JAKARTA, KOMPAS - Keberhasilan kerja sama dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) tidak ditentukan dalam hitungan bulan, tetapi baru bisa dirasakan setelah berjalan hingga beberapa tahun ke depan. Indonesia berharap keuntungan dari kerja sama tak hanya dirasakan oleh negara pemrakarsa, tetapi juga seluruh negara yang tergabung dalam BRI.
Harapan itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berbicara dalam sesi diskusi meja bundar atau roundtable discussion Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 BRI di Danau Yanqi, Beijing, China, Sabtu (27/4/2019). Di hadapan sejumlah pimpinan negara, Wapres Kalla menyampaikan, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa menentukan keberhasilan kerja sama sabuk dan jalan.
“Dunia akan melihat apakah janji kerja sama Belt and Road ini benar akan membawa keuntungan bagi semua. Seharusnya bisa, dan kita semua secara bersama dapat menjadikannya bisa,” katanya.
Wapres Kalla menghadiri KTT ke-2 BRI di Beijing, China, pada 26-27 April, didampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, serta Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir. Setelah mengikuti rangkaian agenda KTT BRI, Wapres Kalla beserta delegasi Indonesia kembali ke Tanah Air dan tiba pada Minggu (28/4/2019) dini hari.
Setibanya di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Menlu Retno menyampaikan bahwa untuk bisa memperoleh manfaat dari BRI, RI mengusulkan sejumlah persyaratan. Termasuk kerja sama untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang juga menjadi salah satu fokus kerja sama negara-negara BRI.
Kerja sama harus didasarkan pada prinsip bermanfaat bagi semua, tanpa kecuali. Selain itu kerja sama juga harus memrioritaskan kepentingan serta kondisi masing-masing negara, bukan negara pemberi bantuan maupun utang.
Prinsip “Me-first Policy” harus ditinggalkan jika ingin tujuan kerja sama tercapai. Kebijakan untuk mendahulukan kepentingan salah satu negara juga tidak bisa diterapkan jika ingin memenuhi tujuan SDGs.
Hal yang tak kalah penting diterapkan dalam kerja sama adalah inklusivitas. “Dengan inklusivitas, maka seharusnya kerja sama BRI bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal semaksimal mungkin,” kata Wapres Kalla seperti disampaikan Menlu Retno. Dengan cara itu, negara-negara yang tergabung dalam BRI bisa merasakan manfaat berupa penurunan angka pengangguran.
RI juga merasa perlu mendorong keterlibatan pihak swatsa dalam kerja sama BRI. Sebab hanya dengan cara itu, proyek kerja sama bisa berjalan tanpa harus menambah beban utang baru bagi negara-negara BRI.
Lawan diskriminasi sawit
Selain masalah SDGs, forum itu juga dimanfaatkan Wapres Kalla untuk menyampaikan upaya perlawanan terhadap diskriminasi kelapa sawit dan produk turunannya. Sebagai negara produsen terbesar minyak kelapa sawit (CPO), salah satu sektor yang berkontribusi besar dalam upaya pencapaian SDGs di Indonesia adalah sawit. Ini karena jutaan masyarakat Indonesia terlibat dalam perkebunan dan industri sawit.
“Pak Wapres juga menyatakan, sangat disayangkan, CPO ini justru terus menerima perlakuan diskriminatif dengan mengatasanamakan keberlanjutan dalam bidang lingkungan. Padahal kami juga sangat memperhatikan masalah keberlanjutan lingkungan dalam pengelolaan CPO,” turur Retno.
Pertimbangan kontribusi pada pencapaian SDGs itulah yang menjadi pertimbangan RI untuk terus berupaya melawan diskriminasi sawit. Di samping itu juga terus berupaya meningkatkan kerja sama perdagangan CPO.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.