Era Reiwa di Tengah Tantangan Keamanan
Naruhito memulai kekaisarannya saat PM Shinzo Abe berupaya memperkuat peran militer Jepang untuk mempertahankan stabilitas keamanan di kawasan.
Esok, 30 April 2019, Kaisar Akihito turun takhta dan, sehari kemudian, Pangeran Naruhito akan menjadi kaisar di Takhta Serunai. Era Heisei pun berakhir, digantikan oleh era Reiwa.
Naruhito akan menjadi kaisar pertama yang lahir di zaman modern, ketika Jepang menghadapi berbagai tantangan berat di bidang keamanan, ekonomi, dan sosial. Ia juga menjadi kaisar saat Jepang dipimpin PM Shinzo Abe yang telah tiga kali menjadi perdana menteri dan memiliki ambisi politik untuk membuat Jepang keluar dari belenggu pasifisme.
Abe memilih Presiden AS Donald Trump sebagai tamu negara pertama yang berkunjung ke Jepang di era kekaisaran baru. Abe akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menunjukkan pada dunia bahwa di era yang baru hubungan AS-Jepang sangat kokoh.
Citra itu sudah dibangun Abe bahkan sejak Trump belum dilantik resmi sebagai presiden. Ia merupakan pemimpin pertama yang menemui Trump.
Bagi Jepang, AS merupakan sekutu satu-satunya yang menjadi sandaran ketika stabilitas di kawasan terancam. Bagi Jepang, ancaman utama datang dari China yang tak henti membangun kekuatan militernya dan melebarkan dominasi perdagangannya. China kini menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, mengalahkan Jepang di urutan ketiga.
Menurut The Economist (20/4/2019), dalam sepuluh tahun terakhir China telah meningkatkan anggaran belanja pertahanan dari sekitar 40-an miliar dollar AS (1998) menjadi hampir 250 miliar dollar AS (2018). Adapun Jepang stagnan di angka 50 miliar dollar AS.
Ancaman juga datang dari Korea Utara yang sampai dengan September 2017 telah enam kali menggelar uji coba senjata nuklir, salah satunya berkekuatan delapan kali bom yang dijatuhkan di Hiroshima.
Berubah
Jepang selama ini terbelenggu oleh konstitusi yang ditulis ulang oleh pasukan AS pascakekalahan Jepang di Perang Dunia (PD) II. Undang-undang itu melarang Jepang memiliki kekuatan militer ataupun berperang. Namun, Jepang memiliki pasukan bela diri untuk membela rakyatnya jika diserang. Sementara untuk melancarkan serangan ofensif, Jepang menggantungkan diri pada pasukan AS yang memiliki pangkalan militer di Jepang.
Namun, sejak Abe terpilih menjadi PM, aturan itu terus dilonggarkan. Sedikit demi sedikit pasukan bela diri Jepang mulai mengarah seperti pasukan militer umumnya. Dewan Keamanan Nasional Jepang yang dibentuk Abe, pada 4 Desember lalu, memperingati ulang tahun kelima. Dewan ini mengoordinasikan kebijakan pertahanan dan keamanan setiap lima tahun.
Pada intinya, menurut The Economist, ada tiga agenda utama keamanan Jepang. Pertama, meningkatkan anggaran belanja pertahanan menjadi 245 miliar dollar AS dalam lima tahun ke depan, atau naik sekitar 49 miliar dollar setiap tahunnya. Jumlah ini hanya seperempat dari yang dianggarkan China.
Kedua, Jepang akan mengembangkan kemampuan ofensif yang baru, antara lain dengan mengembangkan pasukan pemukul laut (seaborne strike force), termasuk JASSM-ER, rudal jelajah yang ditembakkan dari pesawat tempur yang dapat menjelajah sampai 900 kilometer. Dengan kata lain, rudal ini mampu menjangkau kapal-kapal tempur China seandainya mereka memasuki perairan Jepang.
Ketiga, Jepang juga harus bersiap menghadapi perang luar angkasa, perang siber, dan perang dalam spektrum elektromagnetik. Oleh karenanya, Jepang menganggarkan sedikitnya 240 juta dollar untuk melacak kemungkinan ancaman terhadap satelit-satelit mereka.
Meski demikian, terkait konstitusi, mayoritas rakyat Jepang tetap menolak perubahan konstitusi atau melibatkan negara itu dalam perang di mana pun. Oleh karenanya, Pemerintah Jepang tetap berhati-hati dalam menarasikan perubahan di atas kepada rakyatnya.
Stagnan
Ketika resmi menjadi kaisar pada 1 Mei 2019, kondisi ekonomi yang dihadapi Naruhito akan sangat berbeda dengan situasi ekonomi saat Akihito menjadi kaisar. Saat itu, Jepang mencapai puncak kejayaannya. Meski kalah di PD II, Jepang mampu membangun perekonomian kuat yang berpuncak pada 1980-an. Periode ini disebut sebagai ”keajaiban ekonomi”.
Namun, memasuki era 1990- an, gelembung-gelembung keajaiban itu pecah dan Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang stagnan sampai saat ini. Para pengamat menyebutnya sebagai ”dekade yang hilang (the lost decade)”.
Sejak saat itu, menurut tulisan John Mauldin dalam Forbes (18/4/2019), PDB Jepang terus menyusut, nilai upah turun, nilai aset juga anjlok, sementara Jepang menghadapi tantangan lain, yaitu populasi lansia yang hampir mencapai sepertiga total populasi.
Jepang diprediksi tidak akan lagi mengalami booming, tetapi juga tidak akan mengalami depresi ekonomi. Alasannya, dunia saat ini pun menghadapi krisis ekonomi mirip dengan apa yang dihadapi Jepang pada periode ”dekade yang hilang”.
Meski demikian, dimulainya era Reiwa telah menimbulkan optimisme di kalangan pebisnis ataupun warga Jepang. Untuk pertama kalinya rakyat Jepang diberi cuti bersama selama 10 hari, ”Minggu Emas”, mulai dari 27 April sampai 6 Mei untuk merayakan kekaisaran baru.
Puluhan juta orang akan memanfaatkan liburan itu untuk bepergian atau belanja. Diperkirakan akan ada sekitar 25 juta orang yang bepergian. Para analis ekonomi memperkirakan Minggu Emas itu akan menghasilkan peredaran uang sampai 4,46 miliar dollar AS. Selamat datang era Reiwa. (AP)