Seni dan budaya menjadi kekuatan pariwisata jabar. Hal ini, salah satunya, dibuktikan saat 4.000 penari menarikan ronggeng geber dalam memeriahkan peringatan Hari Tari Sedunia di Kota Bandung, Minggu (28/4/2019).
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Sekitar 4.000 penari menarikan ronggeng geber dalam memeriahkan peringatan Hari Tari Sedunia di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (28/4/2019). Tarian khas Pasundan itu disajikan oleh penari dari 16 kabupaten/kota di Jabar.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Dedi Taufik mengatakan, tarian ronggeng geber biasanya ditampilkan pada saat musim panen hasil pertanian. “Filosofinya, budaya adalah kekuatan pariwisata,” ujarnya.
Tarian massal itu digelar di Jalan Ir H Djuanda, yang juga digunakan sebagai lokasi Hari Bebas Kendaraan Bermotor. Alhasil, para penari harus berbagi ruang dengan warga lainnya.
Atraksi budaya tersebut dimulai sekitar pukul 07.00 WIB. Semula, penari dibagi dalam tiga kelompok. Dua kelompok penari bergerak dari utara dan selatan, sementara satu kelompok berada di tengah. Setelah tiga kelompok penari bertemu, tarian pun dimulai. Gabungan ribuan penari itu memanjang hingga lebih dari 100 meter.
Para penari menggunakan kostum beragam warna dan pola. Namun, setiap penari membawa satu barang yang sama, yaitu hihid (kipas terbuat dari anyaman bambu), yang dipakai untuk mendukung tarian.
Sejumlah pihak pun berharap kegiatan itu menjadi agenda rutin setiap tahun. Selain melestarikan budaya lokal, juga menjadi daya tarik wisata.
Kegiatan itu untuk kedua kalinya digelar di Bandung. Tahun lalu, di tempat yang sama, 2.000 penari menarikan tari daun pulus keser bojong. Sejumlah pihak pun berharap kegiatan itu menjadi agenda rutin setiap tahun. Selain melestarikan budaya lokal, juga menjadi daya tarik wisata.
“Semakin banyak atraksi tari, seni budaya akan semakin dikenal. Alhasil, banyak orangtua tertarik agar anaknya belajar menari,” ujar pelatih Sanggar Tari Arum Sari, Kota Bandung, Nendah.
Dalam kegiatan itu, Sanggar Tari Arum Sari mengirimkan 48 penari. Semuanya anak-anak, dari usia 3 tahun hingga 14 tahun. “Memang perlu diajarkan sejak dini. Jadi, ketika dewasa, mereka tidak melupakan budayanya,” ujar Nendah.
Beberapa penari juga tampil dengan kostum unik. Contohnya, penari asal Sanggar Sahabat Sampah, Kota Bekasi, yang menggunakan kostum berbahan sampah plastik.
“Selain menari, kami juga ingin menyampaikan pesan untuk memanfaatkan sampah sehingga lingkungan tidak semakin rusak,” ujar pimpinan Sanggar Sahabat Sampah, Lestya Dewi Ratnawati.
Kostum berbahan sampah itu dirangkai menggunakan berbagai kemasan produk sehari-hari, seperti detergen, pamper, saset kopi, dan makanan ringan. Bahan tersebut dikombinasikan dengan kain sehingga tidak panas saat dikenakan penari.
Sejumlah pengunjung sangat antusias menyaksikan atraksi tari itu. Mereka mengabadikan momen tersebut dengan memotret dan merekam menggunakan telepon seluler.
Anggi (30), warga Buahbatu, Bandung, berharap, pertunjukan seni budaya itu digelar setiap tahun sehingga menjadi wisata budaya. “Namun, perlu dipastikan kalender tetapnya. Jadi, warga bisa merencanakan dan mengatur waktu untuk datang,” ujarnya.
Anggi juga berharap kegiatan itu tidak hanya digelar di Kota Bandung. Sebab, di Jabar, terdapat 27 kabupaten/kota dengan beragam kekayaan seni tradisi yang perlu dipromosikan.