JAKARTA, KOMPAS – Menjelang Ramadhan, omzet penjualan pakaian Muslim di Tanah Abang, Jakarta Pusat menurun sekitar 50 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Selain karena pergeseran pola belanja karena disrupsi perdagangan elektronik, pengunjung dari luar Jawa juga berkurang akibat mahalnya harga tiket pesawat.
Pantauan Kompas, sekitar pukul 11.00, wilayah Pasar Tanah Abang mulai dari Jembatan Multiguna, Blok Central Tanah Abang (CTA), Blok F, Blok B, hingga Blok A cukup ramai pengunjung, namun tidak begitu padat.
Arya Duta (39), penjual Gamis Turki di Blok A, mengatakan, omzet tahun ini menjelang Ramadhan hanya berkisar Rp 2 juta per hari. Sementara tahun lalu, dapat mencapai hingga Rp 10 juta per hari.
Penjual baju koko di Blok B, Maliq (50), juga mengalami hal serupa. Setelah berjualan lebih dari sepuluh tahun, baru kali ini ia merasakan penurunan yang begitu drastis.
"Tahun lalu, sehari masih bisa jual 20 kodi, tapi tahun ini paling 5 kodi per harinya. Omzet per hari juga otomatis menurun. Tahun lalu bisa sampai Rp 35 juta, saat ini Rp 10 juta saja belum tentu," kata Maliq.
Dalam menyiasati lambatnya penjualan secara konvensional, penjualan secara dalam jaringan menjadi pilihan para pedagang. Salah satunya, Wandy (35), yang penjual pakaian Muslim di Blok B.
Dalam menyiasati lambatnya penjualan secara konvensional, penjualan secara dalam jaringan menjadi pilihan para pedagang
"Sudah tiga tahun ini, dari total barang yang saya jual, 75 persennya saya jual secara daring. Soalnya omzet semakin menurun kalau cuma jual di sini. Tahun ini omzet per hari paling Rp 20 juta, sementara tahun lalu bisa Rp 50 juta per hari," kata Wandy.
Menanggapi keadaan ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyampaikan, penurunan penjualan pakaian Muslim menjelang Ramadhan di pasar konvensional seperti Tanah Abang bisa terjadi karena pergeseran pola belanja. Salah satunya masyarakat lebih memilih berbelanja melalui e-commerce atau daring.
"Bisa saja konsumen sekarang lebih memilih berbelanja di ritel dekat tempat tinggalnya. Ada juga kemungkinan terjadi penundaan pembelian hingga menjelang Lebaran," ujar Faisal.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat juga sempat menyampaikan, indikasi penurunan permintaan pakaian Muslim sudah terjadi bahkan sebelum April. Biasanya, dua bulan menjelang Ramadhan, peningkatan permintaan bisa sampai 10 persen. Tahun ini malah turun, bahkan hingga 40 persen.
"Para penjual juga saat ini mengurangi kapasitas produksi maupun stok juga karena adanya kecenderungan konsumen yang beralih membeli kebutuhan primer. "Mereka (konsumen) akan lebih memilih membeli makanan dibandingkan pakaian yang sifatnya sekunder," ujar Ade.
Tiket pesawat
Faisal menilai, penurunan penjualan pakaian Muslim di Tanah Abang, juga dipengaruhi oleh tingginya harga tiket pesawat. Sebagai pusat belanja pakaian, komposisi pembeli pakaian Muslim di Tanah Abang kebanyakan berasal dari luar Jakarta.
"Kenaikan harga tiket pesawat secara signifikan sejak Januari akan memangkas pelanggan dari luar Jakarta, terutama luar Jawa. Dengan begitu, pembeli di Tanah Abang pun pasti menurun," kata Faisal.
Dampak tingginya harga tiket pesawat dirasakan oleh penjual gamis di Blok CTA, Yudi (23). Ia mengatakan, para pelanggannya yang berasal dari luar Jawa, antara lain Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi memutuskan tidak berbelanja ke Tanah Abang tahun ini.
"Kemarin saja, pelanggan saya yang di Ambon, Maluku bilang enggak kuat beli tiket pesawat buat ke sini. Mereka (pelanggan) malah minta dikirimin dari sini," kata Yudi.
Omzet yang didapat Yudi pun menurun drastis. Bila tahun lalu ia dapat mengumpulkan hingga Rp 40 juta per hari, tahun ini hanya berkisar di Rp 15 juta per hari.