Menakar Urgensi Koalisi Gemuk Jokowi
Hasil rekapitulasi suara Pemilihan Umum 2019 masih jauh dari rampung. Akan tetapi, tensi politik memanas lebih cepat. Satu pekan setelah pemungutan suara, panggung politik nasional sudah mulai ramai dengan gonjang-ganjing arah pembentukan peta koalisipascapemilu.
Berawal dari pertemuan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (24/4/2019), muncul spekulasi, partai yang sekarang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu akan bergeser arah dukungan politik.
Pertemuan singkat Zulkifli dan Jokowi diadakan seusai pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Murad Ismail dan Barnabas Orno. Murad dan Barnabas adalah pasangan yang pada Pemilihan Gubernur Maluku 2018 memiliki koalisi partai pendukung yang besar sampai menggabungkan dua kubu yang sikap politiknya berseberangan di tingkat nasional.
Dalam Pilgub Maluku, Murad dan Barnabas didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerindra sekaligus. Murad dan Barnabas juga didukung enam partai lain dari campuran kedua kubu tersebut, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Asumsi bahwa PAN akan berganti arah politik semakin menguat dengan pernyataan sejumlah elite PAN yang saling bertentangan setelah pertemuan tersebut, menyiratkan adanya pemecahan sikap di internal partai terkait keputusan bergabung dengan koalisi Jokowi atau tidak.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, untuk saat ini PAN masih menjadi bagian dari partai pendukung Prabowo-Sandi dan akan mengawal proses rekapitulasi suara yang masih berlangsung. Namun, ia menilai tidak menutup kemungkinan rekonfigurasi koalisi di parlemen dapat terjadi.
”Namanya saja politik. Sesuai kebutuhan dan tuntutan, termasuk pergerakan partai politik, bisa saja ada penyesuaian dengan arah kepentingan ke depan. Partai yang sekarang berada di pihak oposisi bisa saja bergeser,” tutur Eddy.
PAN punya sejarah panjang relasi maju-mundur dengan Jokowi. Berawal sebagai pendukung Prabowo-Hatta Rajasa pada Pemilu 2014, PAN akhirnya bergabung ke koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pada September 2015.
Setelah dua tahun bergabung, PAN lebih banyak berbeda sikap dengan pemerintah dan koalisi di DPR, seperti pada sejumlah isu penting di revisi Undang-Undang Pemilihan Umum serta Perppu Ormas. Pada akhirnya, PAN resmi keluar dari koalisi pada Agustus 2018 dan kembali mendukung Prabowo di Pemilu 2019.
Selang tiga hari setelah spekulasi terkait PAN, muncul isu senada bahwa Partai Demokrat ikut ditengarai menjajaki kemungkinan serupa. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin, Abdul Kadir Karding, mengatakan, Jokowi menyambut baik komunikasi dan silaturahmi yang dilakukan elite-elite politik pasca-Pemilu 2019.
Karding mengungkit adanya wacana bergabungnya Demokrat dalam koalisi Indonesia Kerja. Menurut dia, itu wacana yang cukup wajar mengingat komunikasi Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono ataupun putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), berlangsung cukup baik.
”Meski masih terlalu dini membicarakan bergabungnya koalisi pendukung Prabowo, mengingat Pak Jokowi belum dilantik kembali sebagai presiden, kami menyambut baik komunikasi dan silaturahmi yang memperat rasa persaudaraan pasca-Pilpres 2019,” ujar Karding.
Berbeda dari PAN, Demokrat pada pemerintahan 2014-2019 tidak mendukung Jokowi ataupun Prabowo. Partai besutan SBY itu menempatkan diri sebagai partai penengah. Akan tetapi, tuntutan kontestasi pemilu serentak yang sengit mendorong Demokrat harus menentukan sikap. Setelah komunikasi politik yang cukup intens, Demokrat yang awalnya gamang pun memutuskan bergabung dengan koalisi Prabowo.
Berdasarkan kalkulasi di atas kertas dengan mengacu pada hasil hitung cepat dan real count Komisi Pemilihan Umum, per hari ini, Jokowi sudah memiliki dukungan besar di parlemen. Dengan disokong lima partai, perkiraan kekuatan politik Jokowi-Amin di Senayan adalah 53,87 persen suara. Kelima partai itu adalah PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP.
