Xinjiang, Pusat "Belt and Road Initiative" yang Tengah Berkembang
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
BEIJING, MINGGU – Tak ada kritik atau keluhan terhadap perlakuan kontroversial otoritas China terhadap warga Uighur di Xinjiang yang dilaporkan saat Konferensi Tingkat Tinggi Ke-2 Belt and Road Initiative di Beijing, China, 25-27 April 2019. Pertemuan itu dihadiri oleh perwakilan dari lebih dari 100 negara, termasuk 40 pemimpin negara.
Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, mengklaim kepada Financial Times, Maret lalu, ia tidak tahu apa-apa mengenai langkah otoritas China yang dikatakan menempatkan hingga satu juta warga Uighur, sebagian besar beragama Islam dalam kamp penahanan yang oleh China disebutkan sebagai pusat pelatihan kejuruan.
Tujuannya adalah mendidik kembali mereka yang terpengaruh oleh ideologi ekstrem. Istri-istri Uighur dari pedagang asal Pakistan dilaporkan termasuk dari mereka yang terseret dalam penahanan itu. Selama beberapa tahun, rakyat Uighur disalahkan oleh otoritas China sebagai pelaku atas sejumlah peristiwa kerusuhan dan pemboman.
Kantor berita Perancis, Agence France Presse atau AFP melaporkan, ada sejumlah tanda larangan mengenakan kerudung atau memiliki jenggot panjang di Khorgas, sebuah kota di China yang dekat dengan perbatasan China-Kazakhstan. Kota itu berada di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Disimpulkan bahwa, “Hal tersebut merupakan peringatan nyata dari kebijakan keamanan keras yang diberlakukan China terhadap etnis minoritas Uighur, yang sebagian besar di antaranya Muslim.”
Terkait tindakan keras tersebut, Adrian Zenz, seorang peneliti independen asal Jerman, menyatakan, “Belt Road and Initiative merupakan faktor penting yang mendorong Pemerintah Pusat China untuk menempatkan Xinjiang dalam kontrol ketat.”
Perdagangan di Xinjiang Meningkat
China Daily melaporkan, Xinjiang merupakan wilayah yang berbatasan dengan delapan negara dan memiliki sejumlah pelabuhan yang terlibat dalam perdagangan internasional di saat Jalur Sutra digunakan pada masa dulu kala. Di saat Belt Road Initiative yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping pada 2013 sedang diwujudkan, pihak berwenang juga berupaya untuk membuka Xinjiang kepada dunia internasional.
Xinjiang disebutkan berada di garis depan wilayah barat China. Pada 2018, dilaporkan ada sebanyak 2.055 kereta barang yang melintasi China-Eropa yang masuk dan keluar dari Pelabuhan Horgos, yang terletak di bagian utara barat Daerah Otonomi Uighur Xinjiang.
Berdasarkan data dari Bea Cukai Urumqi, pada bulan pertama 2019, total perdagangan luar negeri Xinjiang mencapai 13,94 miliar Yuan atau 2 miliar dollar AS. Angka itu naik 11,7 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, perdagangan luar negeri tiga zona yang terletak di Xinjiang, yakni Alataw Pass, Kashgar, dan Urumqi, secara keseluruhan, meningkat 40 persen pada Januari 2019 dibanding tahun sebelumnya.
Pada 2018, impor dan ekspor antara Xinjiang dan 36 negara yang berada di sepanjang jalur yang merupakan bagian dari Belt and Road Initiative meningkat 13,5 persen dibanding tahun sebelumnya, atau meningkat mencapai 291,5 miliar Yuan.
Selama beberapa tahun terakhir, China dinyatakan berhasil menarik kerja sama dengan 150 negara dan organisasi internasional untuk menandatangani 171 dokumen kerja sama membangun jalur yang menjadi bagian Belt and Road Initiative. Perusahaan asal Xinjiang, Kemen Noodle Manufacturing, dinyatakan cukup menikmati hasil dari kerja sama dalam program Belt Road Initiative. Tahun lalu, perusahaan itu mengekspor produk dengan nilai total 163 juta Yuan.
“Perusahaan akan memperluas produksi berkat keuntungan dari kebijakan preferensial yang mempersingkat waktu bea cukai,” kata Wakil Manajer Umum Kemen Noodle Manufacturing, Wei Yujun.
Presiden China Xi Jinping, pada hari terakhir konferensi, Sabtu (27/4/2019), mengungkapkan, selama pertemuan itu, pihaknya berhasil memperoleh kesepakatan kerja sama dengan nilai total lebih dari 64 miliar dollar AS.
“Semakin banyak teman dan mitra akan bergabung dalam kerja sama Belt and Road Initiative. Berkat kerja sama ini, proyek ini dapat menikmati kualitas yang lebih tinggi dan prospek yang lebih cerah,” ucap Xi.
Raffaello Pantucci, Direktur Studi Keamanan Internasional dari Royal United Services Institute, sebuah lembaga wadah pemikir independen, mengatakan, "Dari perspektif China, jawaban jangka panjang untuk masalah separatisme, dan ketidakbahagiaan di Xinjiang pada dasarnya adalah kemakmuran ekonomi."
Belajar Bahasa China
Selain keuntungan ekonomi, upaya membuka Xinjiang terhadap dunia luar dikatakan juga meningkatkan hubungan dengan masyarakat internasional. Jumlah mahasiswa dari luar negeri yang belajar di sana meningkat.
Xinjiang Normal University misalnya menerima mahasiswa dari luar negeri. Salah satunya, Irbay Lahat, mahasiswa asal Kazakhstan, belajar bahasa Mandarin, kaligrafi, dan seni bela diri bersama mahasiswa lain asal Rusia dan Kirgistan.
“Belajar Bahasa Mandarin dapat membantu saya menemukan pekerjaan lebih baik di Kazakhstan. Saya ingin melanjutkan pendidikan di kota lain di China setelah lulus,” kata Irbay. (AFP/REUTERS)