Persiapan Pemilu ke Depan Harus Lebih Awal dan Matang
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belajar dari penyelenggaraan Pemilu 2019, persiapan yang matang dirasa perlu untuk diperhatikan dalam pelaksanaan pesta demokrasi ke depan. Bukan hanya mengenai sistem elektoral, melainkan juga persiapan teknis terkait dengan pemilu hendaknya disiapkan sedini mungkin.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, Sabtu (27/4/2019), mendorong pemerintah dan penyelenggara agar persiapan pemilu ke depan bisa dilakukan lebih awal dan lebih matang. Begitu juga dengan evaluasi Pemilu 2019. Ia menyarankan agar evaluasi dilakukan segera setelah presiden terpilih dilantik.
”Begitu selesai terpilihnya pemerintah baru pada Oktober 2019, evaluasi harus mulai diagendakan sehingga pada 2021 bisa selesai. Jangan seperti yang lalu, 2017 saja undang-undangnya baru selesai,” ujar Djohan saat ditemui dalam acara Perspektif Indonesia, di Jakarta, Sabtu.
Djohan menilai, persoalan yang terjadi pada Pemilu 2019 salah satunya disebabkan kurang matangnya persiapan penyelenggara terutama dalam pengorganisasian. Sejumlah permasalahan yang muncul mulai dari jatuhnya korban jiwa, yakni 231 petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) meninggal, hingga kesalahan input formulir C1 dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.
”Itu menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu kita belum well organized. Ini perlu menjadi bahan kajian,” lanjutnya.
Sejumlah hal yang perlu dibenahi, menurut Djohan, antara lain sistem perekrutan tenaga KPPS dan sistem elektoral pemilu. Banyaknya petugas KPPS yang meninggal menjadi perhatian yang paling serius karena hal tersebut bisa menjadi cerminan demokrasi yang profesional.
”Untuk pemilu di negara demokrasi yang sehat, profesional, dan berintegritas, sekecil apa pun tidak boleh ada korban dan kecurangan,” ucap mantan Humas KPU tersebut.
Perbaikan tata kelola
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiansyah menyarankan hal yang sama. Menurut dia, proses evaluasi pemilu setidaknya harus dilakukan pada 2020. Ia juga menekankan perbaikan pada tata kelola penyelenggara pemilu.
”Misal terkait bimbingan teknisnya harus menyangkut semua KPPS, bukan hanya 4 orang sehingga pembekalan SDM-nya bisa berkualitas dan tidak muncul kejadian seperti tahun ini,” katanya.
Ferry juga menyarankan, ke depan mekanisme pengiriman logistik pemilu harus tertata dengan baik. Artinya, penyalurannya harus tepat waktu, tepat jumlah, tepat sasaran, dan tepat kualitas.
Ia juga mendorong agar KPU bisa mempercepat proses penghitungan suara dengan memanfaatkan teknologi informasi. Gerakan yang dilakukan sejumlah lembaga pemantau pemilu, seperti Kawal Pemilu Jaga Suara, membuktikan proses rekapitulasi bisa dilakukan dengan cepat.
”Kami menyarankan tidak perlu ada rekapitulasi berjenjang. Cukup di TPS dengan mendokumentasikan C1 dan diunggah ke data center KPU. Saya pikir tiga hari selesai,” ucapnya.
Ferry menambahkan, jika muncul pertentangan, KPU tidak perlu repot membuka semua datanya. Mereka hanya perlu menyesuaikan TPS mana saja yang datanya berbeda dengan data yang dimiliki saksi, misalnya. ”Tinggal dibuka saja kasus per kasus, tidak perlu seluruhnya,” ujarnya.
Hal teknis
Caleg DPR dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur I, Andy Budiman, mengatakan, perlu ada sistem komunikasi yang matang di KPU dengan menempatkan juru bicara. Dengan begitu, anggota KPU bisa fokus mengurusi hal-hal teknis, sedangkan persoalan nonteknis diserahkan kepada juru bicara.
”Di tengah tekanan pada KPU, KPU masih dipercaya oleh masyarakat, itu yang perlu dirawat dengan menjaga integritas,” katanya.
Caleg DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) dapil Jawa Timur III, M Yasin Kara, menambahkan, keinginan bersama untuk memperbaiki masa depan bangsa harus menjadi landasan dalam perbaikan penyelenggaraan pemilu. ”Munculnya ratusan korban harus memicu kita untuk berubah,” katanya.