Simpul Kultural yang Rapuh
Satu-satu Srintil memungut daun nangka di halaman. Pelan-pelan kemudian ia mencoba merangkainya menjadi mahkota. Apa daya, tangannya berdarah tertusuk lidi. Diam-diam dia harus tunduk pada usia setelah dilindas perjalanan hidup yang kelam sebagai seorang perempuan penari ronggeng.
Adegan pembuka pentas monolog ”Srintil, Tembang Duka Seorang Ronggeng”, Sabtu (27/4/2019) di Teater Salihara itu, begitu simbolik. Dia seolah menceritakan dengan penuh perasaan nasib sebuah dusun kecil bernama Dukuh Paruk.
Srintil tak lain adalah perempuan yang nyaris tak pernah mampu menjadi diri sendiri sebagai orang biasa karena di pundaknya ditumpuk berjibun harapan tentang kebangkitan dusun lewat gairah lenggak-lenggok pinggulnya. Sebagai anak dusun, Srintil tak punya cita-cita, bahkan takut untuk bermimpi. Ia cuma tahu Dukuh Paruk tersuruk dalam kejorokan dan kebodohan yang pernah geger gara-gara keracunan tempe bongkrek.
Bahkan, ketika bermain ronggeng-ronggengan di masa kecil bersama Rasus, Warta, dan Darsum di bawah pohon nangka, ia cuma meniru apa yang pernah ia dengar tentang kejayaan ronggeng di Dukuh Paruk. Bahwa kemudian ia tiba-tiba menjadi tumpuan seluruh warga dusun untuk kegairahan hidup dusun terpencil itu, semuanya tidak lagi berada dalam kendalinya.
Rentetan peristiwa ini yang antara lain ”menjerat” penyanyi Trie Utami seperti terjun bebas memerankan Srintil. ”Ronggeng itu takdir atau pilihan?” kata Trie Utami, sehari sebelum pementasan.
Dalam benaknya, Srintil terjebak dalam kuasa patriarkis sejak masa kanak-kanak sampai kemudian menjadi tua dan hilang ingatan. Bahkan, ”malaikat penolong”, seperti Rasus, pun senantiasa memainkan peran patriarkis, yang menyudutkan Srintil dari satu kegelapan kepada kegelapan berikutnya.
Rasus yang datang dan pergi seolah memberi harapan, tetapi kemudian mencampakkannya. Itukah watak dasar para lelaki?
Sutradara Iswadi Pratama tampaknya sadar benar: monolog nyaris identik dengan kemonotonan. Mungkin karena harus diperankan hanya oleh satu aktor. Selain ”menaati” naskah, pada beberapa adegan ia mengendurkan karakter Srintil.
Secara khusus, Iswadi menyiapkan sebuah meja di sudut kiri panggung, tempat Trie Utami hampir selalu bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Bahkan, Iie, panggilan akrab vokalis band Krakatau ini, secara leluasa juga berguyon dengan para pemusik dan kemudian meneruskan cerita Srintil dengan membaca naskah.
Teknik keluar masuk dalam karakter ini pada akhirnya cukup membantu Iie dan penonton mengambil waktu jeda sebelum kemudian sama-sama memasuki kenyataan hidup Srintil yang gelap. Pentas ini menjadi amat menarik karena Iswadi, dibantu koreografer Eko Supriyanto, mengeksplorasi talenta bernyanyi dan menari Iie. Lirih getir dan dengus gairah Srintil sebagai seorang ronggeng ditembangkan dan ditarikan dengan penjiwaan yang subtil oleh Iie.
Bagi sutradara sekelas Iswadi, kehadiran Iie dalam dunia pentas teater justru memberinya angin segar. ”Harus diakui dia benar-benar seniman, total dalam segala hal yang dibutuhkan dunia teater,” kata Iswadi Pratama.
Gugatan
Ronggeng dalam kacamata Iie merupakan simpul kultural rakyat (tradisional)
yang rapuh. Ia mudah dimanipulasi oleh berbagai kepentingan, termasuk kepentingan kecabulan dan politik kontemporer. Pada masa jayanya sekitar tahun 1960, ronggeng di Dukuh Paruk secara manipulatif dipakai sebagai wahana gerakan politik yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebagaimana digambarkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang menjadi dasar penulisan monolog ini, orang-orang Dukuh Paruk tidak paham bahwa mereka digiring memasuki arena pertarungan politik. Bahkan ketika tokoh-tokoh ronggeng, seperti Ki Sakarya, kakek Srintil, dan Srintil sendiri, ditahan tentara tanpa diadili, mereka juga tidak memahami posisi dirinya.
Gerakan politik itu semakin jauh membawa Srintil dalam keterpurukan yang tak mudah ia pahami. Sebelumnya, sebagai ronggeng, ia juga berada dalam dilema humanitas yang berlarut-larut. Kesediaannya sebagai ronggeng menjadi representasi kemauannya untuk membangkitkan kembali kegairahan hidup warga Dukuh Paruk yang miskin. Ronggeng adalah kegairahan hidup di Dukuh Paruk. Namun, ritual buka kelambu di dalamnya telah mengeduk segenap harkat dan martabat keperempuanannya. ”Dan semuanya berada dalam tatanan aturan yang amat patriarkis,” kata Iie.
Bagi Iie, totalitas yang ia tunjukkan dalam monolog ini adalah bentuk artistik dari gugatannya terhadap nasib kaum perempuan sampai saat ini. Srintil juga hadir menjadi simpul kultural (tradisional) yang banyak menyisakan masalah. Pentas ini barangkali bisa menyentuh sisi kesadaran kita tentang pentingnya memberi keleluasaan bagi perempuan untuk menyatakan dirinya sendiri di hadapan publik dan negara.