Para Sopir Pemburu Waktu
Bukan perkara mudah membawa bahan pangan ke Ibu Kota. Distribusinya perlu siasat, pengorbanan, dan bertaruh dengan waktu. Peliknya kisah ini hampir dihadapi sopir pengangkut bahan pangan.
Bukan perkara mudah membawa bahan pangan ke Ibu Kota. Distribusinya perlu siasat, pengorbanan, dan bertaruh dengan waktu. Peliknya kisah ini hampir dihadapi sopir pengangkut bahan pangan.
Hampir di setiap perjalanan memburu waktu. Demi kelancaran, mereka menyiapkan "pelicin" untuk membayar pungutan liar (pungli) oknum petugas di lapangan agar bahan pangan segera sampai tujuan.
Alimi (45), supir truk asal Brebes, Jawa Tengah itu menarik napas lega. Di tengah hujan deras Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, Jumat (26/4/2019) dini hari dia mengamati muatannya dibongkar kuli pasar. Perjalanan dari Brebes ke Jakarta terbilang lancar. Sopir pengangkut bawang itu berangkat dari Brebes pukul 14.00, Kamis (25/4/2019), dan sampai ke Kramatjati pukul 21.00
“Sebenarnya kalau tidak macet lima jam perjalanan. Tadi dari Tol Karawang Barat sampai pintu Cikunir (Jakarta Timur) macet sekitar tiga jam,” tutur Alimi yang malam itu ditemati anaknya Iik Sugiono (18). Sebelum muatannya dibongkar, ayah tiga anak ini menunggu antrean satu jam lamanya. Kuli angkut baru membongkar muatannya sekitar pukul 23.00 hingga pukul 01.00.
Baca juga : Pangan Murah Jangan Hanya Jadi Jargon
Malam itu, matanya menerawang. Mengingat kisah perjalanannya yang nyaris tidak lepas dari praktik pungutan liar. “Dari dulu sampai sekarang praktek pungli masih saja terjadi. Aparat kok ya minta duit sama sopir, padahal gaji mereka lebih besar. Mereka pikir kami banyak uangnya,” ujarnya sambil tersenyum.
Pria berambut plontos ini risih dengan praktik jalanan itu. Setiap berangkat menuju Jakarta, Alimi harus menyiapkan uang Rp 20.000-Rp 50.000 sekali jalan. Uang ini di luar uang parkir di Kramatjati Rp 10.000-Rp12.000 sekali parkir. Dia yakin, nilai pungutan itu jauh lebih besar untuk sopir pengangkut bahan pangan jarak jauh.
Dia tidak habis pikir saat aparat menegurnya karena kecepatan kendaraan di bawah batas minimum. Karena muatan yang penuh, dia sengaja memilih jalur satu. “Tetapi agar tidak berkepanjangan, saya kasih uang petugas. Muatan harus segera tiba. Kalau telat datang, barang bisa jelek kualitasnya,” katanya.
Untuk pekerjaannya ini, dia mendapatkan upah bersih sekitar Rp 300.000-Rp 350.000. “Untungnya uang bahan bakar ditanggung sama bos (pemilik truk). Jadi uangnya saya bagi dua dengan anak saya,” tuturnya.
Menghadapi macet
Lain lagi Ayi (30) sopir pengangkut sayuran asal Garut, Jawa Barat. Selain menghadapi pungli, dia harus berjuang menembus macet. Hari itu, ia berangkat dari Garut pukul 16.00 dan sampai di Kramatjati pukul 00.00. Satu jam kemudian muatannya dibongkar.
Penurunan muatan Ayi terhenti beberapa kali karena hujan deras. Ayi hanya bisa diam, bertolak pinggang sembari memandangi langit. “Tadi di Tol Bekasi Barat macet parah. Jadinya terlambat sampai sini. Sayur ini harus segera diturunkan, pelanggan bisa protes. Ini sudah sangat telat,” katanya sambil melihat jam tangan yang menunjukan pukul 02.15.
Berkejaran dengan waktu agar tiba segera di Jakarta adalah tantangannya hampir setiap hari. Tujuannya, agar barang muatan Ayi tetap segar dan tidak rusak. Namun, faktor di luar kehendaknya yang sering menghambat rencana Ayi untuk segera tiba di Kramatjati.
Terkait pungli, Ayi sudah lama memendam kejengkelan. Beberapa hari sebelumnya, ia sempat merekam ulah aparat di jalan saat memintanya pungli yang kini minimal Rp 50.000. "Uang itu belum cukup, masih ditambah omelan,” katanya sambil menunjukan rekaman video dari telepon selulernya saat ia diberhentikan aparat di Cikunir.
