Belajar dari Kegagalan Musim Semi Arab 2011
Kegagalan Yaman, Suriah, Mesir, dan Libya membangun demokrasi sejak ”Musim Semi Arab” berembus tahun 2011 membuat Aljazair dan Sudan belajar. Kedua negara itu tidak ingin terbuai pada kemenangan sesaat. Aktivis dan gerakan pro demokrasi dengan konsisten menuntut supremasi sipil dan lengsernya kekuatan lama.
Rakyat Sudan dan Aljazair hari Jumat (26/4/2019) masih memadati jalanan kota Khartum dan Algiers, menuntut kekuasaan masa transisi segera diserahkan kepada sipil. Rakyat Sudan menolak mengakui dewan transisi militer yang berkuasa di Sudan pasca-lengsernya Presiden Omar Hassan al-Bashir pada 11 April lalu.
Di belahan lain, rakyat Aljazair juga menolak ketua parlemen, Abdelkader Bensalah, yang menjabat sebagai presiden sementara selama 90 hari pasca-lengsernya Presiden Abdelaziz Bouteflika pada 2 April. Rakyat Aljazair menyebut Bensalah adalah kroni Bouteflika yang harus lengser pula.
Belajar
Bagi rakyat Sudan ataupun Aljazair, penyerahan kekuasaan masa transisi kepada sipil adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Rakyat Sudan dan Aljazair kini tampaknya belajar dari kegagalan Musim Semi Arab 2011—kecuali Tunisia—yang saat itu melanda Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
Mereka tidak ingin kegagalan revolusi di Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah pada 2011 terulang di Sudan dan Aljazair pada tahun 2019.
Rakyat Sudan dan Aljazair tetap berkomitmen menggelar unjuk rasa damai dan tertib karena mereka belajar dari Suriah dan Libya yang rakyatnya mengangkat senjata sehingga terjadi perang saudara di kedua negara itu sampai saat ini.
Rakyat Sudan dan Aljazair juga belajar dari Mesir dan Yaman, dengan tidak terbuai hanya dengan lengsernya Bouteflika dan Al-Bashir.
Mereka terlihat telah belajar dari kesalahan rakyat Mesir dan Yaman pada 2011 yang membubarkan diri dari jalanan kota Kairo dan Sana’a, begitu Presiden Hosni Mubarak dan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengumumkan lengser.
Rakyat Mesir saat itu menyerahkan kekuasaan masa transisi kepada militer. Dan, ternyata kemudian, sering terjadi gesekan antara militer dan elemen-elemen dari aktivis pengunjuk rasa akibat perbedaan pendapat pada masa transisi.
Rakyat Mesir sudah menyadari kesalahan itu, yaitu terlalu cepat bubar dari jalanan kota Kairo, pasca-lengsernya Presiden Mubarak. Kesalahan itu menyebabkan hilangnya kendali inisiatif politik dari mereka, bahkan menjadi peluang bagi kroni Mubarak yang kontrarevolusi melancarkan serangan balik. Hal itu menyebabkan revolusi di Mesir gagal melahirkan sistem demokrasi sebagaimana visi revolusi.
Hal serupa terjadi di Yaman, ketika rakyat negara itu meninggalkan jalanan kota Sana’a pasca-lengsernya Presiden Abdullah Saleh dan diganti dengan Presiden Abdu Rabbo Mansour Hadi.
Bubarnya rakyat Yaman dari jalanan kota Sana’a saat itu, pasca-tumbangnya rezim Abdullah Saleh, dijadikan peluang oleh rezim Abdullah Saleh untuk membangun koalisi dengan kelompok Al-Houthi. Mereka kemudian melancarkan serangan balik terhadap pemerintah Presiden Mansour Hadi.
Terbangunnya koalisi loyalis Abdullah Saleh dan kelompok Al-Houthi tersebut mengantarkan mereka menguasai kota Sana’a pada akhir 2014 dan mengusir pemerintah Presiden Mansour Hadi sehingga terjadi perang di Yaman sampai saat ini.
Konsistensi
Belajar dari Mesir dan Yaman itu—pasca-lengsernya Bouteflika dan Al-Bashir—rakyat Aljazair dan Sudan tidak langsung membubarkan diri dari jalanan kota Algiers dan Khartum. Mereka justru semakin tancap gas dengan tetap bertahan di jalanan untuk menuntut mundurnya kroni penguasa lama dan supremasi sipil di masa transisi.
Mereka berkeyakinan hanya dengan memegang kekuasaan pada masa transisi, mereka bisa melibas habis rezim Al-Bashir dan Bouteflika sekaligus merancang masa depan negara sesuai dengan visi mereka.
Karena itu, rakyat Sudan dan Aljazair kini bertekad akan membayar harga berapa pun untuk bisa memegang sendiri kekuasaan pada masa transisi dan kemudian melibas rezim Al-Bashir dan Bouteflika.
Rezim Al-Bashir adalah yang membangun sistem politik, ekonomi, sosial, dan keamanan di Sudan selama 30 tahun terakhir ini, yakni sejak Al-Bashir berkuasa tahun 1989. Demikian juga rezim Bouteflika adalah yang membangun sistem politik, ekonomi, sosial, dan keamanan di Aljazair selama 20 tahun terakhir, yakni sejak Bouteflika berkuasa pada 1999.
Di Aljazair, rakyat kini terus berjuang merebut kendali masa transisi. Tuntutan rakyat Aljazair kini bertumpu pada lengsernya tiga tokoh besar loyalis Bouteflika. Mereka adalah ketua parlemen Abdelkader Bensalah yang menjabat presiden selama 90 hari, ketua dewan konstitusi Tayeb Belaiz, dan perdana menteri pemerintah sementara Noureddine Bedoui.
Tantangan
Pada 16 April, Belaiz mengumumkan pengunduran diri sebagai ketua dewan konstitusi. Kini tinggal presiden sementara Abdelkader Bensalah dan PM Bedoui yang masih berusaha bertahan.
Pada 10 April, Bensalah mengumumkan akan digelar pemilu presiden pada 4 Juli, sebagai jalan keluar dari krisis politik Aljazair saat ini. Namun, kubu oposisi menolak ikut serta dalam pemilu itu karena mereka tidak mengakui Bensalah sebagai presiden sementara. Partai-partai politik oposisi menyatakan akan memboikot pemilu 4 Juli.
Asosiasi hakim di Aljazair juga mengumumkan menolak menjadi pengawas pada pemilu presiden 4 Juli itu. Padahal undang-undang pemilu Aljazair menegaskan, hakim harus menjadi pengawas jalannya pemilu.
Situasi Aljazair pun kini menjadi dilematis. Di satu pihak, militer masih bersikeras peralihan di Aljazair harus mengacu pada konstitusi no 102 yang menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan ketua parlemen selama 90 hari pasca-lengsernya presiden.
Di pihak lain, rakyat menolak ketua parlemen Bensalah—kroni Bouteflika—menjabat presiden sementara. Rakyat menuntut Bensalah segera mundur mengikuti jejak ketua dewan konstitusi Tayeb Belaiz.
Hal yang sama terjadi di Sudan saat ini. Asosiasi Profesi Sudan (SPA) serta Gerakan Deklarasi Kebebasan dan Perubahan yang memimpin aksi unjuk rasa di Sudan, pada 22 April lalu menyatakan, menolak mengakui dewan transisi militer. SPA menuntut kekuasaan masa transisi segera diserahkan kepada mereka. Namun, dewan transisi militer sampai saat ini masih menolak membubarkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada sipil.
Baik Sudan maupun Aljazair kini menunggu solusi kompromi antara militer dan rakyat.