Ke Mana Sisa Suara Rakyat Hasil Pemilu?
Penerapan parliamentary threshold ikut menyebabkan hilangnya jutaan suara rakyat yang tak terwakili di parlemen. Akan tetapi, polemik di sekitar penerapan dan nilai ambang batas parlemen tak pernah menyentuh tujuan utama lahirnya ambang batas parlemen dalam pemilu di Indonesia.
Hasil hitung cepat pemilu 2019 dari berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa tak semua partai lolos ke Parlemen. Dengan ambang batas parlemen sejumlah 4 persen, hanya sembilan partai yang diprediksi lolos ke Senayan.
Setelah lolos masuk ke Parlemen, perolehan suara partai-partai tersebut dikonversi menjadi kursi berbasiskan daerah pemilihan. Dalam pemilu kali ini, konversi perolehan suara menjadi kursi menggunakan metode Sainte Lague. Setelah jumlah kursi tiap partai ditentukan, barulah jumlah suara yang didapat oleh tiap caleg menentukan siapa yang dapat duduk di kursi DPR.
Jadi, perlu tiga tahap hingga seorang caleg definitif masuk Parlemen. Mulai dari penentuan partai yang berhak masuk DPR lewat parliamentary treeshold, penentuan jumlah kursi perolehan tiap partai dengan metode Sainte Lague, hingga penentuan caleg yang berhak menduduki kursi yang diperoleh partai di tiap dapil. Di tiap tahap, bertebaran suara rakyat yang hangus dan tak terwakili di Parlemen. Berapa suara yang hangus dalam tiap tahap?
Untuk melihat duduk perkaranya, akan disertakan juga proses lahirnya parliamentary threshold dan juga kemudian penerapan metode Sainte Lague. Dari sana diharapkan akan tampak alasan mendasar dari setiap dari setiap tahap yang perlu dilalui dalam pemilu legislatif sehingga dapat dipertanggungjawabkan hangusnya suara dalam tiap tahap.
Ambang Batas Parlemen
Filter pertama bagi partai agar kadernya dapat masuk parlemen adalah adanya ambang batas parlemen (parliamentary treeshold). Syarat tersebut diatur dalam Undang Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Total suara yang didapat tiap partai dari tingkat DPR RI dipersentase berdasarkan total suara sah nasional pemilih yang masuk. Partai politik peserta pemilu harus memenuhi paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR (Pasal 414 ayat 1).
Perlu diingat bahwa dalam pemilu 2019, dengan jelas disebutkan bahwa syarat ambang batas ini hanya berlaku untuk penentuan kursi anggota DPR RI, tetapi tidak berlaku untuk anggota DPRD Provinsi dan DRD Kabupaten/Kota.
Di Indonesia, syarat ambang batas parlemen ini sudah muncul sejak tahun 2009 dan nilainya semakin naik dari pemilu ke pemilu berikutnya. Pada Pemilu Legislatif 2009, ambang batas parlemen adalah 2,5 persen, pada Pemilu Legislatif 2014 ambang batas parlemen adalah 3,5 persen, sedangkan pada Pemilu Legislatif 2019 ambang batas parlemen adalah 4 persen. Selain terdapat perbedaan nilai ambang batas parlemen, cakupan fungsi ambang batas juga mengalami perubahan dari tiap gelaran pemilu.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, ditetapkan ambang batas perolehan suara sebagai syarat partai politik diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR RI (Pasal 202). Syarat tersebut mulai dilaksanakan dalam Pemilu Legislatif 2009.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, syarat tersebut berubah. Disebutkan bahwa ambang batas perolehan suara tidak hanya menjadi syarat penentuan perolehan kursi DPR, tetapi juga menjadi syarat bagi partai untuk ikut pemilu selanjutnya. Partai politik yang dapat memenuhi ambang batas perolehan suara sah nasional ditetapkan sebagai peserta dalam pemilu berikutnya (Pasal 8).
Selain itu, cakupan penggunaan ambang batas perolehan suara meluas. Dalam UU No 8/2012, ambang batas perolehan suara tak hanya berlaku bagi penentuan kursi anggota DPR RI, tetapi juga berlaku bagi penentuan perolehan kursi anggota DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 208).
Berdasarkan UU tersebut, seharusnya partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tidak hanya tidak diikutkan dalam penghitungan perolehan kursi DPR, tetapi juga tidak diikutkan dalam penghitungan kursi DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan (Pasal 209).
Akan tetapi, MK dalam keputusannya nomor 52/PUU-X/2012 menyatakan bahwa ambang batas parlemen hanya berlaku untuk pemilu DPR RI. Oleh karena itu, penentuan anggota DPRD tidak terpengaruh oleh aturan ambang batas parlemen 3,5 persen.
