Cuaca Ekstrem Semakin Sering, Antisipasi Perubahan Pola Hujan
JAKARTA, KOMPAS — Intensitas hujan lebat hingga ekstrem semakin sering terjadi seiring dengan perubahan iklim. Perubahan pola cuaca ini meningkatkan risiko banjir, banjir bandang, dan longsor, terutama di area yang vegetasinya terdegradasi sehingga mempercepat aliran air.
Dalam sepekan terakhir banjir melanda Jakarta, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara (Manado), Sulawesi Selatan, dan baru-baru ini banjir bandang di Sigi, Sulawesi Tengah. Sebelumnya, pada Maret 2019 lalu terjadi banjir bandang di Sentani, Papua.
"Banjir-banjir ini dipicu oleh aktivitas hujan dengan intensitas lebat atau di atas 50 milimeter per hari hingga ekstrem atau di atas 100 milimeter per hari," kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteoroogi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Senin (29/4/2019).
Banjir-banjir ini dipicu oleh aktivitas hujan dengan intensitas lebat atau di atas 50 milimeter per hari hingga ekstrem atau di atas 100 milimeter per hari.
Berdasarkan pantauan BMKG, intensitas hujan tinggi di Indonesia pada Minggu-Senin telah bergeser di bagian tengah dan timur Indonesia. Hujan tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Maritim Paotere, Sulawesi Selatan dengan intensitas 107 mm per hari. Sedangkan hujan di atas 50 mm terjadi merata di Jawa bagian timur, Kalimantan bagian selatan dan utara, Sulawesi bagian utara dan tengah, serta daerah Kepala Burung, Papua Barat.
"Daerah-darah ini, terutama Sulawesi, Kalimantan, dan Papua memang secara klimatisnya masih masuk musim hujan," kata dia. "Untuk daerah Nusa Tenggara Timur dan Barat harusnya sudah masuk kemarau. Sedangkan Jawa masuk pancaroba dengan kemarau diperkirakan pada awal Mei."
Namun, hujan lebat dengan intensitas di atas 60 mm ternyata juga terekam di Flores bagian barat. "Ini memang ada anomali, karena MJO (madden julian oscillation) yang merambat dari barat ke timur bertabrakan dengan angin timuran yang kering dari Australia. Akibatnya terjadi banyak sirkulasi angin yang meningkatkan hujan, termasuk di daerah NTT yang seharusnya sudah masuk kemarau," kata dia.
Tren meningkat
Menurut Siswanto, anomali hujan ekstrem kali ini merupakan bagian dari perubahan pola hujan yang telah terjadi di wilayah Indonesia. Kajian Siswanto, menunjukkan terjadinya perubahan curah hujan di atas 50 mm dan 100 mm per hari. Tren ini terutama meningkat pesat untuk periode 1961–2010, seiring dengan laju peningkatan suhu yang juga melonjak pada periode ini.
Kajian Siswanto, menunjukkan terjadinya perubahan curah hujan di atas 50 mm dan 100 mm per hari. Tren ini terutama meningkat pesat untuk periode 1961–2010.
Misalnya, sekitar 10 persen intensitas hujan tertinggi di Jakarta di atas 130 mm per hari, telah meningkat 14 persen akibat penambahan suhu per 1 derajat celcius. Contoh lain, menurut data BMKG, pola hujan di Sulawesi Selatan dalam kurun 1981-2016 memperlihatkan intensitas hujan 20 mm per hari bertambah 0,1149 hari per tahun atau 1,149 hari setiap dekade.
Dengan tren ini, risiko bencana banjir di Indonesia, menurut Siswanto, cenderung meningkat. Kerentanan bencana ini bertambah dengan degradasi lingkungan dan kepadatan hunian yang merangsek di area dataran banjir.
Angin laut ekstrem
Sementara itu, angin laut ekstrem dan tinggi gelombang laut di berbagai lautan dunia juga terus meningkat. Kenaikan terbesar terjadi di perairan samudera bagian selatan.
Kajian yang menandai terjadinya perubahan global ini dipublikasikan para peneliti Universitas Melbourne di jurnal Science pada 26 April 2019. Kesimpulan diperoleh dengan menganalisis kecepatan angin dan pengukuran tinggi gelombang berdasarkan data dari 31 satelit yang berbeda antara tahun 1985-2018.
Dalam kurun ini diperoleh sekitar 4 miliar pengamatan. Pengukuran ini kemudian dibandingkan dengan lebih dari 80 pelampung laut yang digunakan di seluruh dunia, menjadikannya set data terbesar dan terinci dari jenisnya yang pernah dikompilasi.
Para peneliti menemukan, intensitas angin ekstrem di perairan sebelah selatan telah meningkat 1,5 meter per detik atau 8 persen selama 30 tahun terakhir. Sedangkan gelombang ekstrem meningkat 30 sentimeter atau 5 persen selama periode yang sama.
Para peneliti menemukan, intensitas angin ekstrem di perairan sebelah selatan telah meningkat 1,5 meter per detik atau 8 persen selama 30 tahun terakhir.
"Meskipun kenaikan 5 dan 8 persen mungkin tidak tampak banyak, jika hal ini terus terjadi m di masa depan perubahannya akan semakin signifikan dan dampaknya besar," kata Ian Young, koordinator peneliti, dalam siaran pers Universitas Melbourne.
Menurut Young, banjir rob yang disebabkan oleh gelombang badai dan ombak akan meningkat. Peningkatan ketinggian gelombangdan perubahan sifat lainnya seperti arah gelombang, akan semakin meningkatkan kemungkinan banjir pesisir,” kata dia.
Young mengatakan memahami perubahan di perairan bagian selatan Bumi sangat penting karena area ini menjadi asal-usul gelombang yang mendominasi iklim di Pasifik Selatan, Atlantik Selatan, dan Samudra Hindia.
"Gelombang besar dari perairan di selatan ini menentukan stabilitas pantai untuk sebagian besar belahan bumi selatan,” kata Young. “Perubahan ini berikutnya memiliki dampak di seluruh dunia. Gelombang badai dapat meningkatkan erosi pantai, menempatkan permukiman dan infrastruktur pesisir berisiko."
Berdasarkan kajian ini, para peneliti tengah bekerja untuk mengembangkan model iklim global guna memproyeksikan perubahan angin dan ombak selama 100 tahun ke depan. “Kita perlu pemahaman yang lebih baik tentang seberapa besar kondisi ini disebabkan oleh perubahan iklim jangka panjang atau hanya merupakan siklus,” kata Young.
Data-data ini menjadi relevan, terutama untuk wilayah Indonesia yang mayoritas berupa kepulauan dan kawasan pesisir.