Soemardhi Thaher Setia Menjadi Guru
Setamat dari Sekolah Rakyat tahun 1954, Soemardhi Thaher melanjutkan sekolah ke Sekolah Guru B di Taluk Kuantan, Riau. Di usia 12 tahun, ia mantap memilih mengabdi menjadi guru. Pilihan yang bergerak di luar jalur harapan keluarganya.
Ayahnya Mohammad Thaher, seorang saudagar desa, rupanya kurang berkenan dan meminta anaknya melanjutkan sekolah ke SMP sampai kemudian kuliah. Namun Soemardhi tetap kukuh dengan pendiriannya.
Ketika mendaftar ke SGB (Sekolah Guru B), Soemardhi justru ditolak oleh Kepala Sekolah Engku Safaat, karena ukuran badannya terlalu kecil. Namun takdir berkata lain.
Saat meninggalkan ruangan kepala sekolah, dalam gejolak karena diamuk kecewa, Soemardhi bertemu dengan Suwito, guru olahraga asal Pekanbaru, yang berkunjung ke sekolah itu. Suwito berhasil meyakinkan Engku Safaat untuk menerima Soemardhi.
“Pak Suwito sebenarnya dijadwalkan langsung membuka acara olahraga di lapangan. Karena hujan rintik-rintik, dia masuk ke gedung sekolah terlebih dahulu. Saya berpapasan dengan Pak Suwito. Dia bertanya apa tujuan saya ke sekolah itu?” kata Soemardhi dalam acara "Bedah Buku Hujan Rintik-Rintik, Takdirku Menjadi Guru dan untuk Guru di Pekanbaru", akhir Februari 2019.
Setelah tamat SGB, cita-cita Soemardhi menjadi guru terwujud. Ia ditempatkan di SD Pulau Sengkilo, sebuah desa terpencil di Kabupaten Indragiri Hulu. Ia sangat akrab dengan kehidupan masyarakat dan berniat hidup di desa itu selamanya. Namun terjadi insiden kecil sehingga ia dipindahkan ke Rengat, ibu kota Indragiri Hulu. Kepindahan itu menjadi jalan membayar janji kepada ayahnya untuk kuliah.
Saat kuliah di IKIP Jakarta Cabang Pekanbaru (cikal bakal FKIP Universitas Riau), Soemardhi terpilih menjadi Ketua Dewan Mahasiswa dan Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Riau. Dari sanalah ia mengenal Gubernur Riau, Arifin Achmad (1966-1988) yang dikenal terbuka kepada mahasiswa.
Soemardhi kerap berdiskusi dengan Arifin. Namun sang gubernur tidak tidak pernah tahu, bahwa Soemardhi juga guru SD. Arifin mengetahui profesi Soemardhi, tatkala ia meresmikan Sekolah Dasar Negeri 5 di Rumbai. Soemardhi kebetulan kepala sekolah di situ.
Sejak itu, Arifin semakin sering mengajak Soemardhi berdiskusi tentang pendidikan. Gubernur semakin percaya kemampuannya. Tidak lama kemudian, Soemardhi naik pangkat luar biasa, diangkat menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru. Ia menjadi kepala dinas termuda di Indonesia waktu itu, pada usia 30 tahun.
Profesionalisme guru
Ketika menjadi kepala dinas, ia dikenal keras menuntut profesionalisme guru dan kebersihan sekolah. Namun ia dihadapkan pada penghasilan guru yang minimal. Ia sering didatangi pedagang, rentenir untuk menagih utang guru dengan cara memotong gaji. Ada pula istri guru melaporkan suaminya tidak lagi membawa gaji karena uangnya habis untuk membayar utang.
Pada saat itu, guru juga sering menjadi obyek pungutan liar, apalagi uang gaji setelah kenaikan pangkat yang biasanya dirapel. Soemardhi mendatangi Kepala Bagian Keuangan Kantor Wali Kota Pekanbaru, untuk meminta penjelasan. Namun jangankan menyampaikan keluhan, pejabat itu tidak bersedia dijumpai.
Ia merasa patah arang. Ia pun menulis surat pengunduran diri kepada Wali Kota Rakhman Hamid. Setelah tahu masalahnya, Rakhman membereskan masalah itu. Wali kota bahkan menerbitkan surat keputusan mengalihkan wewenangnya kepada kepala dinas pendidikan untuk menerbitkan kenaikan pangkat yang sekaligus menaikkan gaji guru.
Soemardi bertindak keras menuntut guru profesional. Namun di sisi lain mengimbanginya dengan menaikkan kesejahteraan guru. Ia dianggap berhasil meletakkan dasar-dasar disiplin guru di Pekanbaru.
Di masanya, tidak ada lagi istilah “sekolah sembilan sebelas” yang artinya guru datang jam sembilan dan pulang jam sebelas. Ia membuat sekolah menjadi bersih dan indah, meski bangunannya tidak terlalu bagus.
