Salam Terakhir, Tampomas II
Rasya dari Desa Winujaya, Kecamatan Lemah Abang, Cirebon, berkisah ketika kebakaran terjadi, band di atas kapal sedang memainkan lagu ”Salam Terakhir”. Rasya merupakan salah seorang dari 68 orang yang selamat dalam sekoci nomor 2 KM Tampomas II.
“Api menjalar dari sebuah kapal/Jerit ketakutan/Keras melebihi gemuruh gelombang/Yang datang/Sejuta lumba lumba mengawasi cemas/Risau camar membawa kabar/Tampomas terbakar/ Risau camar memberi salam/Tampomas Dua tenggelam” (Lagu Iwan Fals: Celoteh Camar Tolol (Tampomas). Musisi Iwan Fals menciptakan lagu ini sebagai ungkapan duka atas tragedi kapal Tampomas II, Januari 1981.
Rasya dari Desa Winujaya, Kecamatan Lemah Abang, Cirebon, berkisah ketika kebakaran terjadi, band di atas kapal sedang memainkan lagu ”Salam Terakhir”. Rasya merupakan salah seorang dari 68 orang yang selamat dalam sekoci nomor 2 KM Tampomas II.
Setelah terombang-ambing selama lima hari akhirnya terdampar di Pulau Doang-doangan Lompo, Jumat (30/1/1981) pagi sekitar 100 mil laut dari Ujung Pandang. Mereka adalah penumpang kapal Tampomas II yang tenggelam di dekat Kepulauan Masalembo, Selasa (27/1/1981) sekitar pukul 13.42 waktu Indonesia tengah (Wita).
Riwayat
KM Tampomas II yang awalnya bernama MV Great Emerald dibangun di Jepang tahun 1971. Memiliki bobot 2.420 ton (6.139 GRT/gross rate ton) dan masuk jajaran PT Pelni pada Rabu, 28 Mei 1980. Merupakan kapal penumpang PT Pelni kedua yang besar setelah KM Tampomas I yang melayari lintas Jakarta-Tanjung Pinang-Belawan pergi pulang.
Kapal ini dibeli PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN) dari Komodo Marine Jepang seharga 8,3 juta dollar AS. Dananya diperoleh dari pinjaman Bank Dunia 5,8 juta dollar AS dan 2,5 juta dollar AS hibah dari Norwegia.
PT Pelni membeli kapal tersebut dari PT PANN secara beli angsur selama 10 tahun. Memiliki kecepatan 19,5 mil/jam dan daya tampung 1.250-1500 penumpang dan sejumlah kendaraan bermotor. Kapal ini termasuk jenis roll on roll off (ro-ro) yaitu bisa mengangkut kendaraan yang masuk dan keluar dari kapal secara mandiri.
Dilengkapi tiga geladak penumpang dan satu geladak bawah untuk angkutan truk dan kendaraan bermotor lainnya. Jalur operasinya melayari lintas Jakarta-Padang dan Jakarta-Ujung Pandang guna menampung ledakan penumpang di jalur tersebut setiap minggu. Sekitar 700 penumpang di lintas Jakarta-Ujung Pandang dan 1.000 penumpang di lintas Jakarta-Padang kerap tidak tertampung di jalur tersebut.
Tepat pukul 20.00, Sabtu (31/5/1980), Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas melepas tali yang menambatkan KM Tampomas II pada dermaga di Pelabuhan Tanjung Priok.
Sirene berbunyi tiga kali, kapal perlahan menjauh dari daratan menuju Laut Jawa dalam perjalanan menuju pelabuhan Telukbayur di Padang, Sumatera Barat. Dalam perjalanan perdananya ini, kapal ini mengangkut 1.188 orang.
Sesuai rute yang dilayani, hari layarnya menghabiskan sekitar 147 jam dan hari labuh 21 jam. Artinya, hampir 90 persen terus beroperasi dalam seminggu. Kapal ini menjadi semacam jembatan apung yang sekali seminggu menghubungkan Padang dan Ujung Pandang dengan daerah persinggahan Jakarta.
Tragedi
Sabtu (24/1/1981) malam, sekitar pukul 19.00, KM Tampomas II dengan nakhoda Kapten Abdul Rivai (44) meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, menuju Telukbayur, Ujung Pandang. Diperkirakan pukul 10.00 Wita kapal sudah sandar di Ujung Pandang.
