Pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi belum maksimal. Masyarakat menanti langkah strategis aparat penegak hukum dalam mengurai persoalan ini.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi belum maksimal. Masyarakat menanti langkah strategis aparat penegak hukum dalam mengurai persoalan ini.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, kerugian negara dari tindak pidana korupsi pada 2018 mencapai Rp 9,29 triliun. Adapun jumlah uang suap sebesar Rp 776,8 miliar, 8,2 juta dollar Amerika Serikat (AS), 27.400 ringgit Malaysia, dan 218.000 dollar Singapura serta uang pungli Rp 110,8 juta.
ICW mengumpulkan data ini dari 1.053 putusan perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa yang terpantau di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. ”Upaya pengembalian kerugian negara menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum. Dari ribuan putusan, vonis pembayaran uang pengganti hanya Rp 805 miliar dan 3 juta dollar Amerika Serikat,” ucap peneliti ICW, Lalola Easter, di Jakarta, Minggu (28/4/2019). Jumlah uang pengganti ini hanya 8,7 persen dari keseluruhan kerugian negara.
ICW menyinyalir, minimnya penerapan hukuman tambahan uang pengganti menjadi salah satu penyebab belum maksimalnya pengembalian kerugian negara.
Lalola menyebutkan, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu merumuskan dakwaan dengan menggunakan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut dia, rumusan itu membuat pencucian uang hasil korupsi terlihat sehingga pengembalian lebih maksimal. ”Ironisnya, hanya tiga terdakwa yang didakwa dan diputus dengan TPPU pada 2018. Ini tidak jauh berbeda dengan hanya empat terdakwa pada tahun 2017,” katanya.
Pasal gratifikasi
Pasal gratifikasi dapat menjadi alternatif lain untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Pasal 12 B Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi berbunyi, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Pasal tersebut berlaku dengan ketentuan sebagai berikut, pertama, gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000 atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Kedua, gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. ”Pasal tersebut dapat menjadi alternatif melalui pembalikan beban pembuktian secara terbatas yang dapat digunakan untuk merampas harta-harta yang keabsahan perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pemiliknya,” ucapnya.
Lalola menambahkan, KPK banyak menggunakan pasal gratifikasi, baik sebagai pasal dakwaan yang berdiri sendiri maupun yang diakumulasikan dengan pasal suap pada 2018.
Terkatung
Sementara pemulihan aset melalui perampasan barang-barang hasil kejahatan sering kali terhenti karena aspek legislasi. Hal ini menjadi perhatian dalam Diskusi Publik ”Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan dan Peluang Penerapannya dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, di Jakarta, Kamis (25/4).
Selama ini perampasan aset masih menunggu putusan inkrah dari pengadilan sehingga aset-aset itu berpotensi hilang. Oleh karena itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didorong segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang naskah akademiknya telah diserahkan kepada DPR pada 2012.
Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Santoso, mengatakan, perampasan aset hasil kejahatan pidana tak perlu sampai menunggu ada tuntutan pidana. Sebab, sering kali, aset hasil kejahatan hilang begitu saja setelah terdakwa dinyatakan bersalah. ”Pengejaran aset hasil kejahatan pun menjadi tak optimal. Tetapi, kita perlu UU yang mengatur itu, salah satunya lewat Rancangan UU Aset Perampasan yang sekarang sebenarnya sudah ada drafnya,” ujar Budi.
Menurut Budi, sembari menunggu RUU itu diusulkan kembali ke Prolegnas tahun 2020, setidaknya perlu ada beberapa penyempurnaan terkait dengan yurisdiksi dari perampasan aset itu sendiri.
Pertama, perampasan aset harus bisa dilakukan secara transnasional karena selama ini aset kejahatan tak hanya ada di Indonesia. Kedua, perampasan aset harus bersifat umum, tak terbatas di tindak pidana tertentu.
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Yunus Husein menekankan, penegak hukum harus mampu mengubah pola pikir pemidanaan dalam upaya menanggulangi kejahatan. Subyek pemidanaan tak bisa lagi hanya dilihat sebatas pelaku kejahatan, tetapi juga uang. Apalagi, itu menyangkut kerugian negara. ”Jangan mengejar orang, tetapi follow the money. Kalau tidak, negara malah kedodoran dan kewalahan mengejar orang-orang itu,” kata Yunus.
Sementara Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung Surya Jaya menilai, upaya monitoring aset hasil kejahatan sebenarnya bisa dimulai sejak pejabat negara melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK. Perampasan aset hasil kejahatan bisa diterapkan apabila penegak hukum mulai menduga ada kekayaan yang diperoleh dengan cara tak wajar (illicit enrichment) atas pejabat negara tersebut.
”Baru setelah lapor LHKPN, kita terapkan pembuktian terbalik. Itu pendekatan NCB (Non-Conviction Based) Asset Forfeiture (perampasan aset tanpa pemidanaan) yang paling tepat untuk diterapkan. Tetapi, itu pun perlu payung hukumnya,” kata Surya.