Kerangka Manusia Berpelukan Ditemukan di Situs Lambanapu
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
WAINGAPU, KOMPAS—Dua bulan terakhir, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berhasil menguak kompleks makam kuno yang begitu kaya akan temuan di Situs Lambanapu, Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Salah satu temuan unik mereka adalah sepasang kerangka manusia laki-laki dan perempuan yang terkubur dalam posisi berpelukan.
Setelah tahun 2018 lalu Puslit Arkenas melakukan penggalian di Situs Lambanapu, tahun ini penggalian kembali dilakukan, tepatnya di sisi utara lubang galian lama. Di titik ekskavasi baru, arkeolog ternyata berhasil menemukan kompleks kubur yang relatif lebih utuh dan kaya akan temuan.
“Dari hasil penelitian yang kami lakukan sejak Maret lalu, total ada 23 kerangka individu manusia yang kami temukan, terdiri dari 16 kerangka orang dewasa dan 7 kerangka anak-anak. Jika pada penggalian tahun sebelumnya jarang ditemukan bekal kubur pada kotak galian, kali ini justru kami menemukan begitu banyak bekal kubur, mulai dari tempayan kubur, manik-manik berwarna-warni, mangkok perunggu, hingga lulu amah atau perhiasan berbentuk ular yang biasa digunakan pada upacara-upacara adat kematian atau pernikahan di Sumba,” kata Ketua Tim Peneliti Situs Lambanapu Retno Handini, Minggu (28/4/2019) di Sumba Timur, NTT.
Dari hasil penelitian yang kami lakukan sejak Maret lalu, total ada 23 kerangka individu manusia yang kami temukan, terdiri dari 16 kerangka orang dewasa dan 7 kerangka anak-anak.
Hal menarik dari temuan puluhan kerangka manusia tersebut adalah, di bagian pojok kotak galian terkubur sepasang kerangka manusia dalam posisi berpelukan. Kerangka di bagian bawah merupakan kerangka laki-laki, sedangkan di bagian atasnya kerangka perempuan.
Fenomena penemuan kerangka manusia berpelukan ini masih mengundang pertanyaan bagi para arkeolog apakah keduanya meninggal dunia dalam waktu bersamaan atau tidak? Menurut arkeolog sekaligus peneliti senior Prof Truman Simanjuntak, ada dugaan bahwa tradisi dahulu pada saat seorang majikan meninggal dunia, maka hambanya dengan sukarela akan turut mengorbankan diri atau nyawanya untuk ikut menemani majikannya.
“Kebiasaan itu dulu masih ada. Tapi, seiring berkembangnya peradaban, orang yang meninggal dunia tidak lagi dikubur bersama hambanya, tetapi kemudian dikubur bersama dengan hewan piaraan atau bekal kubur seperti yang juga ditemukan di Situs Lambanapu ini,” ungkapnya.
Sistem penguburan berpasangan seperti juga pernah ditemukan Truman ketika melakukan ekskavasi di Situs Goa Harimau, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Di Goa Harimau, ditemukan sepasang kerangka manusia dengan posisi salah satu tangan merangkul pasangannya.
Kemiripan Tradisi
Dalam penggalian terbaru di Situs Lambanapu, arkeolog juga menemukan tujuh tempayan kubur, ribuan manik-manik berwarna-warni yang disimpan dalam mangkok perunggu bersama tulang-belulang individu anak, serta kerangka seekor anjing yang diduga dikubur bersama dengan tuannya. Retno menjelaskan, dengan melihat keindahan manik-manik batu dan tanah liat, diperkirakan anak yang dikubur di dalam mangkok tersebut merupakan anak dari kalangan bangsawan.
Temuan-temuan di Situs Lambanapu memiliki kesamaan dengan kompleks pemakaman kuno di tempat lain seperti Situs Gilimanuk, Alor, dan Lembata yang juga memakai tempayan-tempayan kubur. Sistem-sistem penguburan seperti ini biasanya banyak ditemukan di sekitar pesisir pantai dan menjadi kekhasan dari sistem penguburan kelompok penutur Austronesia. "Berdasarkan hasil pertanggalan terhadap salah satu sampel tulang, diperkirakan kompleks pemakaman ini berusia sekitar 2.000 tahun,” terangnya.
Berdasarkan hasil pertanggalan terhadap salah satu sampel tulang, diperkirakan kompleks pemakaman ini berusia sekitar 2.000 tahun.
Arkeolog memperkirakan, leluhur masyarakat Sumba berasal dari percampuran genetika tiga gelombang migrasi yang datang ke Indonesia pada zaman prasejarah. Pertama adalah ras Australomelanesid yang datang sekitar 12.000 tahun lalu di Papua, lalu penutur Austronesia yang datang dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu dan kemudian Austro-asiatik yang datang dari China Selatan sekitar 4.000 tahun lalu.
Dilihat dari ciri-cirinya, kerangka-kerangka manusia di Situs Lambanapu yang ternyata berciri ras Mongoloid yang bercampur dengan ras Australomelanesid. Bahkan, di antara ras Mongoloid, diperkirakan masih ada percampuran lagi antara kelompok penutur Austronesia dengan Austro-asiatik.
Warga Lambanapu, Andreas Marambadidi mengungkapkan, masyarakat sekitar Situs Lambanapu mendapatkan cerita turun-temurun dari orang-orang tua bahwa di sekitar Lambanapu terdapat kawasan pemakaman kuno. “Dulu saya pernah menemukan tempayan yang bentuknya masih utuh. Ternyata itu adalah tempayan untuk penguburan,” ujarnya.
Situs Lambanapu mulai dikenal sejak arkeolog Belanda, Van Heekeren melakukan penelitian pada 1956. Dalam laporannya berjudul “Urn Cemetery at Melolo, East Sumba”, Heekeren sempat menyebut nama Lambanapu.
Setelah penelitian Heekeren, Puslit Arkenas melanjutkan riset di Lambanapu pada 1978 yang kemudian diikuti sejumlah penelitian selanjutnya hingga sekarang. Mulai 2016, petunjuk-petunjuk tentang misteri kehidupan manusia masa lampau di Sumba perlahan-lahan mulai terkuak.