Desa merupakan salah satu basis penanggulangan bencana berbasis komunitas. Penanggulangan bencana berbasis komunitas dinilai akan meningkatkan derajat keselamatan bagi para korban bencana alam.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS – Desa merupakan salah satu basis penanggulangan bencana berbasis komunitas. Penanggulangan bencana berbasis komunitas dinilai akan meningkatkan derajat keselamatan bagi para korban bencana alam.
Hal itu dikatakan oleh Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bernardus Wisnu Widjaja, usai peringatan Hari Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Jawa Timur 2019 di Lapangan Rampal, Kota Malang, Selasa (30/4/2019).
“Survei menunjukkan bahwa 34,9 persen masyarakat yang selamat dari bencana karena bisa menyelamatkan diri sendiri. Sebanyak 31,9 persen selamat karena diselamatkan keluarganya. Sebanyak 28 persen diselamatkan RT/RW/komunitas. Artinya, 95 persen kemampuan kapasitas menyelamatkan nyawa ada di masyarakat. Sedangkan bantuan dari luar, karena butuh waktu, perannya hanya kurang dari 2 persen,” kata Wisnu.
Dengan pemikiran itu, Wisnu mengatakan, pengurangan resiko bencana harus berbasis komunitas, termasuk desa. “Saat ini, desa tangguh bencana jumlahnya 2.500 se-Indonesia. Jumlah itu akan meningkat dengan cepat karena kami bekerja sama dengan lembaga pendidikan. Di Jatim, kami bekerja sama dengan asosiasi pendidikan tenaga kesehatan. Kami menggunakan kekuatan kuliah kerja nyata (KKN) mereka untuk memfasilitasi desa-desa tangguh. Di Jatim nanti akan ada 200 desa tangguh lagi,” katanya.
Wisnu menambahkan, ketangguhan menghadapi bencana harus dimulai dari perorangan, meningkat ke keluarga, lalu ke komunitas terkecil seperti RT/RW/desa. “Sudah ada 53,2 juta orang mendaftar secara online menjadi relawan tanggap bencana. Ini adalah model penanggulangan resiko bencana berbasis komunitas. Memang tujuan tidak akan bisa langsung dicapai dalam 1-2 tahun, tetapi ini adalah salah satu model pendidikan risiko bencana,” katanya.
Ada empat hal, menurut Wisnu, yang patut dipahami dalam pengurangan risiko bencana, yakni pemahaman akan risiko, cara mengatasinya, berinvestasi terhadap pengurangan risiko bencana, serta latihan.
“Latihan itu untuk mengasah naluri kita untuk selamat. Ini harus dilatih terus menerus. Sekarang, untuk pelatihan, mungkin masih setahun sekali. Namun, harapannya, ke depan bisa setahun dua kali, tiga kali, dan seterusnya hingga sebulan sekali,” kata Wisnu.
Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, peran desa dalam penanggulangan bencana sangat penting. “Desa menjadi ujung tombak terselenggaranya penyelamatan ekosistem di daerah masing-masing. Kalau kepala desanya kuat dan punya komitmen tinggi untuk menjaga lingkungan, insyaallah banjir tidak ada,” katanya.
Ke depan, Doni mengatakan, tidak menutup kemungkinan BNPB bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dalam hal penanggulangan bencana. “Harus ada kerja sama dengan berbagai pihak," ujarnya.
Hal itu mengingat menyelesaikan persoalan kebencanaan tidak bisa sendirian. "Perlu metode pentahelix, yaitu kerja sama dengan pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan media massa,” kata Doni.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, masyarakat Jawa Timur bisa memperkuat desa tangguh dan kampung siaga bencana. Selain itu, masyarakat juga dapat meningkatkan sensitivitas dalam melihat gejala alam yang berbeda dari semestinya.
“Banjir adalah bencana alam tertinggi di Jatim. Kami punya banyak air, tapi kurang air bersih. Bencana lainnya adalah angin puting beliung, longsor, dan kebakaran hutan. Itu adalah empat besar bencana di Jatim,” kata Khofifah.
Oleh karena itu, Khofifah mengajak masyarakat Jatim untuk meningkatkan kecintaan terhadap alam dengan menghindari penggunaan plastik sekali pakai. “Kalau kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita,” katanya.