Ranah Privat pun Menjadi Ancaman Bagi Perempuan
Kasus tertinggi
Angka kasus inses menempati angka tertinggi dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2019. Dari 2.988 kasus kekerasan seksual di ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/relasi personal, angka inses mencapai 1.071 kasus.
Bahkan dalam Catahu Komnas Perempuan dua tahun berturut-turut (2018-2019) kasus inses amat tinggi. Catahu Komnas Perempuan 2018 mencatat angka inses mencapai 1.210 kasus. Para pelaku inses, paling banyak adalah ayah kandung dan paman.
Selama ini kasus inses menjadi salah satu bentuk kekerasan seksual yang tersembunyi di balik tembok rumah. Meski terjadi bertahun-tahun, korban sangat sulit mengungkapkan kepada pihak luar apalagi melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya ke kepolisian. Korban berada di posisi sulit karena menyangkut relasi keluarga. Hal yang terjadi selama ini, ibu korban sulit melaporkan pelaku yang notabene adalah suaminya.
“Bila dilihat dari pelaku inses tertinggi adalah ayah dan paman, bisa dibayangkan bagaimana kesulitan korban melaporkan kasusnya karena menjaga nama baik keluarga masih menjadi budaya di Indonesia,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin.
Kendati kasus inses masih sulit terungkap beberapa tahun terakhir, kasus inses mulai banyak dilaporkan ke berbagai lembaga seperti Women Crisis Centre/organisasi masyarakat sipil, kepolisian, pengadilan negeri, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), rumah sakit, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB).
Perkosaan dalam perkawinan
Tak hanya kasus inses, kekerasan seksual dalam ranah privat juga terjadi dalam bentuk yang lain, yakni perkosaan dalam perkawinan (marital rape) yang angkanya mencapai 195 kasus (Catahu Komnas Perempuan 2019). Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2018 yang mencapai 172 kasus.
Keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum.
Menurut Mariana, keberanian melaporkan kasus yang dialami anak perempuan dalam kasus inses dan marital rape kepada lembaga layanan menunjukkan langkah maju perempuan yang selama ini cenderung menutup dan memupuk impunitas pelaku anggota keluarga. Hubungan seksual dengan cara tak diinginkan dan menyebabkan penderitaan pada isteri ini, yang selama ini tersembunyi, kini terungkap ke permukaan.
“Perkosaan dalam perkawinan angkanya kelihatan muncul karena terus meningkat. Sebelumnya kasus itu tidak kelihatan. Dari Catahu 2019 kami ingin menegaskan kepada publik bahwa kasus itu ada, sebab banyak yang tidak percaya ada marital rape. Padahal istri mengalami penderitaan terus menerus karena perlakuan tak manusiawi dari suami,” kata Mariana.
Kasus inses maupun perkosaan dalam perkawinan sama-sama terjadi dibalik tembok-tembok rumah atau dalam keluarga. Relasi pribadi membuat para korban sering tersandera sekian lama dalam penderitaan panjang. Yang terungkap belakangan ini, barulah sebagian kecil dari fenemona gunung es. Banyak korban memilih bungkam dan menyimpan trauma sepanjang hayatnya.
Karena itu, kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang akan mengatur berbagai kejahatan seksual yang selama ini tidak pernah tersentuh oleh hukum, kiranya menjadi pintu masuk bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapat keadilan.