Rekapitulasi Suara, Begitu Rumit dan Melelahkan
Wahyu (38) tak pernah membayangkan kerumitan yang harus dihadapinya saat menjadi Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS Pemilu 2019. Pesta demokrasi kali ini, yang serentak memilih presiden/wakil presiden dan anggota legislatif terlalu kompleks baginya.
Pada Pemilu 2014, pria yang berprofesi sebagai tukang bangunan ini sebenarnya sudah pernah menjadi Ketua KPPS di tempat pemungutan suara (TPS) di sekitar rumahnya di Kelurahan Curug, Kota Depok, Jawa Barat. Namun, pemilu kali ini dirasanya jauh lebih berat dan rumit. “Bukan hanya capek fisik tapi juga lelah pikiran,” kata ayah dua anak ini.
Wahyu memulai kerja sebagai Ketua KPPS satu bulan sebelum hari pemungutan suara pada Rabu (17/4/2019). Setelah mengikuti bimbingan teknis, dia harus memastikan seluruh logistik pemilu tersedia. Dia juga bertanggungjawab atas persiapan lokasi TPS 23 Kelurahan Curug untuk 220 pemilih terdaftar. Puncak kerumitan dihadapinya ketika pemungutan berlangsung Rabu pagi hingga tengah malam. Sebab, tidak semua pemilih memahami teknis pemungutan.
Wahyu bercerita seorang warga menaruh satu jenis surat suara di kotak yang tidak seharusnya. Melalui kesepakatan petugas di TPS 23, pencarian surat suara yang tertukar dilakukan. Proses ini memperpanjang waktu penghitungan suara yang mestinya bisa lebih cepat. Ketegangan sempat terjadi saat warga sekonyong-konyong melontarkan tudingan curang. “Itu menyakitkan, mengganggu kami,” kata Musa (49) anggota KPPS di TPS 23.
Setelah penghitungan suara beres, kerumitan berikutnya harus dihadapi. Wahyu dan petugas KPPS lain mesti menyelesaikan berita acara penghitungan. Berita acara dan formulir yang harus ditandatangani jumlahnya mencapai puluhan lembar. Selain petugas KPPS, para saksi, pihak kelurahan, kecamatan, dan panitia pengawas juga ikut membubuhkan tanda tangan. Semua yang tanda tangan harus mendapat salinannya.
Selama proses berlangsung, tidak boleh ada kesalahan. Diam-diam sesama petugas pun saling mengawasi, karena tidak semua dari mereka memiliki aspirasi politik yang sama. Ketegangan seperti ini menambah beban kelelahan fisik yang mendera.
Di TPS yang dia pimpin, Wahyu dapat menyelesaikan penghitungan pukul 24.00. Sementara proses pengisian berita acara dan pengecekan berbagai formulir membutuhkan waktu selama lima jam. Baru sekitar pukul 05.00, semua kegiatan selesai. Hanya berselang satu jam, dia dan tim mengirim kotak suara beserta seluruh dokumen pemungutan ke panitia pemilihan kecamatan (PPK).
Diam-diam sesama petugas pun saling mengawasi, karena tidak semua dari mereka memiliki aspirasi politik yang sama. Ketegangan seperti ini menambah beban kelelahan fisik yang mendera.
Praktis, sejak Rabu (17/4/2019) hingga Kamis (18/4/2019) pagi, tim KPPS pimpinan Wahyu tidak beristirahat dengan cukup. Mereka melawan kantuk sekuat-kuatnya. Sementara bagi yang tidak tahan, tidur di TPS beralaskan kardus. Untuk semua kesibukan itu, dia menerima honor Rp 550.000 sebagai ketua KPPS. Setelah dipotong pajak, honor bersihnya Rp 517.000. Nilai ini belum termasuk dana operasional pelaksanaan pemungutan Rp 2,55 juta per TPS.
Tingkat kecamatan
Kerumitan di tingkat TPS pun berlanjut ke tingkat kecamatan, seperti yang terlihat pada kamis (24/4/2019) malam di GOR Balai Rakyat, Bale Kambang, Kramatjati, Jakarta Timur.
Baca juga : Kelelahan Anggota KPPS Bukan Hal Sepele
"Partai Demokrat 4 suara, calon nomor urut 2 suaranya 4. Partai Hanura 3 suara, calon nomor urut 1 suaranya 3," lantang suara Nur Chaeni, anggota panitia pemunggutan suara (PPS), melalui pengeras suara. Petugas lainnya, Nurlia Harfin mencatat pertambahan suara itu pada kertas rekapitulasi yang tertempel di papan tulis. Sementara jari Ardi Yansyah mengetik pertambahan suara di laptop.
Nurlia dan Ardi harus fokus mendengar agar tidak salah memasukkan angka karena suara Chaeni tertimpa dengan suara lantang dari dua petugas PPS yang juga sedang mengumumkan hasil surat suara. Jika salah mendengar, tentu akan ada protes dari salah satu saksi parpol.
Dari hari pertama rekapitulasi (20/4/2019) ada 21 petugas PPS yang harus menahan kantuk dan lelah di tengah suasana GOR Balai Rakyat yang panas, Tiap hari mereka kerja mulai dari pukul 09.00 hingga 22.00. Para petugas PPS di GOR Balai Rakyat, terus berkejaran dengan waktu merekapitulasi 3.256 kotak suara dari 814 TPS Kecamatan Kramatjati.
Hambatan beberapa kali terjadi, seperti penghitungan surat suara di TPS 80 kelurahan Batu Ampar. Terjadi penggelembungan jumlah suara salah satu partai dan calon legislatif. Beberapa saksi pun meminta penghitungan surat suara ulang. "Akhirnya harus hitung ulang lagi, buka lagi surat suara," kata Chaeni.
Chaeni menuturkan, penghitungan surat suara DPR dan DPRD beberapa kali sering ditemui tidak sesuai dengan catatan para saksi. Kondisi ini juga membuat penghitungan surat suara menjadi begitu lama. Padahal berdasarkan jadwal KPU, rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kecamatan dilakukan 18 April-4 Mei 2019.
Untuk mengantisipasi kelelahan petugas, anggota KPU Viryan Aziz mengatakan bahwa KPU telah mendapatkan bantuan layanan kesehatan dari Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di setiap daerah. Layanan tersebut tidak dipungut biaya.
Selain itu, tambah Viryan, pihaknya juga telah meminta KPU daerah untuk melakukan monitoring dengan memastikan kesehatan petugas KPPS, PPS, maupun PPK.
KPU mendapatkan bantuan layanan kesehatan dari Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di setiap daerah. Layanan tersebut tidak dipungut biaya.
Anggota KPU lainnya Evi Novida Ginting menjelaskan, KPU telah membahas penyerahan santunan kepada korban petugas pemilu yang meninggal dengan Kementerian Keuangan. Pertemuan tersebut bertujuan untuk membahas standar besaran santunan dengan menggunakan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) KPU.
Baca juga : Lagi, Petugas KPPS di Surabaya Meninggal Seusai Pemilu
Hingga Rabu (24/4), KPU mencatat sebanyak 144 petugas pemilu meninggal dunia dan 883 lainnya sakit atau menjalani perawatan.
(PRADIPTA PANDU MUSTIKA/IQBAL BASYARI/ERWIN EDHI PRASETYA)