Perlu Percepatan Program Pencegahan Banjir di Jakarta
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu segera merealisasikan program pencegahan banjir. Targetnya agar dampak banjir di Ibu Kota tidak semakin parah ketika hujan dan menerima kiriman air dari hulu. Perlu ada terobosan untuk mempercepat program pencegahan ini.
Ketua Fraksi PDI P DPRD DKI Gembong Warsono menilai program pencegahan banjir Jakarta belum dieksekusi dengan baik oleh Pemprov DKI. Hal ini, katanya, yang menjadi salah satu penyebab banjir di Ibu Kota beberapa hari lalu. "Kami melihat, program pencegahan banjir belum dieksekusi dengan baik," ucapnya kepada Kompas, di Jakarta, Senin (29/04/2019).
Gembong menjelaskan, Sungai Ciliwung dan Kali Pesanggrahan belakangan mengalami penyempitan yang masif. Lebar kali yang seharusnya 50 meter (m), kini menyempit menjadi sekitar 20 m. "Masih banyak masyarakat yang tinggal di bantaran kali. Menurut saya, mustahil jika ingin menyelesaikan banjir tanpa merelokasi warga di bantaran kali," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, banjir di Jakarta terjadi karena kiriman air dari hulu. Ia mengatakan, tidak hanya DKI, tetapi daerah Tangerang dan Bekasi pun juga dilanda banjir.
"Ketika mendapat air kiriman dari hulu, hanya daerah bantaran sungai yang terkena banjir. Sedangkan daerah lain tidak dilanda banjir. Selain itu, saat ini airnya pun juga mulai surut dan secepatnya warga sudah mulai bisa beraktivitas dengan normal," ucapnya di Balai Kota, Jakarta.
Anies menjelaskan, saat ini Pemprov DKI juga mulai membangun kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mulai membangun Waduk Sukamahi dan Ciawi yang ditargetkan rampung 2019. Menurut dia, jika masalah hulu bisa teratasi, maka potensi banjir di Jakarta bisa berkurang.
Menanggapi pernyataan Anies, Gembong mengatakan, permasalahan air kiriman ini bukan hal yang baru di Jakarta. Menurut dia, daerah hulu tidak bisa terus menerus disalahkan, karena DKI memiliki tanggung jawab untuk mengelola daerah hilir.
"Selain itu, jika memang pemprov berencana untuk membangun waduk, harus segera diselesaikan. Karena kondisi cuaca tidak menentu dan bisa saja banjir kiriman akan datang lagi ke DKI," katanya.
Audit drainase
Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menjelaskan, setelah banjir surut, pemerintah perlu membuat rencana bersama untuk mengantisipasi banjir. Salah satu hal yang ia soroti adalah lemahnya pengelolaan drainase di Ibu Kota. “Jadi sekarang ini harus diaudit sistem drainase. Mana drainase yang mengalami penurunan muka tanah,” katanya. Ditambah lagi, sebagian drainase di Ibu Kota sudah berusia puluhan tahun.
Hadirnya kawasan terbangun baru yang tidak dilengkapi sistem drainase mumpuni, turut menambah beban sistem drainase primer maupun sekunder yang memang sudah senja. Bagi sejumlah pengembang, kata Yayat, “Yang penting di sambungkan saja ke drainase. Tetapi tidak dilakukan kajian apakah drainase eksisting punya kemampuan untuk ditambah bebannya,” katanya.
Pemprov DKI Jakarta punya sejumlah solusi terkait antisipasi banjir, antara lain mitigasi struktural, non-struktural, dan membangum waduk di wilayah sekitar Jakarta.
