Asa Perempuan Muda Lombok
Suara perempuan dalam berbagai kelompok masyarakat Indonesia, apalagi remaja, belum diperhatikan. Akibatnya, banyak perempuan dan anak perempuan hidup bagai layang-layang, seolah bebas tapi sejatinya terkekang. Padahal, mereka juga punya potensi dan mimpi yang sama seperti laki-laki.
Sekitar 60 siswi Madrasah Aliyah Putri Al Ishlahuddiny yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Al Ishlahuddiny, Kediri, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, berkumpul di aula pondok, Minggu (17/2/2019) pagi. Minggu adalah hari efektif belajar di pesantren, mereka libur di hari Jumat.
Di depan mereka, Suci Apriani (19), Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Kediri berdiri. Ia mengajak santriwati berani mengungkapkan pendapat serta memperjuangkan impian dan cita-citanya, terutama saat menghadapi ajakan pacar atau desakan orangtua untuk menikah.
“Remaja perempuan harus berani memperjuangkan haknya, tapi itu bukan berarti melawan orangtua,” tegasnya.
Pernikahan anak jadi masalah besar di Lombok Barat dan NTB, khususnya bagi remaja putri. Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP2AKB) Lombok Barat pada 2017 mencatat pernikahan anak berumur kurang dari 20 tahun di daerah itu mencapai 1.038 kasus untuk anak perempuan dan 357 kasus anak laki-laki.
Jumlah itu cukup besar mengingat jumlah remaja usia 15-19 tahun di Lombok Barat pada 2017 mencapai 64.669 orang. Terlebih, banyak anak yang tidak menyadari risiko yang harus mereka hadapi akibat menikah saat belum cukup umur, tanpa kesiapan mental, fisik, maupun sosial ekonomi.
Banyak anak yang tidak menyadari risiko yang harus mereka hadapi akibat menikah saat belum cukup umur, tanpa kesiapan mental, fisik, maupun sosial ekonomi.
Kesadaran itulah yang ingin didorong KPAD melalui Forum Anak Desa (FAD) Kediri bahwa anak-anak perempuan berhak dan harus berani untuk berkata tidak saat diajak atau dipaksa menikah.
“Remaja harus berperan dan terlibat dalam mengambil keputusan, khususnya yang terkait dengan nasib mereka,” tambah Hesti Diana Putri, anggota KPAD Kediri yang juga siswi kelas X jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) MA Putri Al Ishlahuddiny.
Pintu kehidupan
Pembina Pondok Pesantren Al Ishlahuddiny, Lombok Barat, Habiburrahman di hadapan santrinya mengingatkan, pernikahan adalah pintu menuju tahapan kehidupan yang lebih lanjut. “Salah melangkah, maka hidupmu bagaikan mimpi buruk,” katanya.
Risiko itulah yang kurang dipahami remaja. Namun, itu adalah hal wajar mengingat kemampuan remaja berpikir logis belum matang. Karena itu, orangtua dan orang dewasa di sekitarnya punya peran besar agar anak tidak terjerumus dalam berbagai persoalan hidup di masa depan, melanggengkan kemiskinan, hingga melahirkan generasi masa depan yang tak berkualitas.
Pernikahan anak di NTB sejatinya dipicu oleh berbagai persoalan yang saling tumpang tindih. Meski banyak pihak sepakat praktik itu harus diakhiri, namun untuk mencapai tujuan itu tidak mudah.
Mulyadi Fadjar dari Balai Pelatihan Kesehatan NTB dalam \'Jurnal Pendewasaan Usia Perkawinan\', dinkes.ntbprov.go.id, 4 Juni 2018, menyebut penyebab pernikahan dini di NTB beragam, mulai dari pola pikir, rendahnya pendidikan, kemiskinan, masalah sosial budaya, perilaku seksual remaja hingga tumpang tindihnya aturan.
Pernikahan anak di NTB umumnya terjadi pada keluarga kurang mampu di perdesaan dan memiliki akses pendidikan yang terbatas. Anak dari orangtua yang menikah muda atau tinggal di lingkungan yang banyak menikah dini rentan untuk mengalami hal sama karena menikah muda dianggap wajar.
Pernikahan anak di NTB umumnya terjadi pada keluarga kurang mampu di perdesaan dan memiliki akses pendidikan yang terbatas.