Dalam video berdurasi 47 detik itu, seorang aparat menghampiri sopir truk. Pada saat itu juga si sopir memberikan uang Rp 50.000. “Itu posisi saya ada di jalur satu, tidak melanggar pelaturan. Tetap saja kena. Saya memang membawa muatan sebanyak empat ton untuk menghindari kerugian produksi dan memenuhi permintaan pelanggan,” kata pria bertubuh kurus itu.
Ia mengatakan, jika membawa bahan pangan dua ton, ongkos produksi Rp 1 juta. Angka itu harus dipotong Rp 200.000 untuk jasa kuli saat memasukan muatan. Sesampai di Pasar Induk Kramatjati, ia kembali merogoh kocek Rp 350.000 untuk biaya parkir, jasa bongkar, serta makan dan minum.
“Biaya lainnya seperti bahan bakar minyak Rp pulang-pergi Rp 500.000, bayar tol Rp 200.000, ditambah lagi pungli Rp 50.000. Saya gak dapat apa-apa, malah nombok Rp 300.000 hingga Rp 250.000,” ujar Ayi. Karena itu, Ayi dan sopir lain nekat membawa muatan ton dengan uang produksi Rp 2 juta meski risiko pungli dan keselamatan menjadi ancaman.
“Pungli Rp 50.000 mungkin terlihat kecil. Namun, berapa banyak uang yang dikumpulkan dari hasil pungli ? Bagi kami Rp 50.000 sangat besar. Kami berharap truk pengangkut bahan pangan bebas dari pungli,” kata Ayi dan disetujui sopir lain.
Menuju ke pasar
Bahan pangan yang tiba di Kramatjati kemudian didistribusikan ke pasar-pasar di seluruh Jakarta. Seperti yang dilakukan Wawan (35), sopir truk khusus mengangkut buah-buah. Buah-buahan tersebut didistribusikan Wawan ke Pasar Palmerah, Pasar Kebayoran Lama, dan Pasar Matraman. Mulai Pukul 19.00, Wawan sudah tiba di Pasar Induk Kramatjati. Dalam sehari ia bisa bolak-balik sebanyak tiga kali untuk memuat buah.
“Pelanggan paling banyak di Pasar Palmerah. Paling banyak dalam satu kali angkut satu ton. Saya dibayar borongan Rp 300.000 untuk Pasar Palmerah. Ke Pasar Kebayoran Lama Rp 250.000, dan Pasar Matraman Rp 150.000,” kata pria yang sudah menjadi sopir bahan pangan sejak 2001 itu.
Mendekati bulan ramadhan akan menjadi waktu yang sibuk dan melelahkan bagi, Wawan. Hal ini karena akan banyak permintaan dari pasar. Jika berkaca pada ramadhan tahun 2018, Wawan bisa bolak balik ke Pasar Induk Kramat Jati melayani pesanan hingga lima kali bolak-balik.
“Bulan ramadhan juga banyak pedagang baru bermunculan, itu juga saya layani jika mereka memesan. Bawaan saya lebih variatif, saya bawa kolang kaling, timun suri, dan blewah,” kata pria asal Semarang, Jawa Tengah itu.
Wawan mengatakan, selain permintaan yang meningkat, upah yang diterimanya juga meningkat. Dalam sekali angkut ke Pasar Palmerah ia mendapatkan bayaran Rp 350.000 hingga Rp 400.000. Penghasilannya sebulan pun bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta.
Selain persoalan itu, distribusi bahan pangan menjelang Ramadhan dan Lebaran perlu disiapkan jauh-jauh hari. Langkah ini disiapkan untuk mengantisipasi pembatasan truk melewati jalan tol yang diberlakukan mulai 31 Mei hingga 2 Juni.
Terkait ini, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia Kyatmaja Lookman menjelaskan, persediaan pangan selama bulan puasa dan Lebaran sudah mulai didistribusikan ke Jakarta sejak tiga bulan yang lalu. "Untuk bahan-bahan pangan yang cenderung awet seperti beras, sudah didistribusikan sejak tiga bulan lalu," katanya.
Namun, untuk sayur mayur serta bahan bumbu seperti cabai dan bawang, distribusi digenjot di bulan Mei untuk memenuhi kebutuhan puasa. Kali ini, para sopir kembali berjuang menembus rintangan di jalan. Demi pasokan pangan warga Ibu Kota.