Jika Anda mengetik frasa “harga gabah” di laman pencarian Google, ada sejumlah kata yang akan berulang muncul di hasil pencarian. Kata itu antara lain anjlok, jatuh, turun, bahkan “nyungsep”. Diksi yang menggambarkan kenyataan pahit petani padi musim ini.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Jika Anda mengetik frasa ”harga gabah” di laman pencarian Google hari-hari ini, ada sejumlah kata yang akan berulang muncul di hasil pencarian. Kata itu antara lain anjlok, jatuh, turun, bahkan nyungsep atau terjun bebas. Diksi tersebut menggambarkan kenyataan pahit yang sedang dialami para petani padi.
Mayoritas di antara hasil pencarian itu merupakan laporan media terkait situasi harga di sejumlah sentra seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Sebagian mengutip laporan asosiasi, pejabat pemerintah pusat atau daerah, serta data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Angka penurunan harga memang beragam, tetapi situasi yang sama terjadi di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Hasil survei BPS di 2.135 lokasi transaksi penjualan gabah di 28 provinsi menunjukkan, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Maret 2019 rata-rata Rp 4.606 per kilogram (kg), turun 9,98 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang Rp 5.114 per kg. Jika mengacu pola tahun lalu, harga gabah terus turun sejak Januari, lalu mencapai titik terendah pada April dan Mei atau ketika puncak panen raya.
Harga rata-rata gabah di tingkat petani memang masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP) jika mengacu hasil survei itu. Namun, tak sedikit petani yang terpaksa menjual hasil panennya di bawah HPP menurut Instruksi Presiden No 5/2015, yakni Rp 3.700 per kg GKP bahkan HPP dengan fleksibilitas 10 persen atau Rp 4.070 per kg GKP. Di beberapa daerah, petani bahkan terpaksa menjual hasil panennya dengan harga Rp 3.200 per kg. Padahal, ongkos produksinya jauh lebih tinggi.
Survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 26 kabupaten produsen padi menyimpulkan, biaya produksi padi mencapai Rp 4.286 per kg GKP pada Januari 2018. Sementara survei International Rice Research Institute (IRRI), ongkos produksi padi di Indonesia tahun 2013-2014 mencapai Rp 4.082 per kg.
Artinya, sesuai hasil survei ongkos dan situasi harga gabah, sebagian petani merugi musim ini. Sayangnya, pada saat yang sama, instrumen stabilisasi harga tidak berjalan dengan baik. Tecermin dari terus turunnya harga di petani serta seretnya pengadaan beras oleh Bulog. Realisasi penyerapan beras oleh Bulog sejak awal tahun sampai Senin (22/4/2019), baru 226.000 ton. Angka itu hanya sekitar 12,5 persen dari target pengadaan beras tahun ini sebesar 1,8 juta ton.
Soal pangan, semestinya bukan sekadar soal harga di hilir, melainkan soal kedaulatan dan kesejahteraan produsennya.
Harga beras pun turun. Data BPS, harga beras medium di penggilingan turun dari Rp 9.903 per kg pada Januari, lalu Rp 9.800 per kg pada Februari, dan Rp 9.555 per kg pada Maret. Beras dan beberapa komoditas turun harganya dan ikut meredam inflasi Maret 2019 yang ”hanya” 0,11 persen. Secara tahun kalender, inflasi Januari-Maret 2019 tercatat 0,35 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu (0,99 persen) atau tahun 2017 (1,19 persen).
Akan tetapi, tren penurunan harga beras serta rendahnya angka inflasi berbanding terbalik dengan kesejahteraan petani. Kondisi itu terlihat dari kecenderungan turunnya nilai tukar petani (NTP), salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan petani, yakni dari 103,33 (Januari 2019), lalu 102,94 (Februari), dan 102,73 (Maret).
Akhirnya, apa artinya harga komoditas atau inflasi terkendali kalau daya beli dan kesejahteraan petani turun? Ketika harga anjlok, fungsi stabilisasi semestinya jalan, tentu dengan HPP yang tidak lebih rendah dari ongkos produksi. Sebab HPP adalah instrumen sekaligus ”janji” negara melindungi petani. Soal pangan, semestinya bukan sekadar soal harga di hilir, melainkan soal kedaulatan dan kesejahteraan produsennya.