Jamu, Aku Cari Kamu
Cerita jamu tak lekang oleh zaman. Meski minuman dengan rasa-rasa baru bermunculan, jamu tak tergoyahkan. Tak sabar menunggu penjual jamu datang ke rumah, jamu pun diburu hingga ke pasar.
Pukul 8.00 WIB, antrean mengular di depan Toko Jamu Ibu Hadi, Pasar Mayestik, Jakarta. Kendati antre, pagi itu tak ada raut wajah pembeli yang cemberut. Sebab, jamu yang menempati kios di blok A itu menerapkan sistem antrean menggunakan kartu.
Ada kartu-kartu bertuliskan nomor 1-40 di meja. Pembeli yang mengantre, silakan mengambil kartu. Lalu, nomor antrean dipanggil berurutan.
"Begitu 40 nomor selesai dipanggil, diurutkan lagi dari awal. Dalam sehari bisa dua putaran pemanggilan, bahkan bisa lebih saat akhir pekan," ujar Budi Susilowati, anak perempuan Ibu Hadi, yang ditemui di kiosnya, Selasa (23/4/2019).
Setiap hari setidaknya ada 80 orang membeli jamu di Toko Jamu Ibu Hadi, yang buka Senin-Sabtu pukul 8.00-14.30. Usaha itu dimulai nenek Budi, Karto Wijoyo, sejak 1950.
Bukan hanya usaha jamu yang turun-temurun, namun pembelinya juga turun-temurun. Meskipun, banyak juga pembeli baru yang mengenal jamu Bu Hadi dari promosi mulut ke mulut.
"Konsumen semakin banyak. Pelanggan lama tetap ada, pelanggan baru bertambah" ujar Budi.
Menurut Budi, yang mendapat pesan dari nenek dan ibunya, kunci menjaga kesetiaan pelanggan adalah menjaga mutu jamu. Proses produksi jamu tidak berubah meski telah dilakoni 3 generasi.
Pelanggan lama tetap ada, pelanggan baru bertambah.
Kegiatan mengupas bahan, menyangrai, memarut, menggerus atau menumbuk dengan tangan, mengayak, dan membuat adonan, dipertahankan demi kesegaran dan kualitas jamu. Ada 12 orang yang bekerja di usaha jamu itu.
"Pesan utama, tidak boleh pakai bahan pengawet dan bahan kimia. Jamu ini kalau ditaruh di kulkas cuma tahan 3 hari. Kalau tidak masuk kulkas, jamu yang diracik pagi hanya tahan sampai jam 6 sore," jelas Budi.
Demi menjaga mutu, saat pembeli sedang sepi, misalnya karena hujan deras sepanjang hari, maka jamu dibagikan gratis kepada tetangga dan pedagang di Pasar Mayestik. Tak ada cerita jamu disimpan untuk dijual lagi keesokan harinya.
Harga jamu Ibu Hadi bervariasi, tergantung bahan baku dan jenis jamunya. Ada yang harganya Rp 5.000 per gelas, namun ada juga yang Rp 16.000 per gelas. Rentang harga yang bervariasi itu terus dijaga agar diterima semua segmen pembeli, dari kalangan bawah, menengah, sampai atas.
Kenangan membanggakan bagi Budi sebagai tukang jamu adalah menginjak Istana Kepresidenan dan bersalaman dengan presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Pelanggan Pasar Modern BSD, Marta Puri (34), selalu mampir ke kios Jamu Mbak Suni setiap kali berbelanja ke pasar itu. Selasa lalu, setelah menyandarkan beberapa tas belanja di dinding kios, Puri mengecek daftar belanjaan. Tak lama, segelas jamu kunyit asam sudah terhidang di meja di depan Puri.
"Seharusnya saya memesan jamu kuat agar kuat menenteng belanjaan," katanya sambil tertawa pada Sunita Bhagchandani (27), pemilik Jamu Mbak Suni.
Sunita menceritakan, dia mengolah jamu yang dijual di kiosnya dari bahan-bahan alami, seperti kunyit, jahe, temulawak, brotowali, secang, dan asam jawa. Bahan-bahan itu diolah secara manual. Akibatnya, jari-jemari Sunita yang lentik berwarna kuning, bekas terkena kunyit.
Sekitar dua bulan lalu, Sunita membuka kiosnya di Pasar Modern BSD, Tangerang Selatan, Banten. "Saya sengaja memilih membuka kios di pasar karena ingin mengembalikan jamu ke tempat asalnya, yakni pasar," ujarnya.
Di Pasar Modern BSD ada beberapa penjual jamu. Salah satunya, Sunita.
Ada penjual jamu yang membawa bakul sarat botol berisi jamu, menempati sebuah sudut dekat kios makanan. Ada juga yang menempati kios sambil berjualan bakso. Pembelinya tak hanya sesama pedagang di pasar, namun masyarakat yang berbelanja di pasar.
Kerap kali, pembeli di Pasar Modern BSD menggenapi sarapan mi ayam atau pecel sayuran dengan segelas jamu. Segaarrr...
Nongkrong
Sunita sengaja mendesain kiosnya menyerupai tempat nongkrong di tengah pasar. Dia ingin menunjukkan, jamu bisa jadi teman nongkrong dan gaya hidup.
Tak hanya dalam gelas, Sunita juga menyiapkan jamu dalam kemasan botol untuk dibawa pulang. Tak jarang, pembeli membawa botol sendiri, untuk wadah jamu pesanan mereka.
Pembeli jamu di kios Mbak Suni beragam. Ada ibu-ibu berdaster, ibu-ibu membawa anak sekolah, atau mbak-mbak yang menjinjing tas kantoran. Tak jarang, bapak-bapak memilih duduk di kios Jamu Mbak Suni, menunggu istri mereka berkeliling pasar.
Jahe Kencur Jeruk atau JKJ jadi jamu favorit pelanggan. Paduan panasnya jahe dan asamnya jeruk nipis menghangatkan tenggorokan seketika. Saking favoritnya, sekitar pukul 12.00, gelas terakhir JKJ sudah ludes.
Setiap hari, sekitar 30-50 gelas jamu terjual. Namun, pada akhir pekan, 70 gelas Jamu Mbak Suni ludes.
Uwy (40) yang tinggal di Bintaro, baru pertama kali mencicipi Jamu Mbak Suni. "Saya membeli kunyit asam. Rasanya kekinian," katanya.
Adapun Hani Dwi (50), yang mencoba JKJ, cocok dengan rasa jamu hasil olahan tangan Sunita. Sementara, Adinda Dhamayanti (18) yang tinggal di Serpong, rutin minum beras kencur dan kunyit asem buatan Sunita. Ia jadi terbiasa minum jamu.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu) Dwi Ranny Pertiwi Zarman yakin bisnis jamu akan terus berkembang di Indonesia. Sebab, konsumen jamu mulai merambah kalangan muda.
Jamu tak hanya dicintai penggemar lama. Jamu mulai merasuk di hati pecinta baru. (C Anto Saptowalyono/Maria Paschalia Judith)