Persaingan di Tambora Challenge 2019 akan lebih seru. Kejar-kejaran antarpelari bisa disaksikan dari gawai ataupun komputer dalam Live Tracking yang terdapat di tamborachallenge.kompas.id.
SUMBAWA BESAR, KOMPAS — Juara bertahan dua tahun berturut-turut Kompas Tambora Challenge–Lintas Sumbawa 320K, Eni Rosita, sempat kehilangan motivasi, tahun lalu. Meskipun juara pada 2018, catatan waktunya menurun hampir 4 jam dalam lari sejauh 320 kilometer. Kali ini, dia bertekad memecahkan rekornya sendiri tahun 2017 yang tercatat 63 jam dan 42 menit.
Tahun lalu, Eni finis dengan catatan 67 jam 10 menit. Padahal, pada 2017, dia berlomba dengan kondisi kaki yang belum sembuh dari luka bakar akibat disiram air keras oleh orang tak dikenal.
Pelari bertubuh kurus itu lebih santai pada tahun lalu. Dia tidak termotivasi memenangi atau mencetak rekor baru. Tidak seperti sebelumnya saat dia ingin membuktikan diri setelah disiram air keras oleh orang tidak dikenal lima bulan sebelum lomba di ajang lari Mesastila Peaks Challenge, di Boyolali, Jawa Tengah.
”Kebanyakan istirahat. Tahun lalu lebih santai, tidak mengejar target waktu. Lebih banyak istirahat dan tidur. Hampir tiap check point (40 km) dan setiap 15 menit istirahat,” kata pelari asal Pemalang, Jawa Tengah, itu.
Sang juara bertahan akan kembali lagi ke Tambora Challenge 2019 pada 1-4 Mei 2019. Kali ini, pelari berusia 40 tahun tersebut membawa motivasi besar yang sempat hilang pada edisi lalu. Dia ingin memperbaiki rekor waktunya pada 2017, yang belum terkalahkan di kategori putri.
”Targetnya, waktu lebih baik lagi daripada 2017. Tahun ini tidak boleh nyantai seperti kemarin. Harus lebih fokus dan ngitung waktu di setiap check point,” ucap pelari yang baru saja merilis buku tentang kisah inspiratifnya berjudul A Story That Says I Survived.
Setelah mengikuti Lintas Sumbawa sejak 2016, Eni sudah berpengalaman dan memahami betul cara berlari di rute maraton ultra terekstrem di Asia Tenggara ini. Salah satunya yaitu mengatur asupan energi dan pola istirahat saat berlari.
”Ini penting banget biar enggak down fisiknya. Jangan sampai down dulu baru istirahat. Karena itu, harus ada manajemen waktu baik, kapan berhenti, makan, ataupun istirahat,” kata pelari kelahiran 1978 itu.
Pelari yang juga pegawai swasta itu menyiapkan makanan-makanan ringan untuk mencegah kebosanan yang bisa berujung menjadi rasa kantuk. Camilan, seperti permen, kacang, dan jeli, disimpan di dalam drop bag.
Wanita beranak dua tersebut akan ditantang pelari veteran, seperti Lily Suryani dan Mila Marliana. Ada juga pendatang baru di kategori individual, yaitu Santih Gunawan, yang tahun lalu juara di kategori relay.
”Saya pikir semua peserta putri punya kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana kondisi nanti di lapangan. Baik fisik maupun mental, kami sama-sama punya karena mereka sudah sering ikut maraton ultra,” ujarnya.
Menyaksikan langsung
Persaingan di Tambora Challenge 2019 akan lebih seru. Kejar-kejaran antarpelari bisa disaksikan dari gawai ataupun komputer dalam Live Tracking yang terdapat di tamborachallenge.kompas.id.
Tambora Challenge merupakan lomba lari maraton ultra paling ekstrem di Asia Tenggara. Para pelari harus berhadapan dengan perubahan cuaca ekstrem sepanjang 320 km di Sumbawa.
Pelari akan memulai lari dari Poto Tano hingga finis di Doro Ncanga. Pada siang hari, suhu bisa mencapai 40 derajat celsius. Temperatur akan turun pada malam hari, diikuti dengan angin kencang.
Pelari harus berlari pada siang dan malam, serta dalam kondisi terik ataupun hujan. Tahun ini, syarat lomba semakin sulit. Peserta individu harus finis dalam waktu 68 jam atau berkurang 4 jam dari batasan waktu edisi sebelumnya.