Pelari yang ingin mengikuti perlombaan perlu latihan secara terencana sesuai kemampuan dan kondisi masing-masing. Patuh dan konsisten dengan rencana latihan yang dibuat menjadi awal kemenangan bagi seorang pelari.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Pelari yang ingin mengikuti perlombaan perlu latihan secara terencana sesuai kemampuan dan kondisi masing-masing. Patuh dan konsisten dengan rencana latihan yang dibuat menjadi awal kemenangan bagi seorang pelari.
Praktisi lari dari Indorunners, Rian Krisna, mengatakan, latihan menjadi hal krusial bagi pelari, terutama pelari marathon. Namun, tetap saja masih ada pelari yang tujuan dalam berlari hanya sekadar mencari kesenangan. Akibatnya setelah ikut marathon, kaki terasa sakit, tidak bisa berjalan, hingga berpikiran bahwa lari adalah olahraga yang menyiksa.
“Ini terjadi karena pelari tidak memiliki rencana latihan yang baik. Berbeda jika sudah latihan secara terencana dan berkomitmen menjalankan rencananya,” kara Rian saat sesi diskusi “The Tour – Borobudur Marathon 2019” bertema Intensif Training Plan, Sabtu (27/4/2019) di Surabaya.
Acara yang menjadi bagian dari pre-event Borobudur Maratohn 2019 ini diikuti oleh sekitar 50 pelari dari Surabaya. Mereka berlari sejauh sekitar empat kilometer mengelilingi jalanan “Kota Pahlawan” dan mengunjungi sejumlah ikon kota, seperti Gedung Siola, Jalan Tunjungan, Hotel Majapahit, dan Gedung Negara Grahadi.
Rian mengatakan, apapun tujuan dari mengikuti lomba lari, tetap harus dipersiapkan dengan baik. Untuk lari marathon misalnya, seorang pelari seharusnya melakukan latihan selama 12 hingga 20 minggu. Jadwal latihan itu disesuaikan dengan kemampuan tubuh masing-masing karena ketahanan setiap orang berbeda.
Bagi sebagian pelari yang bekerja sebagai pekerja kantoran, terkadang sulit menemukan jadwal latihan rutin. Menurut Rian, latihan bisa dilakukan pada pagi hari ketika kondisi tubuh masih baik. Jika dilakukan malam hari usai bekerja, seringkali tubuh sudah tidak dalam kondisi prima. Akibatnya, jadwal latihan menjadi tidak konsisten karena kendala waktu luang.
“Saat H-1 perlombaan, badan harus tetap dijaga agar latihan yang sudah dijalankan sejak lama tidak kacau ketika mengikuti perlombaan,” ujar Rian.
Saat H-1 perlombaan, badan harus tetap dijaga agar latihan yang sudah dijalankan sejak lama tidak kacau ketika mengikuti perlombaa
Pegiat lari dari NusantaRun, Riefa Istamar, mengingatkan, pelari harus pintar mengatur ritme. Selama berlari harus dibuat menyenangkan. Jika selama berlari hingga finis tidak bisa menikmati proses, berarti ada yang salah dengan motivasinya. “Larilah dengan senyaman mungkin, nanti ketahanan akan menyesuaikan kondisi tubuh. Jangan sampai ketika finis tubuh justru sakit karena dipaksakan” katanya.
Pegiat lari yang juga wartawan Kompas, Agus Hermawan, mengingatkan jangan memaksakan ikut kelas full marathon jika tidak siap. Lebih baik ikut sesuai kemampuan karena beberapa pelari biasanya ikut kelas full marathon karena tekanan dari komunitasnya. “Ketika finish mendapat medali lalu senang untuk berfoto, padahal lebih baik mencapai finish dengan catatan waktu lebih baik,” ujarnya.
Pelari dari Surabaya, Agus Wahyudi (41), mengatakan, latihan yang dijalaninya tiga kali meninggu membuat staminanya meningkat cukup baik. Jika sebulan lalu saat dirinya mulai menggeluti lari sudah terasa sakit ketika lari dengan jarak empat kilometer, kini jarak 10 kilometer pun sudah terbiasa. “Usai lari, saya bisa langsung bekerja seperti biasa,” katanya.
Aswito dari bagian event Kompas berharap, pelari yang mengikuti ajang Borobudur Marathon 2019 memiliki persiapan yang cukup baik. “Kami ingin setiap bagian dari Borobudur Marathon 2019 memiliki sinergi dan harmoni yang baik antara penyelenggara, masyarakat, dan pelari,” ucapnya.