Wilayah Penguasaan Prabowo Meluas, Apa Penyebabnya?
Sekalipun proporsi pemilih Prabowo-Sandi yang ditunjukkan hasil Hitung Cepat tampak lebih kecil dari Jokowi-Amin, namun wilayah penguasaan mereka semakin meluas dibandingkan capaian Prabowo dalam Pemilu 2014 lalu. Dimana dan bagaimana ekspansi penguasaan pemilih itu dapat terjadi?
Hasil Pemilu Presiden 2019 yang tersimpulkan dalam setiap hasil hitung cepat menunjukkan keunggulan Jokowi-Amin atas Prabowo-Sandi. Hitung Cepat Kompas, misalnya, menunjukkan penguasaan Jokowi-Amin sebesar 54,4 persen. Rival politiknya, Prabowo-Sandi hanya mampu menguasai sebesar 45,6 persen pemilih.
Dari hasil tersebut, mengindikasikan adanya selisih perbedaaan hampir sembilan persen, yang sekaligus menunjukkan adanya peningkatan dukungan terhadap Jokowi jika dibandingkan dengan capaian dalam Pemilu 2014. Saat itu, tatkala ia berpasangan dengan Jusuf Kalla mampu menguasai hingga 53,2 persen pemilih. Prabowo, yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa, berhasil menguasai 46,8 persen pemilih. Selisih di antara kedua pasangan dalam Pemilu 2014 mencapai 6,3 persen.
Peningkatan dukungan terhadap Jokowi dan di sisi lain penurunan proporsi dukungan terhadap Prabowo memang dapat dimaknai semakin besar selisih kemenangan Jokowi. Hanya, menarik juga untuk dicermati, jika di balik ketertinggalan Prabowo, juga dijumpai adanya perluasan wilayah penguasaan politik Prabowo secara nasional.
Gambaran yang paling nyata tampak pada hasil hitung cepat, dan juga yang terkonfirmasi dari hasil real count sementara KPU, terjadi pada beberapa wilayah regional berdasarkan gugusan pulau. Dalam hal ini, jika dibandingkan dengan Pemilu 2014 lalu, perluasan penguasaan Prabowo terjadi pada Sulawesi. Pada gugusan pulau lainnya, seperti Sumatera dan Kalimantan terjadi peningkatan konsentrasi dukungan yang sangat signifikan.
Tidak hanya berdasarkan pulau, dalam penguasaan provinsi Prabowo juga menunjukkan perluasan. Dengan mengacu pada hasil Hitung Cepat SMRC, yang didesain dengan sampel TPS lebih banyak (5.907 TPS) dan mampu memprediksi proporsi suara hingga tingkat provinsi, diperkirakan sebanyak 14 provinsi yang berhasil dikuasai Prabowo-Sandi. Jumlah wilayah penguasaan Prabowo ini meluas dibandingkan dengan Pemilu 2014 lalu, saat ia hanya menguasai 10 provinsi. Sebaliknya, Jokowi-Amin diperkirakan menguasai 20 provinsi. Jumlah tersebut mengecil jika dibandingkan pada 2014 lalu kala ia berhasil menguasai 24 provinsi.
Dengan pola penguasaan semacam ini, tampak jelas bahwa sekalipun proporsi dukungan menurun akan tetapi Prabowo berhasil meluaskan wilayah penguasaan politiknya. Persoalannya kemudian, di wilayah mana saja terjadi perubahan-perubahan tersebut?
Pencermatan terhadap hasil Hitung Cepat menunjukkan, tidak ada satu pun dari wilayah yang dikuasai Prabowo pada 2014 lalu berhasil diambil alih oleh rival politiknya. Sepuluh provinsi yang ia kuasai, semua berhasil dipertahankan. Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Maluku Utara, dan NTB tetap terkuasai. Bahkan, pada sebagian besar provinsi yang ia kuasai, seperti Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan lainnya justru menunjukkan peningkatan dukungan dari capaian pemilu sebelum ini.
Selain wilayah yang menjadi basis penguasaan lama, terdapat pula tambahan sekitar empat provinsi yang kini berhasil ia kuasai dengan proporsi penguasaan yang beragam. Keempat provinsi tersebut, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Jambi. Gambaran perubahan dari semua provinsi yang ia kuasai tertera pada grafik berikut ini.
Grafik di atas menunjukkan, perubahan dukungan paling signifikan yang memperkuat posisi Prabowo, terjadi di Sulawesi Selatan. Jika sebelumnya Prabowo kalah telak di provinsi ini, hanya mampu meraih 28,57 persen, kali ini ia mampu melipatgandakan dukungan. Ia menjadi pemenang dengan selisih perbedaan hingga 30 persen. Dari setiap catatan perubahan, capaian Prabowo di Sulawesi Selatan ini tergolong fenomenal.