Semasa menjadi Kepala Dinas Pendidikan, Soemardhi menyelenggarakan Pekan Olahraga dan Kesenian Sekolah Dasar yang disingkat Porkesda. Ia mengajak kepala sekolah, guru dan orangtua murid berkerja sama menyumbangkan tenaga dan dana. Porkesda terlaksana tanpa uang APBD sepeser pun.
Acara Porkesda sukses selama tiga tahun berturut. Ide Porkesda kemudian diambil alih oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyelenggarakan acara Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) secara nasional. Jadi, cikal-bakal Porseni berasal dari Riau.
Kehilangan penghasilan
Karier Soemardhi sempat mengalami pasang surut tatkala Gubernur Riau berganti dari Arifin kepada Subrantas. Jabatannya sebagai kepala dinas dicopot tanpa alasan.
Kehilangan penghasilan, sempat membuat Soemardhi kalut. Listrik di rumahnya bahkan sempat diputus PLN, karena menunggak bayaran. Namun kemudian, Subrantas memberikan kepercayaan kepada Soemardhi menjadi dosen di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri.
Sejak masih menjadi guru SD, Soemardhi telah menjadi pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia di Riau. Kiprahnya cukup meyakinkan sampai ke tingkat nasional sehingga ia sempat menjabat Sekretaris Jenderal PGRI pusat.
Pada tahun 1978, ia menjadi satu dari 13 delegasi guru Indonesia dipimpin Ketua PGRI Basyuni Suriamiharja yang ikut melahirkan Asosiasi Guru ASEAN (ACT).
Pada masa Gubernur Soeripto, Soemardhi dipercaya menjadi Kepala Dinas Pendidikan Riau. Ketika jabatan gubernur beralih kepada Saleh Djasit pada 1996, Soemardhi masih menjadi Kepala Dinas Pendidikan, namun anggaran pendidikan Riau, hanya 3 persen dari total APBD. Soemardhi berupaya keras menaikkan anggaran dengan melobi Badan Perencana Pembangunan Daerah dan DPRD Riau. Namun upayanya kandas.
Ia kemudian mengajukan surat pengunduran diri kepada gubernur, dengan alasan tidak mampu memajukan pendidikan Riau dengan biaya sekecil itu. Setelah mengetahui alasan Soemardhi, gubernur akhirnya merombak struktur APBD dan menaikkan anggaran pendidikan menjadi 8 persen. Di masa Saleh, Soemardhi pensiun dari pegawai negeri setelah bekerja selama 44 tahun.
Setelah pensiun, Soemardi tidak diam. Ia fokus mengabdi di PGRI. Ia kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Riau, dengan jumlah pemilih terbesar sampai saat ini.
Ketika menjabat Sekjen PGRI, ia menjadi motor yang menggugat pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo, agar benar-benar mengucurkan dana APBN sebesar 20 persen sesuai isi UUD 1945. Pada 2008, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan itu dan menyatakan pemerintah mesti mematuhi UUD. Setahun kemudian, anggaran pendidikan dalam APBN mengucur sebesar 20 persen.
Fasli Djalal, nantan Wakil Menteri Pendidikan Indonesia dalam peluncuran buku, Hujan Turun Rintik-Rintik, mengatakan, ia berteman dengan Soemardhi sejak dirinya menjadi kepala biro di Bappenas, 23 tahun lalu. Sejak saat itu, Fasli kerap berhubungan dengan Soemardhi terkait rencana perbaikan pendidikan nasional.
“Pak Soemardhi orangnya lugas, apa adanya, jujur dan tegas. Ia jernih melihat masalah pendidikan dan mampu menyampaikan serta meyakinkan bahwa orang daerah pantas diberi wewenang dalam koridor yang jelas. Ia adalah pejuang desentralisasi pendidikan nasional,” kata Fasli.
Fasli mengatakan, Soemardhi adalah salah seorang nara sumber penyusunan Undang-Undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Inti pemikiran Soemardhi dalam undang-undang itu, guru profesional harus punya kesejahteraan baik.
Tidak sedikit sumbangsih Soemardhi untuk guru Riau dan Indonesia. Setelah era Soemardhi, rasanya belum ada guru asal Riau, memiliki kiprah besar di kancah nasional.
Di usia senjanya, 77 tahun, Soemardhi menerbitkan buku semi-biografi, Hujan Turun Rintik-Rintik. Buku itu berisi kisah hidup dan harapannya tentang pendidikan di Tanah Air. Buku itu didedikasikannya untuk seluruh guru di Indonesia.
Soemardhi Thaher
Lahir : Inuman, Kuantan Singingi, 24 Juli 1942
Anak: Armus Winardhi, Achmad Rudhiwan, Wiyanti Triana, Rachmad Widiantara, Wide Wiawaty, Widi Mahardhika
Pendidikan:
- Sekolah rakyat Inuman tamat 1955
- Sekolah Guru B Taluk Kuantan (1958)
- S1 FKIP Universitas Riau
- S2 Universitas Pajajaran Bandung