Kapal yang baru enam bulan berada di jajaran Pelni ini dimuati 1.054 penumpang, 82 awak kapal, dan ratusan kendaraan bermotor roda dua dan empat. Tidak ada yang berpikir bahwa ini menjadi pelayaran terakhir bagi Tampomas II.
Minggu (25/1/1981) malam, Mualim II Ernest Marthing sedang istirahat di kamar perwira menanti tugas jaga yang akan berlangsung pukul 24.00 sampai 04.00. Sekitar pukul 21.45 Wita muncul kobaran api dari tempat penyimpanan mobil, kata Ernest.
Kami berusaha sekuat tenaga memadamkan api, tetapi tidak berhasil. Kepanikan pun melanda seisi kapal. Penumpang di dek bawah dipindahkan ke dek lebih atas. Penumpang yang tidur dekat kamar mesin juga dipindahkan.
”Kapal tak mungkin selamat,” kata Westi Poltak kepada anggota keluarganya, Senin (26/1/1981) sore. Ia pun segera memakaikan pelampung pada keluarganya dan serempak melompat ke laut. Gelombang laut yang besar segera menyambut mereka. Saya melihat ayah, ibu, kakak, dan dua adik saya di kaki gelombang ketika saya dan Ucok (6) terayun ke puncak gelombang,” kata Nita (8). ”Pada saat itu, saya dan Ucok teriak sama-sama, Ayah! Ibu!”
Sebelum lewat tengah malam tanggal 25 Januari, Ernest bersama Markonis Odang Koesdinar menurunkan sekoci penolong nomor 2 yang kapasitasnya 50 orang. Namun, diperkirakan yang naik mencapai 100 orang. Markonis II Odang sempat membawa pesawat radio yang menggunakan baterai. Di dalam sekoci, isyarat SOS terus dikirimkan lewat radio tersebut. Namun, anehnya tidak tertangkap oleh kapal-kapal yang berada di kawasan itu.
Karena ombak yang besar, sekoci itu sempat terbalik dan mesinnya hilang beserta makanan cadangan (darurat). Ketika dikembalikan ke posisinya, hanya 70 orang yang masih ada.
Ada sebuah tas Echolac yang tetap berada di sekoci. Di dalamnya terdapat enam lembar kain batik yang kemudian dijadikan layar. Tiangnya dari sebuah dayung yang ditancapkan di haluan. Sedangkan satu dayung lagi dipakai sebagai kemudi dan dipegang oleh Ernest. Tas Echolac itu juga digunakan sebagai gayung untuk mengeluarkan air laut yang sempat mengisi sekoci saat terbalik.
Berbekal pengetahuannya, Ernest mengarahkan sekoci ke arah Pulau Doang-doangan, Kabupaten Singkep, yang merupakan pulau terdekat. Ia menghitung paling lama seminggu bisa mencapai pulau itu yang jaraknya sekitar 100 mil laut dari tempat musibah.
Pada hari kelima, pulau tersebut sudah terlihat. Salah seorang penumpang sekoci, Haji Amiruddin, saking gembiranya langsung terjun ke laut. Sayangnya ia malah tertelan ombak dan terbawa arus. Akhirnya Jumat (30/1/1981) pagi, sekitar pukul 06.00 mereka berhasil mendarat di Pulau Doang-doangan Lompo.
Haruna, peserta Musornas KONI Pusat asal Kabupaten Barru, meninggal saat sekoci mendarat. Dengan demikian, seluruh penumpang sekoci yang selamat ada 68 orang. Penduduk pulau memberi pakaian dan makanan. Pada hari Minggu (1/2/1981) kapal Ilmanui dan helikopter Puma mengevakuasi mereka ke Ujung Pandang.
Andi Mursalim, asal Sulawesi Selatan, mengalami kisah yang tak kurang pedihnya. Bersama ibu dan istrinya naik Tampomas II untuk menengok daerah asalnya. Saat kapal makin terbakar, mereka terjun ke laut. Begitu muncul di permukaan, Andi tidak melihat istrinya. Ibunya selamat dengan sejumlah luka-luka di tubuh.
Vonny (24), pelajar Ujung Pandang, beserta penumpang lainnya bergegas naik ke sekoci, tapi ia terpental kembali ke dek kapal. Ia kemudian memutuskan untuk tinggal di kapal tanpa makan dan minum. Banyak orang mati karena asap dan panasnya kobaran api. Gadis ini meninggalkan kapal beberapa saat sebelum tenggelam dan berhasil diselamatkan oleh kapal Sangihe.
