Pesona Lain Morotai
Morotai tidak hanya punya pantai pasir putih, keindahan bawah laut, dan kisah Perang Dunia II. Pulau di ujung utara Provinsi Maluku Utara ini juga menyimpan daya tarik panorama alam dan budaya yang sayang untuk dilewatkan.
Air terjun, musik bambu hitada, belum lagi papeda, menanti untuk disapa. Ayo kita kemon ke sana.
Tiga atau empat hari di Morotai rasanya cukup untuk mengantar kita menyelami keindahan dan pulau yang luar biasa ini. Dengan catatan, agenda tersusun padat. Jika ingin lebih banyak kegiatan atau menikmatinya tidak dengan terburu-buru tentu butuh waktu lebih panjang.
Jika bosan dengan pemandangan laut, kita bisa mencoba berkunjung ke air terjun dan yang terkenal adalah Air Terjun Nakamura serta Air Terjun Raja. Terletak di Desa Raja, Kecamatan Morotai Selatan Barat, Air Terjun Raja menawarkan pemandangan alam liar dari ketinggian.
Dibutuhkan kendaraan dengan stamina fit dan kemampuan mengemudi yang lihai untuk menempuh rute ke sana. Sebagian jalan masih merupakan padatan pasir dan batu.
Baca Juga : Keajaiban Bawah Laut Morotai
Saat kami ke sana, jembatan yang melewati sebuah sungai ternyata sedang rusak. Untung, air sungai sedang tidak tinggi. Sopir mobil sewaan kami yang trampil, berhasil melewati sungai dengan turunan dan tanjakan yang sulit.
Lokasi air terjun tidak jauh dari jalan raya. Suasana sekitarnya masih asli dan sepi. Tinggi total air terjun sekira 75 meter. Jika kita berdiri di puncak air terjun lalu memandang ke bawah, air seperti terjun ke dasar jurang.
Namun, 10 meter ke bawah melewati lekukan tebing terdapat sebuah kolam berisi air kehijauan. Memandang lepas dari arah puncak air terjun, tampak deretan pohon-pohon tinggi yang menghias lereng bukit-bukit di kejauhan.
Capung-capung merah berterbangan dan hinggap di potongan kayu mati yang terendam di aliran air di atas air terjun. Capung merupakan salah satu hewan yang menjadi indikator air bersih. Tanaman kembang sepatu yang sedang mekar dengan bunga-bunganya yang merah, menyemarakkan suasana yang didominasi warna hijau.
Air terjun dapat dicapai setelah sejam bermobil dari pusat kota. Kawasan ini dulunya merupakan daerah yang dimanfaatkan oleh Jepang untuk mengintai musuh. Terdapat beberapa titik di dekat lokasi air terjun di mana kita bisa melihat ke arah pusat kota hingga jauh ke lautan.
Jepang menduduki Morotai sejak tahun 1942. Aliansi pasukan sekutu dan Amerika Serikat kemudian menjadikan Morotai sebagai basis militer mereka pada tahun 1944 untuk mendesak Jepang yang sebelumnya merebut Filipina. Jepang akhirnya harus mengakui keunggulan lawan dengan menyerah pada sekutu pada tahun 1945.
“Mereka memilih daerah Air Terjun Raja sebagai salah satu tempat pertahanannya untuk mengintai kota dan perairan,” kata Muhlis Eso, pegiatan sejarah lokal yang menemani kami.
Air terjun lain adalah Air Terjun Nakamura. Diberi nama sesuai dengan nama seorang prajurit Jepang, Teruo Nakamura, yang diketahui sering melintas di dekat air terjun itu. Nakamura bersama beberapa tentara Jepang lain, termasuk Kolonel Murita, memilih bertahan sesuai perintah. Mereka tidak tahu perang telah lama usai.
Nakamura baru bersedia keluar dari persembunyiannya tahun 1974 lantas dipulangkan ke tanah kelahirannya di Taiwan. Nakamura adalah pria asli Taiwan yang lahir saat masa pendudukan Jepang. Murita tidak diketahui keberadaannya hingga kini. Tentara lainnya sudah lebih dulu dipulangkan.
Tempat persembunyian Nakamura sendiri di Gunung Galoka yang memakan waktu 12 jam berjalan kaki dari pusat kota. Dari lokasi air terjun juga masih cukup jauh. Sayangnya, saat kami hendak ke air terjun, salah satu jembatan dikabarkan rusak tidak bisa dilalui.
Untuk menuju ke sana diperlukan kendaraan roda empat double gardan. Sebagai penanda, sebuah monumen dibangun di pertigaan jalan menuju lokasi air terjun yang dinamakan Monumen Teruo Nakamura.
Saat hendak menuju lokasi Air Terjun Raja, kami melewati Desa Pilowo, Kecamatan Morotai Selatan Barat yang dihuni suku Tobelo. Mereka tinggal di rumah kayu beratap rumbia. Di Morotai, Tobelo dan Galela merupakan suku terbesar.
Kami sempat bertemu Markus (70) dan cucunya yang tengah menjalin daun sagu menjadi atap untuk dijual kembali. Selain atap daun sagu, beberapa warga desa itu juga dikenal terampil pembuat saloi dan bika.
Saloi adalah semacam keranjang dari rotan yang digunakan untuk membawa hasil bumi. Kadang-kadang juga digunakan oleh ibu-ibu untuk menggendong anaknya yang masih kecil sambil bekerja di ladang. Saloi dipakai di punggung dengan bantuan selendang.