Yayat menjelaskan, mitigasi struktural yang melingkupi normalisasi sungai, penguatan tanggul, dan pembuatan kolam retensi, jangan sampai hanya menjadi wacana. Harus ada aksi yang jelas terkait mitigasi itu. Ini dibuktikan dengan ada atau tidaknya rencana mitigasi struktural itu dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Baca juga : Sejumlah Infrastruktur Dibangun untuk Mengatasi Banjir
Baca juga : Antisipasi Tanggul Jebol, Setu Babakan Direvitalisasi
Di samping itu, Yayat pun meminta pemerintah DKI duduk bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Perdebatan tentang naturalisasi sungai atau normalisasi sungai tidak perlu diperpanjang. Bagian terpenting adalah pembebasan lahan yang berujung pada relokasi warga. Ini terkait rencana normalisasi sungai sepanjang 18 kilometer dari Pintu Air Manggarai ke Jembatan TB Simatupang yang terkendala pembebasan lahan.
“Selama relokasi tidak dilakukan, perdebatan tentang normalisasi atau naturalisasi hanya semacam menghindar dari permasalahan yang sebenarnya,” kata dia.
Menanggapi hal itu, Staf Khusus Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali sudah berusaha menghubungi Pemprov DKI Jakarta untuk menjelaskan naturalisasi sungai yang dimaksud. Undangan pun sudah dua kali dilayangkan. Saat pertemuan pertama, kata Firdaus, perwakilan Pemprov DKI tidak mampu menjelaskan konsep naturalisasi sungai. Sementara undangan kedua, belum ada tanggapan dari Pemprov DKI hingga sekarang.
Firdaus melanjutkan, tidak ada solusi jangka pendek untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta. Selama dua tahun terakhir, Kementerian PUPR praktis tidak dapat berbuat apa-apa karena pemprov belum melakukan pembebasan lahan.
Dia menjelaskan, normalisasi sungai merupakan usaha untuk mengembalikan kapasitas angkut sungai hingga hilir. Adapun kegiatan yang termasuk di dalamnya, antara lain pengerukan sungai, pembangunan tanggul, dan mengembalikan lebar sungai seperti semula.
Dalam situasi masyarakat perkotaan yang sudah mengokupasi badan sungai, mau tidak mau masyarakat tersebut harus dipindahkan. “Saya tegaskan, sampai “lebaran kuda” sekalipun, kita tak bisa mengembalikan sempadan sungai tanpa memindahkan penduduk,” katanya.
Pasca-Banjir
Setelah sempat tergenang hingga Minggu (28/4/2019), banjir di sejumlah wilayah Jakarta dan Tangerang kini mulai surut. Walau begitu, dampak dari banjir masih berlanjut.
Di Jakarta, sejumlah permukiman terdampak adanya lumpur yang sempat terbawa dari sungai. Hal ini menyebabkan aktivitas sebagian warga di Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi terhambat.
Aktivitas pembersihan lumpur di RW 007 dan RW 008 Pejaten Timur sulit dilakukan karena saluran air yang mampet. Kepala Peleton dari Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Selatan Sektor Pasar Minggu, Ari Santoso, mengatakan, endapan lumpur akhirnya didorong menuju ke arah sungai sehingga membutuhkan waktu lebih lama.
Nanang, Ketua RT 017 RW 007 Pejaten Timur, mengatakan, banjir juga berdampak pada aktivitas pemadaman listrik di sejumlah rumah. Di wilayahnya, ada sekitar 12 rumah yang terkena pemadaman untuk mencegah risiko sengatan aliran listrik.
Dampak serupa juga terlihat di Kompleks Pesona Serpong, Kademangan, Setu, Tangerang Selatan, Banten. Jalanan kompleks penuh oleh perabotan rumah tangga. Warga mulai menjemur kasur, lemari, dan kursi yang terkena lumpur, Senin siang.
Ketua komunitas siaga bencana Pesona Serpong, Timbul Harahap, mengatakan, kawasan kompleksnya dikelilingi oleh rawa yang sebagian berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane. Limpasan sungai tersebut, pada Kamis pekan lalu, merendam sekitar 250 rumah warga.