Pusat Budaya Indonesia di Timor Leste Menjadi Pusat Rekonsiliasi
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU dari Timor Leste
·4 menit baca
Setelah berpisah dengan Indonesia, Timor Leste masih menggunakan Bahasa Indonesia di dunia kerja dan bisnis. Pembangunan Pusat Budaya Indonesia di Timor Leste diharapkan dapat memperkuat bahasa Indonesia di sana.
DILI, KOMPAS — Pusat Budaya Indonesia di Dili, Timor Leste menjadi simbol persahabatan Indonesia-Timor Leste. Selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan kebudayaan, Pusat Budaya Indonesia juga sebagai tempat rekonsiliasi dan memelihara saling pengertian, saling menghormati, saling percaya antara kedua negara.
Gedung Pusat Budaya Indonesia (PBI) dibangun 6 lantai pada 2014-2016 di lahan seluas sekitar 2.500 meter persegi di Dili. PBI yang mulai aktif sejak 2016 ini diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Kamis (25/4/2019). Bersamaan peresmian itu digelar Indonesia Higher Education Expo 2019 hingga Sabtu (27/4/2019). Pameran diikuti 19 perguruan tinggi di Indonesia dan 5 perguruan tinggi di Timor Leste.
Hadir dalam acara peresmian PBI, antara lain Menteri Luar Negeri Timor Leste Dinosio Soares Babo, Duta Besar RI di Timor Leste Sahat Sitorus, dan Direktur Kesenian di Ditjen Kebudayaan Kemdikbud Restu Gunawan. Hadir pula perwakilan negara sahabat di Timor Leste, pelajar da mahasiswa Timor Leste, serta perwakilan perguruan tinggi Indonesia dan Timor Leste peserta pameran.
Sahat menyampaikan rasa syukur karena PBI yang mulai dibangun tahun 2014 dan di tahun 2016 sudah mulai diaktifkan, akhirnya bisa diresmikan. "PBI ini melambangkan persahabatan Indonesia-Timor Leste. Kedua negara ini punya hubungan istimewa dan dewasa, serta punya kesamaan budaya dan bahasa. Pemerintah Indonesia berkomitmen menjadi negara tetangga yang mendukung pembangunan dan kemajuan Timor Leste, " ujar Sahat.
Sahat mengatakan, pembangunan PBI merupakan keputusan politik Indonesia semasa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Republik Demokrtaik Timor Leste Xanana Gusmao yang bertemu tahun 2008 di Indonesia. PBI memiliki makna strategis dalam mempererat dan memperkokoh hubungan serta kerja sama kedua negara, terutama dalam pendidikan dan kebudayaan.
Dinosio mengaku senang dapat menyaksikan peristiwa penting dalam sejarah hubungan Indonesia-Timor Leste. "Peresmian PBI jadi implementasi keinginan pemimpin kedua negara untuk membawa hubungan satu sama lain yang semakin baik di masa depan. Kedua negara berbagi sejarah masa lalu dan masa depan tentang negara dan orang-orangnya," ujar Dinosio.
Menurut Dinosio, pembangunan PBI merupakan inisiatif dan niat baik dari diskusi antara pemerintah dengan masyarakat Indonesia - Timor Leste. Kedua negara bersepakat membangun monumen memorial untuk menyediakan pengalaman belajar dan jadi inspirasi bagi generasi muda bangsa.
Kedua negara bersepakat membangun monumen memorial untuk menyediakan pengalaman belajar dan jadi inspirasi bagi generasi muda bangsa.
"Kita bisa memilih teman, tapi tidak bisa memilih tetangga. Untuk itu, hubungan sejati Indonesia-Timor Leste perlu terus dibangun," kata Dinosio.
Sementara itu, Muhadjir mengatakan hubungan bertetangga dan bersaudara kedua negara harus terjalin baik. Indonesia mendukung Timor Leste dalam meningkatkan sumber daya manusia lewat kerja sama pendidikan dan kebudayaan.
"Pendirian PBI di Timor Leste menunjukkan pentingnya mengedepankan diplomasi budaya dan sebagai implementasi pertukaran budaya dan pendidikan kedua negara," kata Muhadjir.
Kebutuhan Bahasa Indonesia
Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Timor Leste Sedercor Melatunan mengatakan PBI memiliki program pendidikan dan kebudayaan. Kegiatan untuk pengajaran bahasa Indonesia lewat program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) bagi masyarakat timor Leste termasuk penting.
"Kebutuhan untuk menguasai bahasa indonesia bagi masyarakat Timor Leste dirasa penting. Ketika berpisah dengan Indonesia, bahasa Indonesia sempat dilarang. Pengajaran dalam berbahasa Indonesia sempat dihentikan. Tapi sejak 2006 ada kebutuhan, momentumnya setidaknya dengan dibolehkannya lagi pengajaran bahasa indonesia mulai tingkat SMA/SMK dan perguruan tinggi," jelas Sedercor.
Setelah berpisah dengan Indonesia, di dunia pendidikan menggunakan bahasa Portugis dan Tetun, yang merupakan bahasa resmi negara. Adapun untuk hubungan kerja dan bisnis menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris.
"Namun disadari masyarakat Timor Leste, sulit untuk menguasai bahasa Portugis karena pengajarnya terbatas. Bahasa Tetun juga terbatas untuk kepentingan akademik. Ada kebutuhan untuk bisa memperkuat lagi bahasa Indonesia yang memang juga masih sering dipakai dalam keseharian masyarakat. Hanya perlu ditingkatkan supaya mampu berbahasa Indonesia dengan baik," kata Sedercor.
Ada kebutuhan untuk bisa memperkuat lagi bahasa Indonesia yang memang juga masih sering dipakai dalam keseharian masyarakat.
Tiap enam bulan, di PBI ada 300-400 orang Timor Leste belajar bahasa Indonesia. Belum lagi di institusi pendidikan. Bahkan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Timor Leste mewajibkan mahasiswa yang mendapat beasiswa pemerintah untuk belajar di Indonesia wajib punya sertifikat berbahasa Indonesia yang baik.
Kehadiran PBI di Timor Leste, lanjut Sedercor, juga potensial untuk menawarkan pendidikan tinggi di Indonesia yang lebih berkualitas. Saat ini ada hampir 3.000 mahasiswa asal Timor Leste yang kuliah di Indonesia, umumnya di Pulau Jawa.
"Yang tidak terdata resmi lewat KBRI Timor Leste lebih banyak lagi, berkisar 7.000 - 8.000 orang. Karena itu, sejak 2016 di PBI digelar pameran PT Indonesia supaya akses informasi untuk kuliah di Indonesia bagi pelajar Timor Leste bisa mudah. Tiap tahun, sekitar 100-200 orang mendaftar kuliah di Indonesia. Pengunjung pameran bisa 2.000 orang," papar Sedercor.