Dalam Pemilu 2019 yang mendasarkan pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017, fungsi ambang batas parlemen kembali berubah. Ambang batas parlemen hanya berlaku untuk penentuan kursi di DPR RI. Selain itu, ambang batas parlemen tidak menjadi penentu keikutsertaan partai politik dalam pemilu selanjutnya.
Suara Hangus
Bagaimana dengan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen? Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah nasional tidak akan disertakan pada penghitungan perolehan suara DPR di setiap daerah pemilihan (pasal 415 ayat 1). Artinya, suara yang didapatkan oleh partai yang tidak lolos ambang batas parlemen dianggap hangus.
Pada Pemilu Legislatif 2009, dengan suara sah sebesar 104 juta, tercatat 18,6 juta suara hangus yang berasal dari parta-partai yang tidak masuk ke Parlemen. Jumlah tersebut merupakan 18 persen dari total suara sah pemilih dalam Pemilu Legislatif 2009.
Pada Pemilu Legislatif 2014, dengan peningkatan ambang batas parlemen sejumlah 3,5 persen suara sah yang tak masuk parlemen berkurang drastis hinggai 2,9 juta suara atau 2 persen dari suara sah. Untuk Pemilu Legislatif 2014, dapat disimpulkan sementara bahwa peningkatan nilai ambang batas parlemen dapat menurunkan jumlah suara sah yang hangus.
Akan tetapi, kesimpulan tersebut kemungkinan besar tak dapat dipertahankan dalam Pemilu 2019. Dengan peningkatan nilai ambang batas parlemen sejumlah 4 persen, diperkirakan akan terdapat 14,8 juta suara sah yang hangus, atau 10 persen dari total suara sah.
Dengan demikian, peningkatan nilai ambang batas parlemen tidak berbanding terbalik dengan penurunan jumlah suara sah yang hangus. Variabel yang mungkin mempengaruhi penurunan drastis suara sah yang hilang pada pemilu legislatif 2014 adalah berkurangnya jumlah partai politik yang bertarung.
Pada Pemilu Legislatif 2009, terdapat 38 partai politik yang ikut bertarung memperebutkan kursi di DPR. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi hanya 12 partai politik pada Pemilu Legislatif 2014. Pada Pemilu Legislatif 2019, jumlah partai politik yang bertarung menjadi 16 partai.
Dengan demikian, terdapat hubungan antara banyaknya partai politik yang bertarung dengan jumlah suara yang hilang di Parlemen. Semakin sedikit partai yang mengikuti pemilu, semakin kecil jumlah suara sah yang hangus. Lantas, seberapa efektif nilai ambang batas parlemen untuk menurunkan jumlah suara yang hangus?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat alasan penetapan ambang batas parlemen. Benarkah penetapan ambang batas dan penentuan nilai ambang batas didesain untuk menurunkan jumlah suara yang hilang?
Demi Efektivitas Pemerintahan
Dalam penjelasan UU nomor 8 tahun 2012, disebutkan alasan perubahan, termasuk penetapan, ambang batas suara (ambang batas parlemen) adalah demi mewujudkan tata pemerintahan presidensiil yang efektif. Kata kunci yang patut digarisbawahi adalah efektif.
Selain itu, dalam putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009 dijelaskan bahwa penerapan parliamentary threshold muncul dalam rangka menyederhanakan partai politik di Parlemen sebagai strategi penguatan sistem presidensiil.
Dengan kata lain, penyelamatan suara rakyat bukan menjadi fokus utama bagi penerapan parliamentary threshold. Yang lebih difokuskan adalah bagaimana cara menyederhanakan partai politik di Parlemen demi penguatan sistem presidensiil.
Sebagai negara yang memilih menggunakan sistem presidensiil, posisi eksekutif dan legislatif di Indonesia adalah sejajar. Artinya, presiden dan legislatif sama-sama mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat, mereka dipilih langsung dari rakyat.
Di sisi lain, pemilihan legislatif di Indonesia menganut sistem proporsional terbuka (UU No 17/2007 Pasal 168 ayat 2). Selain itu, Indonesia juga menjalankan sistem multipartai dengan menerjemahkan pernyataan implisit dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Dengan banyaknya partai, proses politik di Parlemen dan relasi Parlemen dengan Pemerintah rentan disusupi banyak kepentingan. Karena Undang-Undang merupakan hasil keputusan bersama DPR dan Pemerintah, pengambilan keputusan menjadi rentan untuk dibuat gaduh. Proses tersebut memungkinkan terjadinya kegaduhan politik yang diciptakan oleh para elite parpol di DPR. Akibatnya, kinerja pemerintah bisa terhambat.
Oleh karena itu, dibuat strategi agar para pembuat undang undang lebih fokus untuk meminimalisasi kegaduhan politik demi pemerintahan yang lebih efektif. Salah satu cara mengurangi potensi kegaduhan adalah dengan menerapkan ambang batas parlemen. Logikanya kurang lebih demikian.
