AS Tempatkan Indonesia Mitra Strategis di Asia Tenggara
Amerika Serikat (AS) menempatkan Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan Asia Tenggara. AS meyakini Indonesia menjadi mitra untuk membangun demokrasi dan menciptakan toleransi terhadap keberagaman.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Amerika Serikat (AS) menempatkan Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan Asia Tenggara. AS meyakini Indonesia menjadi mitra untuk membangun demokrasi dan menciptakan toleransi terhadap keberagaman.
Pesan ini disampaikan Direktur Jenderal Bidang Politik Departemen Luar Negeri AS David Hale dalam diskusi di Kedutaan Besar AS di Jakarta, Senin (29/4/2019). Diskusi dipandu oleh mantan Duta Besar RI untuk Polandia, Peter F Gontha.
"Kami bangga atas perayaan ulang tahun hubungan Indonesia-Amerika Serikat ke-70. Indonesia merupakan negara demokrasi besar. Kami tidak selalu sepakat pada segala hal, tetapi hal itu memberikan kita nilai sama yang kuat. Saya di Indonesia karena Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengakui, hubungan AS dengan Indonesia penting," tutur Hale.
Indonesia merupakan salah satu mitra utama AS dalam melawan terorisme, serta dalam mempromosikan nilai demokrasi dan toleransi. Melalui hubungan dekat dengan Indonesia, AS ingin menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi ASEAN.
Bagi AS, kawasan Asia Tenggara memiliki potensi yang besar. ASEAN Investment Report 2018 melaporkan, pada 2016, AS merupakan negara asing yang paling banyak berinvestasi di kawasan itu. Namun, pada 2017, posisi AS turun di peringkat keenam setelah Jepang, China, Belanda, Hong Kong, dan Irlandia.
"Kerja sama (dengan ASEAN) itu fenomenal. Kami berharap, Indonesia dapat membantu kami mengerti lebih baik mengenai kebutuhan di ASEAN," tambah Hale.
Ia mengerti bahwa salah satu prinsip utama yang dipegang negara ASEAN dalan bekerja sama adalah rasa saling menghormati. Ia menekankan, niat AS di kawasan itu bukan untuk mendikte negara di kawasan tentang apa yang harus mereka lakukan. "Kami ingin membangun hubungan kerja sama berbasis rasa saling menghormati dan minat atau kepentingan yang sama," kata Hale.
Menanggapi prediksi bahwa Indonesia akan masuk daftar lima negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada 2030, Hale berharap, Indonesia akan terus terbuka kepada investasi AS. "Kami ingin meyakinkan lingkungan investasi yang aman," tambahnya.
Perdagangan bebas
Pada saat yang sama, AS ingin membangun hubungan antar negara yang saling menghormati dan menguntungkan. Pesan Hale terkesan bertentangan dengan kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump yang mementingkan kepentingan negaranya sendiri. Menanggapi pandangan itu, Hale menjawab, "Perdagangan bebas global tetap menjadi tujuan kami. Kebijakan itu menguntungkan banyak negara. Namun, kami ingin memastikan kebijakan itu sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi, dan semua pihak bermain sesuai aturan."
Seperti diberitakan Bloomberg, Agustus 2018, Trump mengancam AS keluar dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ia menyebutkan kesepakatan perdagangan yang dihasilkan organisasi itu sebagai "yang paling buruk yang pernah dibuat." Menurut Trump, WTO menguntungkan semua negara, kecuali AS. Untuk itu, ia mendesak agar WTO mengubah caranya bekerja.
Alliance for American Manufacturing (AAM) pada awal 2017 melaporkan, AS merupakan negara yang paling banyak mengalami kerugian akibat hasil keputusan perdagangan WTO. AS mengalami kerugian dalam 90 persen dari total keputusan WTO.
"Kami ingin perdagangan bebas berjalan dengan baik. Kami tidak ingin itu rusak. Untuk itu, kami berupaya untuk negosiasi ulang (hubungan perdagangan internasional) agar semua negara dapat masuk ke dalam sistem secara adil. Kami juga memastikan semua dapat memperoleh keuntungan dari itu. Kami tidak menginginkan konflik perdagangan yang keterlaluan dan tidak adil," ujar Hale.
Terkait masa depan hubungan antara AS dan China, Hale mengatakan, AS ingin hubungan yang progresif dan tidak bermusuhan. "Kita semua memperoleh keuntungan dari kekuatan ekonomi China yang dahsyat dan progresnya. Kita semua tentunya ingin menjadi bagian dari itu. Untuk itu, kami ingin memastikan kerja sama itu berdasarkan prinsip keadilan," tuturnya.
Selain itu, AS juga mendesak agar China bermain sesuai aturan internasional. "Ada banyak area di mana China melanggar. Ada isu keamanan di Laut China Selatan di mana China memiliki pandangan yang berbeda dari negara lain di kawasan itu. Ada juga isu hak asasi manusia (terhadap rakyat Uighur di Xinjiang)," tambah Hale.