Aktivis Minta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan
Aktivis dari sejumlah organisasi di Medan, Sumatera Utara, meminta agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Mereka meminta anggota DPR periode 2019-2024 memprioritaskan pengesahan undang-undang itu.
Oleh
NIKSON SINAGA
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Aktivis dari sejumlah organisasi di Medan, Sumatera Utara, meminta agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Mereka meminta anggota DPR periode 2019-2024 memprioritaskan pengesahan undang-undang itu.
Aksi tersebut dilakukan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari) serta Women’s March Medan yang terdiri dari Cangkang Quuer, Perempuan Aman, serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Selasa (30/4/2019). Mereka berorasi di Jalan Gatot Subroto, Medan, sembari membentangkan poster dan spanduk.
Koordinator Women’s March Medan Lely Zailani mengatakan, kekerasan seksual terhadap perempuan masih terjadi dan berulang. Sepanjang tahun 2018, ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
”Jumlah kasus meningkat 14 persen dibanding tahun sebelumnya, 348.466 kasus,” kata Lely.
Lely menyebutkan, peningkatan kekerasan terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Hal itu sangat berdampak pada kehidupan dan masa depan perempuan karena mengganggu psikologis, kesehatan reproduksi, kesehatan fisik, hingga kehidupan sosial.
Menurut Lely, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya mampu melindungi perempuan dari kekerasan. ”Namun, RUU itu tidak kunjung disahkan menjadi undang-undang sejak ditetapkan menjadi inisiatif DPR pada Februari 2017. Padahal, angka kekerasan seksual terus meningkat, korban terus berjatuhan,” ucapnya.
Pelaksana Program Hapsari Sri Rahayu mengatakan, kekerasan seksual sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan melanggar hak dasar perempuan, yakni menjalani kehidupan secara bermartabat.
Sri menyebutkan, negara berkewajiban mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Negara juga harus memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan korban. Pelaku juga harus dihukum dan direhabilitasi agar bisa menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dirinya dan orang lain.