Pertama, dengan penerapan ambang batas parlemen, diharapkan tercapai sistem multipartai yang sederhana karena hanya partai-partai dengan dukungan besar secara nasional yang dapat masuk ke Parlemen.
Kedua, dengan pembatasan partai yang masuk ke Parlemen, diharapkan bahwa lembaga perwakilan rakyat akan lebih kuat karena kesepakatan dan kerja sama akan lebih mudah tercapai.
Ketiga, penguatan lembaga perwakilan rakyat ini juga akhirnya dapat menguatkan sistem pemerintahan presidensiil. Pemerintahan diharapkan berjalan lebih efektif ketika mudah mendapat dukungan dari rakyat melalui wakilnya di parlemen.
Dari pemilu ke pemilu, nilai ambang batas parlemen mengalami kenaikan. Dengan kenaikan nilai ambang batas parlemen dari pemilu ke pemilu, logika yang coba dibangun adalah bahwa semakin tinggi nilai ambang batas, semakin sedikit pula partai yang dapat masuk ke Parlemen sehingga semakin minimal kegaduhan yang mungkin dilakukan. Diharapkan, Parlemen yang efektif mendukung juga efektivitas pemerintahan presidensiil.
Logika di atas dapat diuji salah satunya dari konfigurasi partai yang masuk ke Parlemen dalam pemilu 2009, 2014, dan 2019. Ternyata, kenaikan nilai ambang batas dari 2,5 persen ke 3,5 persen dan 4 persen tidak mengurangi jumlah partai yang masuk ke Parlemen. Bahkan, pada pemilu 2014, terdapat kenaikan dari 9 menjadi 10 partai yang masuk Parlemen padahal nilai ambang batas sudah dinaikkan dari 2,5 persen menjadi 3,5 persen.
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenaikan nilai ambang batas parlemen tidak berbanding lurus dengan harapan perampingan jumlah partai yang masuk ke Parlemen. Dengan demikian, tujuan efektivitas pemerintahan pun semakin jauh dari harapan.
Kritik Lain
Selain terbukti tidak efektif membatasi jumlah partai yang masuk Parlemen, pemberlakuan ambang batas parlemen juga menuai kritik. Dalam praktiknya, pemberlakukan nilai ambang batas ini akan mengurangi peluang caleg yang memiliki suara banyak, tetapi partainya tidak masuk parlemen.
Caleg pemilik suara terbanyak dalam suatu dapil, karena aturan ini, kehilangan kesempatan mendapatkan kursi apabila partai asal caleg tidak lolos ambang batas parlemen. Dari sisi pemilih, hal ini mengurangi mandat pemilih terhadap wakil pilihan mereka. Di sisi caleg, hal ini memunculkan persoalan tentang hak politik caleg yang tersandera oleh aturan ambang batas parlemen.
Dalam hal ini, perlu diingat bahwa yang disebut peserta pemilu legislatif adalah partai politik dan bukan orang per orang atau caleg (Pasal 22E Ayat 3 UUD 1945, ditegaskan lagi dalam pasal 1 Ayat 27 UU No 7/2017). Nama-nama caleg dimunculkan karena Indonesia menganut sistem proporsional terbuka (Pasal 168 Ayat 2 UU No 7/2017). Karena partailah yang menjadi peserta pemilu, kedudukan caleg dianggap sebagai perpanjangan atau wakil partai.
Di sisi lain, banyaknya partai yang bertarung dalam pemilihan legislatif sering dianggap sebagai penghambat bagi sistem presidensiil. Sistem multipartai dalam sistem presidensiil dianggap tidak ideal.
Di sinilah muncul pembenaran untuk melakukan strategi penyederhanaan terhadap partai politik dalam sistem multipartai. Pemberlakukan ambang batas parlemen, selama ini, dianggap sebagai cara untuk menyederhanakan partai yang dapat masuk ke Parlemen.
Oleh karena itu, pemberlakukan ambang batas parlemen memunculkan tarik-menarik kepentingan yang tidak setara antara hak caleg dan kepentingan untuk menyederhanakan partai politik.
Di Negara Lain
Bukan hanya di Indonesia, penetapan ambang batas juga dilakukan di negara-negara lain dengan berbagai variasi. Khusus negara-negara dengan sistem proporsional, penetapan ambang batas parlemen paling kecil dilakukan oleh Belanda dengan 0,67 persen dan paling tinggi Turki dengan 10 persen.
Nilai ambang batas yang digunakan variatif, dengan jarak yang sangat jauh, dari 0,67 hingga 10 persen. Tiap negara memiliki alasan masing-masing yang sangat khas negara tersebut. Baik angka 0,67 persen maupun 10 persen tidak memiliki dasar yang pasti.