Koalisi yang dinamakan Koalisi Indonesia Kerja itu diprediksi berhadapan dengan koalisi partai pendukung Prabowo-Sandiaga, Koalisi Indonesia Adil Makmur, yang total kekuatan suaranya 36,26 persen dengan disokong empat partai, yaitu Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.
Dengan kekuatan mayoritas di parlemen hasil hitung cepat pileg, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, komposisi koalisi 5-4 yang saat ini ada sudah terbentuk kemungkinan tidak akan berubah, kecuali Jokowi sendiri yang menghendaki.
”Kekuatan kami sudah mayoritas sehingga pemerintahan yang efektif akan tercipta. Namun, demokrasi yang sehat juga butuh check and balance. Mereka yang telah memilih di luar itu punya tanggung jawab untuk membangun demokrasi yang sehat. Tidak bisa semuanya berbondong-bondong masuk pemerintahan,” tutur Hasto, yang juga sekretaris tim kampanye Jokowi-Amin.
Tidak baku
Dari pemilu ke pemilu pascareformasi tidak ada koalisi yang komposisinya baku sejak pilpres sampai pasca-pemerintahan terbentuk. Rekonfigurasi dan perubahan arah politik sudah menjadi hal biasa dalam relasi eksekutif dan legislatif.
Dari pemilu ke pemilu pascareformasi tidak ada koalisi yang komposisinya baku sejak pilpres sampai pasca-pemerintahan terbentuk. Rekonfigurasi dan perubahan arah politik sudah menjadi hal biasa dalam relasi eksekutif dan legislatif.
Perubahan komposisi koalisi itu umumnya untuk memperbesar dukungan pemerintahan terpilih akibat koalisi di DPR yang masih minim demi memperlancar terwujudnya kebijakan dan program-program pemerintah. Fenomena itu tampak pada Pilpres 2014. Untuk menyudahi kebuntuan akibat kalahnya dukungan politik pemerintaham Jokowi-Kalla di DPR, koalisi pun diperbesar, dari awalnya hanya didukung empat partai menjadi tujuh partai.
Hal serupa terlihat sebelumnya, pasca-Pemilu 2004. SBY-Jusuf Kalla memenangi pilpres dengan hanya didukung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Keadilan Sejahtera, yang perolehan kursinya minim di DPR.
Yudhoyono membutuhkan dukungan kuat dari parlemen sehingga ia mendorong Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar 2005. Tujuannya agar pemerintah bisa mendapat dukungan politik dari Golkar sebagai partai yang saat itu memiliki kursi terbesar di DPR.
Kondisi saat ini berbeda dari sebelumnya. Dengan koalisi gemuk yang sudah dibentuk sejak pilpres, jika Jokowi-Amin memenangi pilpres, konsolidasi di awal masa jabat diprediksi tidak sesulit saat 2014. Kendati demikian, tantangan lain berpotensi mengusik soliditas koalisi.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Usep Hasan Sadikin menilai, koalisi mayoritas di DPR belum tentu mewujudkan pemerintahan efektif. Terlebih, skema pemilu serentak ke depan membuat kontestasi antarpartai di pileg semakin sengit.
Partai-partai akan secara otomatis terdorong untuk lebih aktif dan konsisten mengusung sejumlah isu besar untuk dijadikan identitas ideologis atau programatik partai demi peluang unggul di Pileg 2024.
Resistensi
Didorong kepentingan elektoral untuk lima tahun mendatang, resistensi bisa muncul dari internal partai-partai pendukung Jokowi-Amin sendiri jika program atau kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan isu yang sedang berusaha digulirkan partai sebagai identitas pembedanya.
”Ada insentif bagi partai jika mereka mengambil isu yang berbeda dari presiden dan pemerintah. Pada Pemilu 2024 nanti konstelasi politik yang terbentuk bisa saja sama sekali baru. Ini membuat partai-partai akan berusaha menemukan isu tersendiri yang bisa dijadikan identitasnya. Itu berpotensi menggoyang bangunan koalisi,” tutur analis politik Exposit Strategic Arif Susanto.
