Pemilihan Luar Negeri ke Depan Perlu Banyak Perbaikan
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Antisipasi antusiasme pemilih luar negeri menjadi tugas yang tersisa untuk penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Semangat warga untuk menggunakan hak pilihnya harus dijawab dengan kesiapan penyelenggara yang memadai.
Pada Pemilu 2019, lembaga advokasi buruh migran Migrant Care memperkirakan partisipasi pemilih luar negeri akan mencapai lebih dari 60 persen. Apabila prediksi ini sesuai, jumlah ini meningkat tajam dibandingkan pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2004 hingga 2009, jumlah partisipasi pemilih di luar negeri hanya sekitar 20 persen; sedangkan Pemilu 2014 berada pada angka 23 persen.
Namun sayangnya, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo berpandangan, antusiasme pemilih di luar negeri tidak diimbangi dengan kesigapan penyelenggara pemilu. Ia mencontohkan, di Hongkong, warga Indonesia yang harus pulang tanpa menggunakan hak pilihnya meski sudah antre berjam-jam.
Wahyu, yang saat penyelenggaran pemilu melakukan pemantauan di Hongkong, mengatakan bahwa antrean TPS dapat mencapai lebih dari satu kilometer. “Pengorbanan mereka ini harus jadi catatan untuk penyelenggaraan yang lebih baik ke depan,” kata Wahyu, Senin (29/4/2019), dalam diskusi bertajuk “Tantangan Pemilu RI 2019 bagi Pekerja Migran dan Masyarakat Adat” di Jakarta.
Acara ini juga dihadiri oleh anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Mohamad Afifuddin, peneliti Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, dan Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat dari Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Abdi Akbar.
Persoalan pemungutan suara juga terjadi di Sydney, Australia. Di sana, proses pemungutan suara harus dihentikan karena melebihi durasi sewa lokasi TPS. “Negosiasi untuk menyewa lokasi yang akan digunakan sebagai TPS itu seharusnya bisa diantisipasi sejak lama. Bisa saja pada Pemilu 2024 ke depan akan terulang kembali,” kata Ketua Pusat Kajian Migrasi Migrant Care Anis Hidayah.
Pada Pemilu 2019 ini, ujar Anis, sebetulnya ada 27 titik di Malaysia yang direncanakan menjadi TPS, namun negosiasi tidak berhasil sehingga TPS hanya dapat digelar di tiga titik.
Pengawasan yang rendah juga dinilai Wahyu sebagai salah satu hasil evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019 di luar negeri. Adanya kasus dugaan surat suara tercoblos di Malaysia adalah salah satu bukti pengawasan yang kurang. Sistem kotak suara keliling (KSK) yang dilakukan di Malaysia pun dipandang kurang pengawasan.
“Tidak ada pengawasan yang melekat pada kotak suara keliling ini,” kata Anis. Ia juga meminta Bawaslu juga menjadikan kasus surat suara tercoblos di Malaysia menjadi momentum untuk membongkar jaringan calo suara.
Penyederhanaan syarat memilih bagi WNI di luar negeri juga dinilai perlu dipertimbangkan. Sebab, syarat-syarat yang diterapkan di dalam negeri tidak semata-mata dapat langsung diaplikasikan kepada WNI di luar negeri.
Afifuddin mencontohkan, pendataan pemilih di luar negeri tidak semudah di dalam negeri. Di negara-negara dengan banyak buruh migran asal Indonesia, persoalan yang sering ditemui adalah WNI tidak bisa mendaftar karena paspor yang ditahan oleh majikan atau tempat bekerja.
“Tidak semua majikan atau tempat bekerja itu kooperatif dengan apa yang diinginkan oleh para karyawannya. Proses pencatatan pemilih di luar negeri ini jadi tantangan tersendiri,” kata Afifuddin.
Tidak semua majikan atau tempat bekerja itu kooperatif dengan apa yang diinginkan oleh para karyawannya. Proses pencatatan pemilih di luar negeri ini jadi tantangan tersendiri.
Berdasarkan data Migrant Care, jumlah warga negara Indonesia di luar negeri diperkirakan berjumlah 9 juta orang. Sedangkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Ketiga (DPTHP-III), jumlah pemilih luar negeri hanya berjumlah 2.086.285 orang.
Kondisi tersebarnya warga Indonesia di negara-negara dengan luas wilayah yang besar, dinilai Hadar, juga membuat partisipasi tidak dapat maksimal. Penggunaan teknologi informasi seperti mengirim undangan dengan barcode yang dilakukan oleh PPLN Singapura perlu menjadi standar.
Bahkan menurut Hadar, pendaftaran pemilih dan pemungutan di luar negeri sebaiknya dapat dilakukan secara daring. “Untuk hadir di lokasi itu mungkin tidak mudah karena warga kita tersebar, mungkin voting machine bisa dicoba,” kata Hadar.
Dapil luar negeri
Wacana pembentukan daerah pemilihan luar negeri perlu kembali didorong, kata Hadar. Ia menilai, antusiasme pemilih luar negeri yang tinggi untuk menggunakan hak pilihnya tidak pas apabila hanya disodori anggota legislatif yang juga akan mewakili dapil DKI Jakarta II, yang juga mencakup wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Pembentukan daerah pemilihan luar negeri sebetulnya sudah didorong oleh berbagai kelompok masyarakat sipil sejak 2014 lalu, saat Diaspora Indonesia membuat petisi kepada Mahkamah Konstitusi. Gagasan ini pun sudah diupayakan saat perancangan Undang-Undang Pemilu pada 2017 lalu.
Hadar menilai, perhatian para caleg dapil tersebut pun akan terbelah. “Padahal, sektor tenaga kerja di luar negeri itu perlu ada perhatian tersendiri. Harus ada wakil rakyat yang fokus di sektor itu,” kata Hadar.
Dalam kesempatan itu, Afifuddin juga mengungkapkan bahwa pemungutan suara lanjutan (PSL) untuk Sydney akan segera dilakukan. Afifuddin mengatakan panitia pemilihan luar negeri (PPLN) dan pengawas akan segera bertemu untuk berkoordinasi teknis penyelenggaraan PSL.