MRT, Harapan Baru Mobilitas Warga
Kehadiran moda raya terpadu atau MRT memberi harapan baru perbaikan persoalan lama di Ibu Kota, yaitu kemacetan dan efisiensi perjalanan. Namun, terwujudnya harapan itu tentu memerlukan proses.
Berkurangnya potensi kemacetan seiring meningkatnya animo warga menggunakan MRT perlu diimbangi perbaikan layanan angkutan umum secara keseluruhan.
Kereta MRT ini merupakan ide lama, yaitu sejak 1985. BJ Habibie yang saat itu menjadi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengusulkan MRT dengan konsep heavy rail transit sebagai sarananya untuk mengurangi kemacetan Jakarta.
Setelah melalui perjalanan panjang, pada Oktober 2013 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan MRT di kawasan Dukuh Atas.
Enam tahun kemudian, moda angkut berupa 16 rangkaian kereta stainless steel buatan Nippon Sharyo Jepang ini diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Maret lalu.
Satu rangkaian MRT bisa menampung 1.200-1.950 penumpang, atau 332 orang per kereta. Kecepatan maksimal kereta 100 kilometer per jam.
Berbeda dengan kereta komuter, MRT mempunyai jalur khusus yang tidak berpotongan dengan jalan raya. Rel yang digunakan berupa rel layang ataupun terowongan dalam tanah.
Hal inilah yang membuat MRT mempunyai jadwal yang pasti dan dengan waktu tempuh 30 menit dari Stasiun Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia.
Tarifnya yang berkisar Rp 3.000 hingga Rp 14.000, tergantung jarak tempuh, relatif lebih murah dibandingkan menggunakan moda pribadi, angkutan daring, ataupun taksi.
Berbagai kelebihan tersebut diharapkan menarik orang menggunakan angkutan rel ini. Optimisme lain juga ditunjukkan dalam jajak pendapat Kompas pada awal April lalu. Tiga dari lima responden yakin kehadiran MRT akan mendorong pengguna kendaraan pribadi beralih ke MRT.
Warga percaya keberadaan MRT dengan berbagai keunggulannya tak hanya menarik minat warga untuk naik MRT, tetapi juga angkutan umum lain yang telah ada, seperti kereta rel listrik (KRL) Commuterline dan bus Transjakarta.
Keyakinan ini tak hanya ditunjukkan 25 persen responden yang biasa menggunakan angkutan umum, tetapi juga 73 persen pengguna kendaraan pribadi.
Harapan
Tak hanya optimisme, separuh lebih responden juga menaruh harapan besar agar MRT bisa mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta. Namun, impian warga tersebut juga harus ditunjang dengan beralihnya pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum untuk mengurangi volume lalu lintas. Selama ini kepadatan lalu lintas didominasi penggunaan moda pribadi.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, sekitar 60 persen warga Jabodetabek masih menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi untuk bermobilitas.
Tak hanya itu. Sekitar 28 persen responden juga mengandalkan kereta MRT untuk mencapai tempat aktivitas lebih cepat. Selama ini, dengan kendaraan pribadi, waktu tempuh rute Lebak Bulus-Bundaran HI bisa mencapai 1 jam lebih saat jam sibuk.
Sisanya, menyatakan MRT bisa menambah pilihan angkutan umum selain KRL dan bus Transjakarta yang telah ada.
Jaga kualitas
Namun, harapan tersebut tidak akan terwujud jika pemerintah tidak menjaga kualitas angkutan umum yang telah ada. Ada sejumlah hal dari angkutan umum yang harus diperbaiki.
Sekitar 30 persen responden menyebutkan, persoalan kenyamanan menjadi hal penting untuk dibenahi. Kenyamanan ini bisa jadi terkait padatnya penumpang bus Transjakarta dan KRL saat jam sibuk di pagi dan sore hari.
Keluhan kedua terkait faktor keamanan. Ini dikeluhkan lebih dari seperempat responden. Keamanan ini terkait sejumlah kasus pelecehan seksual di KRL, akhir-akhir ini. Tercatat oleh operator KRL, pada 2017, ada 20 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan. Jumlah laporan itu meningkat menjadi 34 kasus pada 2018.
Selanjutnya, 15 persen responden menyebut sarana pendukung angkutan umum, seperti halte, stasiun, jembatan penyeberangan orang, serta papan informasi, sebagai masalah yang mendesak dibenahi.
Sekitar 25 persen meminta pembenahan perilaku pengemudi, tarif, jadwal yang tidak pasti, serta rute angkutan.
Integrasi antarmoda juga menjadi bagian penting dari angkutan umum. Upaya integrasi telah dilakukan pemerintah untuk mempermudah warga berpindah angkutan umum, di antaranya dengan membuat halte bus Transjakarta berdekatan dengan stasiun KRL dan MRT. Juga dengan membuat sejumlah rute angkutan pengumpan bus Transjakarta dan angkot melalui sistem JakLingko menuju stasiun KRL dan MRT.
Untuk sejumlah upaya tersebut, hampir separuh responden memberikan apresiasi positif. Namun, masih ada seperempat responden yang menilai integrasi moda yang ada selama ini masih sulit diakses.
MRT di Jakarta sebagai ”barang baru” tidak bisa instan mengatasi kemacetan lalu lintas. Moda MRT mesti berkolaborasi dengan angkutan umum lainnya, yaitu KRL, bus Transjakarta, bus reguler, dan angkot, melayani berbagai rute di Jabodetabek.
Peran warga dinanti untuk mau beralih menggunakan angkutan umum. Di sisi lain, perlu juga campur tangan pemerintah menciptakan angkutan umum memadai dan aturan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.