Keluarga dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah serta banyak anak juga cenderung menikahkan anaknya di usia dini. Ketiadaan biaya menyekolahkan anak dan harapan mengurangi beban ekonomi membuat banyak anak dipaksa segera menikah.
Persoalan budaya juga turut memengaruhi. Lombok dikenal dengan budaya merariq atau membawa lari calon istri.
Budayawan Sasak asal Lombok Barat, Raden Muhamad Rais mengatakan, semula, merariq jadi sarana calon pengantin laki-laki mengambil calon istri tanpa perlu calon istri dan keluarganya tidak enak menolak lamaran laki-laki lain. Anak perempuan yang dilarikan harus dikawinkan dengan laki-laki yang melarikannya.
Namun, praktik merariq saat ini banyak diselewengkan. Sejumlah anak perempuan dilarikan tanpa ia dan keluarganya menghendaki. Pernikahan di antara mereka pun hampir selalu terjadi demi menutup aib atau menghindari konflik antar keluarga dan kampung.
Praktik merariq saat ini banyak diselewengkan. Sejumlah anak perempuan dilarikan tanpa ia dan keluarganya menghendaki.
Merariq yang menyimpang itu sejatinya bisa digagalkan. Namun, itu butuh kesadaran anak, orangtua dan dukungan kuat tokoh adat.
Menurut Habiburrahman, anak yang tinggal di pesantren relatif aman dari praktik menikah dini. Mereka yang rentan menikah dini umumnya anak yang putus atau tidak melanjutkan sekolah.
“Kalau mereka sekolah, apalagi di pesantren, keinginan untuk buru-buru menikah berkurang,” katanya. Terlebih, kesibukan proses belajar di pesantren yang berlangsung hampir 24 jam membuat mereka tak punya banyak waktu memikirkan keinginan segera menikah.
Orangtua yang menyekolahkan anak di pesantren juga memiliki pola pikir lebih maju. Mereka menyerahkan pendidikan anaknya ke pesantren dengan harapan sang anak memiliki bekal ilmu memadai lebih dulu, tidak buru-buru menikah.
Karena itu, ia berharap sosialisasi pencegahan pernikahan dini lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang putus sekolah atau mereka yang pada akhir satu tingkat pendidikan tertentu dan akan melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya, dari SD ke SMP atau SMP ke SMA.
“Sosialisasi juga harus menyasar orangtua karena mereka berperan besar mencegah pernikahan anak terjadi," katanya.
Penyemangat
Fokus pada pendidikan bisa mencegah anak untuk menikah pada umur yang belum semestinya. Karena itu, Habiburrahman berharap santrinya tak berhenti sekolah.
Fokus pada pendidikan bisa mencegah anak untuk menikah pada umur yang belum semestinya.
Harapan itu berpadu dengan semangat yang disampaikan Suci, Hesti, serta anggota FAD dan KPAD lainnya itu menguatkan para santri.
Meski para santri itu memiliki rentang pandangan tentang peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat yang besar, dari konservatif sampai progresif, sebagian besar mereka ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi daripada buru-buru menikah.
“Saya ingin kuliah dulu, jadi sarjana, lalu jadi pengusaha,” kata Elin Mus Mayani, siswi kelas X IPA MA Putri Al Ishlahuddiny yang mengikuti pertemuan tersebut. Elin bercita-cita menekuni bisnis kuliner setelah lulus kuliah. Berkembangnya pariwisata di Lombok dilihatnya sebagai peluang untuk mengembangkan usaha pendukung wisata, salah satunya kuliner.
Keinginan Elin itu sudah disampaikan pada orangtuanya. Menurutnya, asal disampaikan dengan sopan, orangtua bisa memahami kemauan anak, bahkan mendukung. “Alhamdulillah, orangtua menyerahkan kepada saya mau seperti apa,” katanya.
Tia Zahara, teman sekelas Elin pun ingin mewujudkan cita-citanya dulu, menjadi dosen biologi. Karena itu, daripada buru-buru menikah, ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Impian perempuan muda itu perlu dijaga agar tumbuh dan berkembang. Jika dimanfaatkan, kemampuan mereka akan berdampak besar bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Jangan biarkan asa mereka padam akibat menikah terlalu muda.