, Rabu (24/4/2019) malam, dengan judul ”Drama Politik Pascapilpres”. Hadir dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, anggota Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra; perwakilan dari pasangan calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Eriko Sotarduga; perwakilan dari pasangan calon capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ahmad Riza Patria; akademisi Universitas Indonesia, Reni Suwarso; Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar; dan Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Sebagai sebuah kontestasi, Pemilu 2019 masih belum selesai. Secara formal, hasil rekapitulasi perolehan suara baru akan ditetapkan KPU pada 22 Mei. Dari sisi infrastruktur, berbagai aturan telah memagari KPU untuk bekerja sebaik mungkin. Belakangan ini, berbagai pihak, seperti Gubernur Lemhannas Agus Widjojo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga menekankan agar KPU memperbaiki atas kesalahan dan kekurangannya secara transparan. Pasalnya, masyarakat mengawasi. Dan, pengawasan transparansi ini adalah hal yang positif dalam demokrasi.
Drama politik
Masalahnya, drama politik pascapemilu terus terjadi. Masing-masing pihak mengklaim dan membantah klaim kemenangan. Juga muncul saling tuding pihak ”lawan” curang. Reni Suwarso mengatakan, sebenarnya dalam proses pemilu, dengan pemenang akan ditentukan perhitungan manual KPU, semua drama ini tak perlu terjadi. Apalagi, kalau masyarakat Indonesia memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
Namun, Riza menilai, kecurangan sudah terjadi sejak sebelum hari pemungutan suara. Dia mencontohkan, ada 17,5 juta daftar pemilih misterius yang bisa menjadi titik permainan sistem teknologi informasi KPU. Selain itu, juga soal proses pengisian data di laman daring KPU yang kerap salah. Sebaliknya, Eriko mempertanyakan adanya upaya untuk mendelegitimasi proses pemilu.
Terkait hal itu, Ilham menggarisbawahi semua proses di KPU bersifat transparan. Dalam tiap tingkat rekapitulasi perolehan suara ada pengawasan dari masyarakat serta semua tim kandidat. Ilham tak membantah ada beberapa kesalahan. Namun, hal ini bersifat teknis.
Dari sisi peraturan, Titi Anggraini menilai, UU Pemilu telah membentuk skema penegakan hukum yang sangat ketat. Bahkan, belum pernah Bawaslu memiliki kewenangan sekuat seperti saat ini.
Di tengah belum adanya penetapan hasil pemilu dari KPU, Zainal mendorong masing-masing pihak bersabar. Ia mengatakan, tudingan adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif harus dibuktikan. Pertarungan metode dan data akan terus berjalan dan mencapai puncaknya di Mahkamah Konstitusi (MK). Karena itu, MK harus bersiap.
Saat ini, perlu kedewasaan dan kesabaran elite sampai masyarakat akar rumput untuk menjaga Bhinneka Tunggal Ika. Semua ini demi keberlangsungan Indonesia....