Di Indonesia, penetapan angka 4 persen dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak dijelaskan asal-usulnya. Selain itu, terdapat perubahan angka ambang batas dari semula 2,5 persen menjadi 3,5 persen hingga saat ini 4 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa besarnya nilai ambang batas merupakan suatu kompromi. Karena merupakan suatu kompromi, nilai ambang batas sangat mungkin untuk dinaik-turunkan. Bahkan, terdapat celah hukum untuk menghilangkannya.
Dalam keputusan MK Nomor 52/PPU-X/2012 yang menguji ambang batas parlemen dalam pemilu 2014, terdapat pendapat berbeda yang diungkapkan oleh hakim konstitusi Akil Mochtar. Ia menyebutkan bahwa “penerapan model parliamentary threshold dalam sistem pemilu Indonesia tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian dalam rangka efektivitas sistem presidensiil melalui penguatan kelembagaan parlemen”.
Akil mememberi contoh penerapan ambang batas dalam Resolusi Nomor 1547 Dewan Parlemen Eropa Tahun 2007. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa dalam negara demokrasi yang mapan, seharusnya tidak menerapkan ambang batas lebih tinggi dari 3 persen dalam pemilu legislatif karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Menurut Akil, penerapan parliamentary threshold mengakibatkan terhambatnya saluran aspirasi dari kelompok minoritas yang dijamin UUD 1945.
Dalam putusan nomor 52/PPU-X/2012 tersebut Akil juga merujuk pada pendapatnya dalam putusan perkara MK Nomor 3/PUU-VII/2009. Ia menyebutkan bahwa “penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary threshold”.
Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa model parliamentary threshold dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Pendapat senada juga pernah disampaikan oleh hakim konstitusi Maruarar Siahaan dalam putusan perkara MK Nomor 3/PUU-VII/2009. Ia menyebutkan bahwa pasal-pasal mengenai Parliamentary Threshold (dalam kasus ini di dalam UU Nomor 10 Tahun 2008) bertentangan dengan UUD 1945 dan seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penyederhanaan Sistem Kepartaian
Seperti sudah disebutkan di atas, penerapan parliamentary threshold muncul dalam rangka menyederhanakan partai politik di parlemen sebagai strategi penguatan sistem presidensiil.
Secara sah, MK, dalam putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 dan Nomor 52/PPU-X/2012, menyebutkan bahwa penerapan parliamentary threshold tidak melanggar konstitusi. Menurut MK, lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik.
Akan tetapi, dalam pertimbangan (3.20) terhadap putusan MK nomor 3/PUU-VII/2009, MK juga menyebutkan bahwa pembentuk Undang Undang (legislatif) tidak konsisten. Menurut MK, pembuat Undang Undang terkesan bereksperimen dan tidak memiliki desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakan sehingga setiap menjelang pemilu selalu diikuti dengan pembentukan undang undang baru di bidang politik.
Pendapat tersebut diungkapkan kembali dalam dissenting opinion hakim konstitusi, Akil Mochtar dalam keputusan MK nomor 52/PPU-X/2012. Akil menyebutkan bahwa langkah yang diambil oleh pembuat undang undang dalam rangka penyederhanaan kepartaian tidak konsisten dan tidak memiliki desain besar (grand design) serta perencanaan yang matang.
Hal ini tampak jelas dari eksperimentasi yang dilakukan oleh pembentuk undang undang dengan mengubah, bahkan mengganti, undang undang di bidang politik setiap menjelang penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, anggota DPR 2019 yang segera terpilih memiliki pekerjaan rumah yang berat, yaitu membuat undang undang untuk mendefinisikan dirinya sendiri.
Bila penetapan ambang batas merupakan “sarana” bagi “tujuan” utama, yakni efektivitas pemerintahan presidensiil, perlu dicari formula baru bagi sarana atau malah sarana baru demi mencapai tujuan. Perlu dipastikan juga bahwa formula baru atau sarana baru yang akan dibuat menjamin minimalisasi suara rakyat yang hangus.
Evaluasi terhadap pemberlakukan dan nilai ambang batas parlemen perlu diletakkan dalam konteks tujuan awal pemberlakuannya, yakni efektivitas kinerja pemerintahan presidensiil. Tanpa menempatkan dalam kerangka tersebut, evaluasi terhadap pemberlakuan dan nilai ambang batas hanya akan berkutat pada kenaikan nilai semata. Padahal, nilai ambang batas ini semata merupakan hasil kompromi dan tak memiliki dasar apa pun.
Undang-undang yang mengatur penyederhanaan partai politik mendesak untuk segera ditindaklanjuti mengingat tanpa penyederhanaan partai politik, sistem presidensiil tak akan berjalan dengan efektif dan efisien. (MAHATMA CHRYSHNA/LITBANG KOMPAS)