Pembiayaan Proyek Jangan Bebani Anggaran Pemerintah
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Proyek kerja sama Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative yang digagas China dinilai akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, skema pembiayaan penting diperhatikan agar tidak menjadi beban fiskal ke depan.
"Pelaku usaha menilai ini merupakan inisiatif yang sangat baik, khususnya menetapkan sebagai proyek antarpebisnis atau business to business (B to B)," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, saat dihubungi Kompas, Minggu (28/4/2019).
Hariyadi menyampaikan, proyek lintas negara untuk membangun kembali jalur sutra emas akan turut membangun ekonomi Indonesia. Ada sebanyak 23 proyek Belt and Road Initiative (BRI), antara Indonesia dan China yang akan segera direalisasikan.
Proyek lintas negara untuk membangun kembali jalur sutra emas akan turut membangun ekonomi Indonesia
Menurut rencana, proyek kerja sama itu akan dikerjakan di koridor Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Maluku, dan Bali. Total komitmen investasi dalam kerja sama antarpengusaha Indonesia-China itu mencapai 14,215 miliar dollar AS atau setara Rp 201,68 triliun. (Kompas, 28 April 2019)
Meski demikian, Hariyadi menegaskan, skema pembiayaan harus terus diidentifikasi. "Perusahaan lokal yang terlibat harus memiliki kemampuan finansial yang kuat. Jangan sampai malah nanti meminta jaminan dari pemerintah," ujarnya.
Ketua Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri juga menyampaikan hal senada. Skema B to B memang dapat lebih menguntungkan ekonomi Indonesia karena sifatnya investasi, bukan pinjaman pemerintah.
"Tapi memang ini menjadi salah satu kesulitan. Pasalnya, dengan skema B to B, maka harus ada dunia usaha domestik yang kuat secara finansial untuk bekerja sama dengan bisnis China," kata Yose.
Selain itu, Yose juga mengingatkan agar proyek BRI ini tidak serta merta menjadi proyek bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, apabila ada masalah di proyek BRI, bukan tidak mungkin pemerintah akan menanggung beban fiskal.
"Sebaiknya pemerintah Indonesia semakin intensif untuk mengidentifikasi pelaku usaha Indonesia yang mampu bekerja sama. Tak hanya identifikasi proyek, namun identifikasi perusahaan lokal kita sebagai rekan kerja bagi China," kata dia.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, ke depan, proyek BRI semestinya tidak hanya menjadi jalan akselerasi sarana infrastruktur, namun transfer teknologi dan kemampuan bagi masyarakat Indonesia.
"Sebab, kalau sebagian besar pelaksana proyek hanya dari China, termasuk tenaga kerjanya, besar kemungkinan dampak langsung bagi ekonomi akan minim," tutur Eko.
Dengan begitu, tenaga kerja lokal dapat terlibat dalam pengoperasian infrastruktur yang telah dibangun. Yose menilai, infrastruktur ini bukan hanya untuk lima tahun ke depan, namun dalam rangka mempersiapkan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian maju.
"Untuk menjadi negara dengan ekonomi yang maju, maka infrastruktur harus kuat dan itu dibangun mulai dari sekarang," tutur Yose.