Ketika kota tumbuh makin besar, satu hal tak boleh dilupakan, yakni bagaimana memenuhi kebutuhan perut warganya. Selain tata ruang wilayah, perkembangan kota yang makin pesat merubah konfigurasi lingkungan, sosial, dan ekonomi, termasuk urusan pangan dan gizi penduduknya.
Pangan menjadi tema yang makin urgen karena urbanisasi telah mempengaruhi kenyataan global. Kota besar menjadi pilihan tempat tinggal. Bahkan, pada tahun 2050, sekitar 70 persen penduduk dunia diperkirakan tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, Organisasi Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa Bangsa (FAO) meluncurkan inisiatif bernama “Food for the Cities” tahun 2001, salah satu upaya mengatasi tantangan urbanisasi bagi penduduk perkotaan dan perdesaan.
Selain antara kota dan desa, persebaran penduduk di Indonesia mengalami ketidakseimbangan antara Jawa dan luar Jawa.
Kondisi Indonesia tidak jauh beda. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia mencapai 318 juta jiwa pada tahun 2045. Ketika itu, penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 67 persen, tumbuh lebih besar dibandingkan situasi tahun 2015 yang mencapai 53 persen.
Selain antara kota dan desa, persebaran penduduk di Indonesia mengalami ketidakseimbangan antara Jawa dan luar Jawa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penduduk di Jawa tahun 2017 mencapai 56,57 persen, meski luasnya hanya 6,74 persen dari total 1,91 juta kilometer persegi wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penyediaan pangan kota di masa depan, tak kalah penting dibandingkan papan, listrik dan air, atau transportasi.
Perebutan sumber-sumber pangan akan makin pelik. Sebab, ketika kebutuhan pangan terus bertambah, lahan pertanian makin susut luas maupun kualitasnya. Data terbaru yang dipublikasi pemerintah Oktober 2018, luas baku sawah berkurang dari 7,75 hektar jadi 7,1 juta hektar selama 2013-2018. Artinya, alih fungsi mencapai 130.000 hektar per tahun, setara dengan dua kali wilayah Ibu Kota Jakarta!
Penyediaan pangan menghadapi tantangan yang rumit di masa depan.
Alih fungsi masif terjadi di Jawa yang diberkahi tanah subur. Selain permukiman, lahan diubah fungsinya untuk memenuhi kebutuhan industri, membangun infrastruktur, serta kebutuhan nonpertanian lain. Ironisnya, selain jadi tempat mukim mayoritas penduduk, Jawa hingga kini masih jadi tumpuan produksi sejumlah bahan makanan utama, seperti beras, jagung, gula, daging dan telur ayam, serta daging dan susu sapi.
Dengan demikian, penyediaan pangan menghadapi tantangan yang rumit di masa depan, termasuk bagi warga kota. Kebutuhan pangan kota secara tradisional memang telah terbentuk. Wilayah Jabodetabek, misalnya, disuplai dari beberapa kabupaten di Jawa Barat dan Banten, sebagian dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan luar Jawa. Namun, kontinuitasnya jadi soal, tercermin dari harga yang masih fluktuatif. Kualitasnya juga belum stabil. Apalagi produk pangan umumnya cepat rusak.
Tahun 2017, Kementerian Pertanian mengenalkan pengembangan wilayah penyangga untuk Jakarta, seperti konsep city region food systems (CRFS) FAO yang mencakup produksi, pengolahan, dan konsumsi. Konsep ini memungkinkan solusi konkret yang menguatkan kota dan desa, produsen sekaligus konsumen. Realitasnya memang masih jauh dari ideal. Namun, ketahanan dan kedaulatan pangan mesti diperjuangkan.