Syahbandar Ujung Pandang Iskandar BI mengatakan, berita Tampomas II terbakar diterima pertama kali dari KM Wayabula pada pukul 11.00 Wita, Senin (26/1/1981). Kapal ini menerima berita dari KM Sangihe yang Minggu siang berlayar dari Parepare menuju Tanjung Perak, Surabaya.
Sekitar pukul 06.00 Wita, Senin (26/1/1981), kapal Sangihe berada dekat lokasi kapal yang belum diketahui identitasnya. Terdengar sebuah ledakan dari kapal yang kemudian dikenal sebagai Tampomas II. KM Sangihe berusaha mendekat hingga jarak 75 meter dan merentangkan tali.
Pertolongan dilakukan lewat tali di tengah cuaca yang sangat buruk. Beberapa sekoci KM Sangihe diturunkan untuk membantu sehingga pada Senin malam itu sekitar 149 penumpang berhasil diselamatkan. Berbagai cara penyelamatan dilakukan, seperti menerjunkan perahu karet juga makanan dan minuman dari udara.
Selasa (27/1/1981) pukul 13.42 Wita, KM Tampomas II tenggelam di Selat Makassar dekat Pulau Masalembo, sekitar 220 mil laut menjelang Pelabuhan Telukbayur, Ujung Pandang. Posisinya pada 05 derajat 36 menit Lintang Selatan dan 115 derajat 50 menit Bujur Timur. Hingga Minggu (1/2/1981) petang, sudah 755 orang ditemukan selamat.
Dalam peristiwa ini, pemerintah memberi penghargaan kepada nakhoda KM Tampomas II Kapten Abdul Rivai (44) atas jasa-jasanya yang besar dan memutuskan untuk menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Dengan diiringi tembakan salvo oleh 20 prajurit TNI AL, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Senin (2/2/1981) pukul 13.30 disaksikan istri almarhum, Ny Hasanah dan empat putra dan putrinya.
Bermasalah
Saat dilakukan penyelidikan soal tenggelamnya KM Tampomas II, terungkaplah berbagai masalah. Harga beli kapal dinilai terlalu mahal karena pernah ditawarkan kepada salah satu perusahaan pelayaran dengan harga 6,4 juta dollar AS.
Sebelum diluncurkan sebagai kapal penumpang dan barang, awalnya didesain sebagai kapal barang. Setidaknya ada 10 persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain kelengkapan surat kapal, memiliki perlengkapan keselamatan (life saving equipment), memiliki perlengkapan radio, dan menambah tangki air bersih hingga 850 meter kubik.
Namun, kemudian diketahui sejumlah persyaratan tersebut belum sepenuhnya terpenuhi, termasuk sertifikat yang berkaitan dengan keselamatan masih bersifat sementara.
Atas berbagai persoalan yang ada, peristiwa tenggelamnya KM Tampomas II disidangkan. Berkas berita acara pemeriksaan pendahuluan diserahkan oleh Dirjen Perhubungan Laut Pongky Soepardjo, Jumat (13/2/1981), kepada Mahkamah Pelayaran.
Setidaknya Mahkamah butuh waktu tiga minggu untuk mempelajari, sebelum memutuskan memulai dengan sidang terbuka (Kompas, Sabtu, 14/2/1981, hlm 1). Sidang terbuka pun dimulai pada 12 Maret 1981.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan sejumlah pihak bersalah dalam pembelian KM Tampomas II (Kompas, Kamis, 28/7/1985, hlm 3). Hukuman penjara dijatuhkan pada Dirut PT PANN Ir Nuzwari Chatab, 4 tahun; Kepala Divisi Teknik PT PANN Hubertus Mandagi, 3 tahun; Kepala Perwakilan Komodo Marine SA Gregorius Hendra, 4 tahun; dan Direktur Komodo Marine SA Santoso Sumarli, 2 tahun.
Sumber: Kompas, Selasa, 27 Mei 1980, halaman 2; Kompas, Selasa, 27 Januari 1981, halaman 1; Kompas, Rabu, 28 Januari 1981, halaman 1; Kompas, Kamis, 29 Januari 1981, halaman 1; Kompas, Jumat, 30 Januari 1981, halaman 1; Kompas, Minggu, 1 Februari 1981, halaman 1; Kompas, Selasa, 3 Februari 1981, halaman 1; Kompas, Rabu, 4 Februari 1981, halaman 1; Kompas, Rabu, 11 Februari 1981, halaman 1; Kompas, Kamis, 28 Juli 1985, halaman 3.