Presiden ketiga Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meminta agar Batam dikembalikan menjadi ujung tombak pembangunan Nusantara. Penerimaan devisa dari kawasan itu perlu ditingkatkan dengan membangun lebih banyak industri yang menghasilkan ekspor.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Presiden ketiga Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meminta agar Batam di Kepulauan Riau, dikembalikan menjadi ujung tombak pembangunan nusantara. Penerimaan devisa dari kawasan itu perlu ditingkatkan dengan membangun lebih banyak industri yang menghasilkan ekspor.
“Tahun 1975, saya meminta Presiden Soeharto agar Batam tidak sekadar dipakai menjadi gudang tetapi dimanfaatkan sebagai ujung tombak pembangunan Indonesia. Artinya, 24 tahun sebelum globalisasi, Batam sudah disiapkan menjadi penghubung Indonesia dengan dunia,” kata Habibie saat memantau pembangunan Erleseen Tower di Batam, Senin (29/4/2019).
Rencana itu terbukti tepat dan tidak sia-sia. Dari pulau yang tadinya hanya dihuni kelompok nelayan, Batam menjelma menjadi salah satu daerah dengan infrastruktur paling baik di Indonesia.
Akan tetapi, Habibie mengingatkan, misi Batam sebagai ujung tombak pembangunan belum selesai. “Sekarang kita bukan saja butuh pertumbuhan ekonomi tetapi juga pemerataan pembangunan. Kuncinya ada pada usaha membangun sumber daya manusia yang berkualitas,” ucap Habibie.
Batam juga tidak boleh berpuas diri hanya dikenal sebagai kawasan industri asing. Sebagai bagian dari kawasan terluar dan pintu gerbang masuk ke Indonesia, Batam harus menjadi pusat industri yang mendatangkan devisa bagi negara.
Saat dihubungi dari Batam, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, Batam belum berhasil menjadi ujung tombak pembangunan. Sebagai kawasan zona perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ), Batam belum memberi sumbangan signifikan terhadap penerimaan devisa negara.
“Selama beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi di Batam justru berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di rentang 5,7 persen. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi di kawasan yang dirancang sebagai ujung tombak pembangunan,” kata Heri.
Penyebabnya tak lain adalah investasi asing di Batam yang sebagian besar tidak menghasilkan barang yang bisa diekspor untuk mendatangkan devisa bagi negara. Kebanyakan industri dengan modal asing di Batam justru memasarkan produknya hanya di dalam negeri.
Industri dirgantara
Hal senada dinyatakan oleh Habibie yang merasa prihatin Indonesia tidak memiliki moda transportasi udara yang memadai karena terganjal penerimaan devisa rendah. Padahal, sebagai negara yang 70 persen wilayahnya berupa laut, pesawat seharusnya menjadi tulang punggung penghubung antarpulau.
“Saya datang kemari karena sudah memutuskan akan memindah pusat industri dirgantara ke Batam,” ujar Habibie.
Batam dilirik sebagai pusat industri dirgantara masa depan karena lokasinya yang mudah dijangkau negara tetangga. Pada umumnya, industri pembuatan pesawat hanya memproduksi sendiri 40 persen komponen yang dibutuhkan, sisanya dipasok perusahaan negara lain.
Infrastruktur dan peraturan FTZ di Batam dinilai bersahabat bagi investor asing yang akan masuk dan memasok 60 persen komponen pesawat. Industri pesawat dalam negeri itu diharapkan mampu menambah penerimaan devisa negara dengan impor barang jadi yang nilainya jauh lebih besar.
“Indonesia memang tidak mampu impor pesawat karena devisa kita hanya berasal dari kelapa sawit atau minyak yang juga kita konsumsi sendiri. Jalannya memang harus dengan membuat pesawat sendiri, membangun industri teknologi yang mendatangkan devisa lebih besar untuk negara,” ucap Habibie.