Pemilu serentak 2019 menuai banyak kritik dalam penyelenggaraannya. Evaluasi mutlak dilakukan agar pesta demokrasi yang digelar setiap lima tahun itu bisa terselenggara semakin baik lagi di waktu mendatang.
Oleh
NINO CITRA
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Pemilu serentak 2019 menuai banyak kritik dalam penyelenggaraannya. Evaluasi mutlak dilakukan agar pesta demokrasi yang digelar setiap lima tahun itu bisa terselenggara semakin baik lagi di waktu mendatang.
Hal itu terungkap dalam sarasehan “Refleksi Pemilu” yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (26/4/2019). Turut hadir dalam acara tersebut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi.
Pada periode ini, pemilu diselenggarakan secara serentak. Pemilihan presiden dan calon wakil presiden, dan calon legislatif diselenggarakan dalam satu kesempatan yang sama. Waktu yang dibutuhkan sewaktu penghitungan suara cukup lama. Hampir 24 jam anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) baru bisa menyelesaikan pekerjaannya.
Hingga Kamis (25/4/2019), tercatat 225 anggota KPPS meninggal diduga karena kelelahan. Sebanyak 1.470 anggota KPPS lainnya mengalami sakit seusai menjalankan tugas tersebut.
“Pemilu serentak dengan model seperti ini itu cukup yang pertama dan terakhir. Karena, bagi saya, ternyata secara fisik itu telah melampaui rata-rata batas kemampuan manusia pada umumnya,” kata Pramono.
Terkait hal itu, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Mada Sukmajati mengungkapkan, pemilu serentak ini harus dievaluasi secara komprehensif. Tujuan diselenggarakan secara serentak ini harus benar-benar dipahami.
“Jika tujuannya efisiensi, itu sepertinya tidak tercapai. Ada pemborosan waktu. Jika mengurangi gesekan di masyarakat? Ternyata, masih ada gesekan karena hanya ada dua kandidat capres dan cawapres yang bersaing. Pembelahan di masyarakat itu cukup jelas,” kata Mada.
Hal serupa disampaikan oleh Dosen Jurusan Komunikasi Fisipol UGM Kuskridho Ambardi. Menurut dia, pembelahan masyarakat pendukung masing-masing pasangan capres dan cawapres cukup terasa. Bahkan, ia merasa, pembelahan tersebut terasa sedikit lebih kuat pada tahun ini.
Penyebabnya adalah durasi kampanye yang cukup lama. Selain itu, sistem ambang batas parlemen membuat hanya dua pasangan capres dan cawapres saja yang akan bersaing memenangkan hati rakyat dalam pemilu.
Kuskridho mengusulkan, nilai ambang batas itu diturunkan sehingga peluang partai politik mengusung pasangan capres dan cawapres lain bisa muncul. Tetapi, cukup satu putaran saja pemungutan suara itu dilakukan. Dikhawatirkan, jika pemungutan suara dilakukan dua putaran akan terjadi pembelahan lagi karena persaingan kembali terjadi antara dua pasangan calon saja.
Sementara itu, Arie Sujito, sosiolog dari UGM, mengatakan, sebaiknya KPU tidak hanya berkutat pada masalah teknis saja. Hal yang lebih penting dilakukan adalah upaya pencerdasan masyarakat terkait proses demokrasi. Bagi dia, sejauh masalah kecerdasan pemilih sudah bisa diatasi, persoalan teknis pasti bisa tertangani.
“Jangan terlalu berkutat di teknis. Itu terlalu sederhana. Jika teknis terlalu dianggap problem, persoalan lain yang kemungkinan muncul seperti hoaks, fitnah, dan politik identitas bisa tidak terpikirkan,” kata Arie.
Selama berjalannya pemilu, KPU berulang-ulang diserang dengan berbagai macam isu kecurangan. Sejak persiapan hingga masa penghitungan. Seolah ada upaya dari sejumlah pihak untuk mendelegitimasi kinerja KPU dalam pesta demokrasi ini.
Arie menilai, pemikiran itu muncul di benak masyarakat karena kurangnya pencerdasan terhadap pemilih. Ada politik identitas, hoaks, dan fitnah yang digunakan elit politik untuk mencapai kekuasaan. Ia berpendapat, elit politik yang masih melakukan hal tersebut seharusnya dihukum dengan tegas.
“Sejak awal, KPU dituduh curang. Artinya, kepentingannya (elit politik) mendahului nalar. Secara sosiologis, ruang publik ini menjadi keruh,” kata Arie.
Wawan Mas’udi, dosen DPP Fisipol UGM, mengatakan, dalam pemilu hal yang paling penting adalah masyarakat menerima hasil penghitungan akhir dengan lapang dada. Jangan sampai ada elit politik yang justru menggaungkan rasa ketidakpercayaan terhadap KPU. “Yang perlu kita edukasi ini elit-elit politik. Sebenarnya, yang membuat distrust itu adalah elit politik. Mengedukasi elit politik ini yang masih menjadi persoalan,” katanya.