Pada pemilu kali ini diinformasikan sejumlah anggota Polri dan petugas KPPS jatuh sakit dan meninggal. Memang ini perhelatan pertama ketika pemilu legislatif dan pemilihan presiden disatukan. Ada kondisi kelelahan fisik dan terutama psikis yang perlu dipertimbangkan.
Menjelang hari-H berseliweran peringatan di grup-grup Whatsapp mengenai strategi kubu pasangan calon tertentu untuk mempersulit warga menggunakan hak pilihnya. Maka, cukup banyak warga yang hadir pagi agar aman menunaikan hak pilihnya. Sebagian dari mereka kecewa karena ternyata petugas masih sibuk menghitung atau belum berani membuka TPS karena kesalahan jumlah surat suara.
Sebagian sabar menunggu, yang lainnya mempertanyakan dengan suara keras, nada tinggi, serta bahasa tubuh yang menunjukkan rasa tidak sabar, kecurigaan, dan sikap menekan. Bagi petugas, kerja keras berhari-hari tanpa jeda di bawah tekanan tenggat yang demikian ketat menyebabkan kelelahan. Rata-rata penghitungan suara baru selesai menjelang pagi. Padahal, malam sebelumnya pun mereka mesti bekerja keras, bahkan begadang, untuk menyiapkan TPS dan logistik.
Tekanan psikis
Selain kelelahan fisik, ada pula tekanan psikis yang mungkin sangat berat dan tak tertanggungkan. Bagi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sudah sangat menginternalisasi tuntutan untuk bersikap netral dan mengayomi kelompok-kelompok berbeda pun, situasinya masih sulit.
Mungkin ia tidak lagi menghayati konflik atau dilema, tetapi tumpukan pekerjaan yang bertubi-tubi di saat-saat terakhir dan tuntutan ”sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan” menjadi tekanan tersendiri.
Sementara itu, sangat mungkin ada petugas KPPS yang belum sungguh menginternalisasi peran netral yang harus disandang. Sebagai pribadi ia memiliki kecenderungan sendiri dalam mendukung kemenangan pasangan calon, partai, atau caleg tertentu. Belum lagi ada titipan dan tekanan dari kanan kiri yang menimbulkan rasa gamang. Yang lain barangkali memang mencari kesempatan untuk menguntungkan pihak tertentu.
Rasa cemas, takut salah karena menjadi sorotan perhatian semua pihak (yang memang mencari kesalahan atau ketidaksempurnaan), menjadi tekanan yang berat. Mungkin petugas melakukan kesalahan yang disengaja ataupun tak disengaja, dan itu sangat membebani batin.
Entah apa yang sesungguhnya terjadi, ada kabar seorang ketua KPPS di Jawa Timur nekat menusuk perutnya sendiri. Ada dugaan, ia tertekan setelah ada selisih surat suara. Bahkan, seorang ketua KPPS di Jawa Tengah ditemukan tewas gantung diri di belakang rumahnya.
Penyelidikan polisi menyimpulkan, ia tidak memiliki riwayat penyakit ataupun permasalahan dengan keluarga. Belum diketahui apa yang sesungguhnya terjadi dan dirasakannya (semua berita diambil secara daring dari Detik.com dan Regional.kompas.com).
Jaminan rasa aman
Hal-hal di atas harus menjadi perhatian sangat serius dari negara, dan disusunkan mekanisme pencegahannya agar tidak terulang lagi di masa selanjutnya. Kita belum lagi membahas para caleg tidak terpilih yang mungkin menjadi kacau kondisi kejiwaannya atau berantakan kondisi keluarganya.
Situasi terkini adalah rasa gamang menunggu finalnya hasil penghitungan suara riil dari Komisi Pemilihan Umum. Masyarakat jadi khawatir apabila hasil akhir yang tertampilkan bukan hasil coblosan rakyat. Hal ini jadi masalah mengingat di media sosial orang ramai mengunggah bukti-bukti kecurangan, entah benar atau tidak.
Siapa pun kita tentu pernah berbohong. Dalam pemilu kali ini, siapakah berbohong dan melakukan kecurangan? Barangkali ada dari semua pihak yang berseberangan. Hal itu bisa jadi dilakukan dengan rasionalisasi sedemikian rupa sebagai hal yang dapat dimaafkan apabila untuk kebaikan.
Kebaikan kemudian didefinisikan menurut kepentingan pribadi atau kelompok. Gempuran tayangan di media sosial bahkan dapat membuat orang yang sebelumnya sungguh diyakini, berbasis rangkaian penghitungan atau pernyataan ilmiah pun, mulai diragukan.
Keyakinan moral ternyata dapat sangat dikompromikan, secara sadar ataupun lewat proses-proses yang tak sepenuhnya disadari.
Pada saat yang sama, apabila pembohongan masif dilakukan, orang baik-baik yang berniat hidup baik (yang saya yakin masih sangat banyak di Indonesia ini) kehilangan jaminan rasa aman. Padahal, jaminan rasa aman itu adalah syarat kehidupan yang berkemanusiaan.
Menjadi tantangan besar bagi semua orang yang masih peduli untuk dapat menangkal rekayasa kebenaran, dengan menghadirkan yang sungguh-sungguh benar. Semoga kita semua tetap sehat mental dalam ingar bingar dan rasa gamang di era yang disebut post-truth ini.