Resistensi dan persoalan soliditas koalisi juga bisa dipengaruhi faktor lain yang berasal dari internal partai. Hasil hitung cepat Litbang Kompas menunjukkan, fenomena pembelahan suara (split voting) masih ditemukan di semua partai. Khusus di internal Koalisi Indonesia Kerja, pembelahannya cukup signifikan terlihat di PPP dan Partai Golkar.
Mengacu pada perhitungan indeks Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP) berdasarkan hasil hitung cepat, ada tujuh dari total sembilan partai yang akan efektif memengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR. Kondisi ini mirip dengan DPR periode 2014-2019
Di sisi lain, dinamika koalisi juga diprediksi cenderung cair karena tingkat fragmentasi partai di parlemen masih tinggi. Mengacu pada perhitungan indeks Effective Number of Parliemantary Parties (ENPP) berdasarkan hasil hitung cepat, ada tujuh dari total sembilan partai yang akan efektif memengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR. Kondisi ini mirip dengan DPR periode 2014-2019. Saat itu, indeks ENPP menunjukkan, ada delapan partai dari total sepuluh partai di parlemen yang relevan.
Proses pengambilan keputusan di DPR berpotensi tidak berlangsung efektif jika tingkat fragmentasi partai-partai tinggi. Dengan perkiraan selisih perolehan suara yang berbeda tipis, mayoritas partai yang lolos ke DPR dengan kepentingannya masing-masing memiliki relevansi dan posisi tawar yang seimbang untuk memengaruhi bandul penentuan kebijakan dan undang-undang yang dibahas DPR bersama pemerintah. Itu dapat membuat proses pengambilan keputusan lebih alot.
Mengacu pada fenomena di Brasil, penelitian yang dilakukan Frederico Bertholini dan Carlos Pereira, The Price of Governing: Coalition Management Costs in Brazil’s Presidential System, menunjukkan, dukungan mayoritas di parlemen tidak menjamin pemerintahan yang efektif jika tingkat fragmentasi partai di DPR tetap tinggi.
Posisi presiden dalam sistem presidensial dan multipartai akan selalu rawan ketika berhadapan dengan parlemen meskipun jumlah partai koalisinya mayoritas. Jika ukuran koalisi besar, tetapi tingkat fragmentasi partai di DPR tetap tinggi, presiden terpilih tetap akan menghadapi kesulitan menggolkan kebijakan dan janji kampanyenya.
Maka, selama tingkat fragmentasi di DPR masih tinggi, presiden terpilih akan berusaha terus memperbesar dukungan politiknya di parlemen. Abdul Kadir Karding membenarkan, saat ini memang ada keinginan untuk merangkul partai-partai lain masuk dalam koalisi demi menjaga persaudaraan dan persatuan antarelite.
Namun, sejarah mencatat, koalisi gemuk tidak selalu berhasil mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dalam beberapa kasus, koalisi gemuk justru menjadi sumber persoalan kontrol dan koordinasi di lingkaran kekuasaan presiden dan elite pendukungnya. Itu berujung pada praktik politik transaksional dan pembagian kursi kekuasaan yang pragmatis di antara elite-elite pendukung pemerintahan terpilih.
Usep menilai, jika Jokowi kembali menjabat, ia tidak perlu takut tersandera kepentingan partai-partai pendukungnya. Presiden dengan popularitas tinggi dan tingkat keterpilihan tinggi seharusnya tidak perlu kesulitan mengelola koalisinya dan mewujudkan pemerintahan yang efektif.
Terlebih, Jokowi tidak punya beban politik karena ia tidak akan mencalonkan diri lagi di Pilpres 2024. Dalam konteks itu, koalisi yang terlalu gemuk pun tidak terlalu tinggi urgensinya. Kekuatan oposisi sebagai mekanisme pengawas dan penyeimbang pemerintah justru dibutuhkan demi proses demokrasi yang lebih sehat.
”Jokowi dapat berlindung di balik kedaulatan rakyat. Koalisi yang terlalu gemuk tidak diperlukan dan tidak perlu menyandera Jokowi. Kuncinya kini pada sosok Jokowi sebagai pemimpin koalisi,” katanya.