Indikasi terkuat yang masih bersifat hipotetikal, tidak lepas dari faktor sentimen ketokohan politik berbasis identitas. Salah satunya, pada pemilu kali ini, faktor keberadaan Jusuf Kalla yang tidak lagi menjadi pasangan patahana, turut melepas ikatan primordial politik para pemilih. Kondisi semacam itu turut tampak pada sebagian wilayah Sulawesi lainnya, seperti Sulawesi Tenggara. Jika sebelumnya, Prabowo kalah di wilayah ini, kali ini ia justru unggul dengan selisih yang sangat signifikan.
Terbentuknya wilayah penguasaan Prabowo dengan konsentrasi penguasaan suara yang tinggi ini memunculkan pertanyaan, bagaimana pola ekspansi politik tersebut dapat berlangsung secara masif? Jika identitas sosial menjadi dasar kajian, kalangan pemilih berlatarbelakang apa yang menjadi pendukung Prabowo kini?
Baca juga: Siapa Unggul di Wilayah Paling Kompetitif
Merujuk pada hasil survei pasca pemilu (exit poll), kemenangan Prabowo-Sandi tampaknya memang tidak lepas dari konsolidasi identitas sosial, khususnya etnisitas di seluruh wilayah provinsi yang dikuasai dan wilayah yang menjadi penguasaan rival politiknya. Dalam hal ini, kecenderungan kelompok suku bangsa maupun etnisitas yang dominan pada tiap-tiap provinsi mengerucutkan pilihannya pada pasangan ini.
Elaborasinya, di 14 provinsi yang menjadi wilayah kemenangan Prabowo-Sandi, mayoritas pemilih pada semua provinsi tersebut yang mengaku bersuku bangsa Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Bugis, Palembang, Banjar, Madura, dan Melayu mengaku menjadi pemilih Prabowo-Sandi. Hanya dalam posisi yang relatif kecil saja dari para pemilih berlatar belakang suku-suku bangsa tersebut yang memilih Jokowi-Amin.
Menjadi semakin nyata kekuatan konsolidasi dukungan berbasis identitas sosial jika ditelusuri di wilayah yang menjadi basis kemenangan Jokowi. Pertanyaannya, apakah kondisi yang serupa terjadi, yaitu dukungan terhadap Prabowo-Sandi di wilayah yang menjadi penguasaan Jokowi Amin juga berdasarkan pada latar belakang identitas suku?
Hasil exit poll juga membuktikan kondisi demikian. Di wilayah provinsi yang menjadi daerah kemenangan Jokowi-Amin, diperkirakan sebanyak 20 provinsi, kelompok suku Jawa, Batak, Minahasa, Bali, Dayak, Tionghoa, dan lainnya (termasuk yang mengaku beretnis campuran) lebih banyak yang memilih Jokowi-Amin.
Dari kedua grafik di atas, baik di wilayah yang menjadi basis penguasaan Prabowo-Sandi dan basis penguasaan Jokowi-Sandi, tampak jelas fragmentasi dukungan yang konsisten berdasarkan identitas suku bangsa namun dengan proporsi yang berbeda.
Bagi para pemilih Prabowo-Sandi, mayoritas berlatar belakang suku bangsa atau kelompok etnis seperti Minang, Aceh dan Melayu menjadi pemilih dengan konsentrasi terkuat.
Baik di wilayah yang menjadi daerah penguasaan Prabowo-Sandi ataupun di wilayah yang menjadi penguasaan Jokowi-Amin, para pemilih dengan latar belakang ketiga suku bangsa tersebut tampak terkonsolidasi sangat kuat pola dukungannya terhadap Prabowo-Sandi.
Baca juga: Dari mana Tambahan Dukungan Pemilih Jokowi
Pada kelompok pendukung selanjutnya dengan konsentrasi relatif lebih rendah terjadi pada suku bangsa Sunda, Betawi, Bugis, Banjar, dan Madura. Pada wilayah yang menjadi basis penguasaan Prabowo-Sandi, pemilih dengan latar belakang kelompok suku tersebut mayoritas menjatuhkan pilihan terhadap Prabowo-Sandi. Begitu juga di wilayah yang menjadi basis kemenangan Jokowi-Amin, mereka tetap memilih Prabowo-Sandi, dengan proporsi yang relatif lebih rendah.
Dengan basis dukungan yang solid dari berbagai kelompok suku ataupun etnisitas tersebut, pemilu presiden kali ini tampaknya tetap tidak beranjak dari persoalan-persoalan identitas ketimbang evaluasi rasional terhadap kinerja ataupun prospek program-program kerja yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan calon presiden.
Akan tetapi, apakah hanya faktor konsolidasi identitas sosial berbasis suku bangsa atau kelompok etnisitas saja yang mewarnai pilihan dari masing-masing pendukung kedua pasangan calon presiden? (Bersambung). (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)