Penelitian sains genetika tentang migrasi nenek moyang Indonesia mengguncang pembelajaran sejarah di Indonesia. Kurikulum pendidikan sejarah di sekolah dan kampus harus cepat beradaptasi dengan perkembangan pesat sains genetika. Hingga kini, kurikulum sekolah dan kampus masih menggunakan teori yang sudah banyak terkoreksi penelitian genetika.
Oleh
NIKSON SINAGA
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Penelitian sains genetika tentang migrasi nenek moyang Indonesia mengguncang pembelajaran sejarah di Indonesia. Kurikulum pendidikan sejarah di sekolah dan kampus harus cepat beradaptasi dengan perkembangan pesat sains genetika. Hingga kini, kurikulum sekolah dan kampus masih menggunakan teori yang sudah banyak terkoreksi penelitian genetika.
Hal itu terungkap dalam seminar bertema “Asal-Usul Genetika Nenek Moyang Bangsa Indonesia dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sejarah” yang dilaksanakan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara, Sabtu (27/4/2019).
Hadir sebagai pembicara Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo, Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara Ketut Wiradnyana, Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Fauziyah Harahap, dan pengampu mata kuliah pendidikan sejarah Unimed Ichwan Azhari.
Ichwan mengatakan, di Kurikulum 2013 yang masih digunakan hingga sekarang, pembelajaran tentang migrasi nenek moyang Indonesia masih hanya berpedoman pada teori migrasi melayu tua dan melayu muda. Teori tersebut menyebut bahwa Nusantara pertama sekali dihuni 3.000 sampai 4.000 tahun lalu oleh melayu tua. Setelah itu baru diikuti gelombang migrasi kedua melayu muda.
“Padahal, ilmu genetika telah membuktikan bahwa Nusantara telah dihuni nenek moyang Papua sejak 50.000 tahun lalu,” kata Ichwan.
Teori tersebut juga menyatakan bahwa Melayu Tua di Sumatera antara lain adalah suku Batak Toba, Batak Karo, dan Nias. Suku Nias juga disebut awalnya menghuni Pulau Sumatera lalu menyeberang ke Kepulauan Nias dan Mentawai. Ternyata, hasil penelitian genetika menunjukkan DNA suku Nias sama sekali berbeda dengan orang Sumatera. DNA Nias dan Mentawai lebih dekat dengan masyarakat Taiwan.
Karena itu, ilmu genetika seharusnya mudah diadaptasi untuk menjadi penopang pendidikan sejarah ke depan
Terbuka dengan perkembangan
Ichwan mengatakan, pendidikan sejarah selama ini terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan baru. Ilmu sejarah yang berkembang juga ditopang berbagai jenis ilmu seperti geologi, arkeologi, bahasa, dan kebudayaan. “Karena itu, ilmu genetika seharusnya mudah diadaptasi untuk menjadi penopang pendidikan sejarah ke depan,” katanya.
Menurut Herawati sains genetika sangat penting untuk menopang pendidikan sejarah di sekolah dan kampus. Sains genetika telah membuka perspektif yang lebih luas tentang sejarah migrasi nenek moyang Indonesia. “Penelitian genetika menunjukkan keragaman genetika di Nusantara. Ada banyak gelombang migrasi nenek moyang Indonesia,” katanya.
Herawati mengatakan, kekayaan genetik manusia Indonesia membuat Nusantara menjadi kunci untuk memahami evolusi manusia modern.
Ketut mengatakan, jalur migrasi nenek moyang Indonesia bisa diungkap dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Menurut berdasarkan penelitian arkeologi di Sumatera, paling tidak ada lima gelombang migrasi manusia modern di Sumatera.