Seni bambu hitada
Jika ingin lokasi yang lebih dekat dengan kota dan lebih bernuansa sejarah, kita bisa mengunjungi Tanjung Ekor Pari, Pantai Sagolo, dan makam tentara sekutu. Jaraknya dari pusat kota hanya sekitar 15 menit. Tanjung Ekor Pari merupakan ujung selatan Pulau Morotai. Dari sini kita bisa melihat Pulau Mitita dan Samudera Pasifik.
Tidak jauh dari tanjung ini adalah Pantai Sagolo yang sebagian merupakan pasir putih dan sebagian lagi tebing karang. Suara ombaknya berdebur kencang saat mengempas batuan karang. Di dekatnya, hamparan ilalang kering yang warnanya coklat keemasan tertimpa sinar matahari sore. Cocok untuk pemburu latar foto unik.
Di sini, dulu pernah dibangun markas perawat yang merawat tentara sekutu yang terluka. Namun, kini tinggal bekas-bekas pondasi bangunannya saja. Itupun batu-batuannya sudah banyak diambili orang untuk membangun rumah mereka.
Sebelum mencapai Pantai Sagolo dan Tanjung Ekor Pari, kita bisa mampir di Tanjung Dehegila. Di sana, terdapat puluhan nisan pasukan sekutu. Sayang, kondisinya tidak terawat.
Dari sini, kita bisa menuju Desa Sabatai Baru, Kecamatan Morotai Selatan untuk menyaksikan kesenian bambu hitada. Kebetulan, saat itu beberapa anak sedang berlatih untuk persiapan hari ulang tahun Kabupaten Kepulauan Morotai.
Kesenian bambu hitada menggunakan bambu sebagai alat musik yang dimainkan dengan cara dihentak-hentakkan di atas tanah. Musik ini mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan.
Bambu yang biasa dipakai adalah jenis bambu air. Di tiap bambu, dibuat lubang dengan besar bervariasi untuk menghasilkan variasi tinggi rendah nada.
“Kesenian bambu hitada ini sudah ada sejak saya kecil. Biasanya dimainkan saat hari raya agama. Misalnya, saat Natal dan Tahun Baru. Bambu hitada dimainkan di kampung-kampung saat tamu berkunjung,” ungkap Jefri Kongo (35), penggerak kelompok kesenian bambu hitada di Sabatai Baru.
Kini, bambu hitada juga memainkan lagu-lagu daerah Morotai dan semakin sering ditampilkan untuk menyambut tamu resmi pemerintah daerah.
Kuliner dan suvenir
Tidak lengkap ke suatu daerah tanpa mencicipi kuliner setempat. Ikan bakar menjadi menu utama di Taman Kuliner Daruba di pusat kota. Menu lainnya tidak jauh beda dengan kuliner di wilayah Maluku lain, seperti yang kami jumpai di Warung Makan Poriyana yang berlokasi di Desa Dehegila Baru, tidak jauh dari Monumen Teruo Nakamura.
Menu utama adalah papeda yang dimakan dengan kuah kuning berisi ikan cakalang. Bisa pula memadukan kuah kuning dengan pisang sepatu atau singkong rebus. Ada pula ca kangkung dan bunga papaya, sayur garu, lalapan berisi fofoki alias terong dan mentimun serta sambal terasi dan sambal kacang.
“Coba makan papedanya tidak pakai sendok tapi pakai tangan seperti orang sini. Papedanya juga tidak dikunyah tetapi langsung ditelan,” kata Ema, pemilik warung makan Poriyana.
Sebagai cinderamata khas Morotai adalah aksesoris dari besi putih, seperti kalung, gelang, cincin, atau liontin. Bahannya dari sisa-sisa bangkai pesawat tempur, senjata, tank, dan peralatan perang lainnya yang berbahan logam.
Kerajinan ini, menurut Muhlis Eso muncul sekitar tahun 1980-an dan kini banyak dijual di lapak-lapak pinggir jalan di depan toko-toko di pusat kota Daruba. Jika ingin melihat proses pembuatannya bisa minta diantarkan oleh penjual. Biasanya, mereka membuatnya sendiri di rumah. Kebanyakan bertempat tinggal di Kampung Daruba Pantai.
Salah satunya, Darwin (47) yang meneruskan usaha ini dari orang tuanya. Darwin tidak hanya membuat aksesoris dan alat masak, seperti sendok, garpu, dan solet, tetapi juga samurai, tongkat komando, tameng, lambang burung garuda, dan lainnya.
“Bahannya, lempengan besi yang saya beli dari petani. Biasanya dari bekas tangki atau plat lantai pesawat yang ditemukan di kebun-kebun,” ungkapnya.
Lempengan besi itu dipotong sesuai bentuk yang diinginkan, diasah, lantas ditempa hingga tipis. Warna akhir logam menjadi putih mengilat. Kerajinan besi putih dari Morotai juga diperdagangkan hingga ke Ambon, Ternate, bahkan Papua.
Tidak seperti di Morotai yang kebanyakan menggunakan bahan baku dari logam bekas peralatan tempur, di daerah lain produk kerajinan besi putih dibuat dari lempengan logam pabrikan.
Kondisi ini diakui Muhlis, menjadi semacam dilema. Di satu sisi, kerajinan ini membantu ekonomi warga setempat. Namun, di sisi lain lama-kelamaan akan menghabiskan peninggalan Perang Dunia 2 yang tersisa.