Label "Tuna Indonesia" Ramah Lingkungan Siap Diluncurkan
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pelaku usaha penangkapan tuna Indonesia siap meluncurkan label produk tuna ramah lingkungan yang diberi merek “Indonesian Tuna”. Produk tersebut berasal dari hasil tangkapan tuna satu per satu dengan pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line).
Peluncuran “Indonesian Tuna” yang mengusung keberlanjutan dengan cara tangkap tradisional (Sustainable by Tradition) dijadwalkan berlangsung pada rangkaian Seafood Expo Global 2019 di Brussels, Belgia, awal Mei 2019. Label tuna Indonesia dari hasil tangkapan ramah lingkungan itu digagas oleh pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Hand Line Indonesia atau AP2HI.
Ketua AP2HI, Janti Djuari, di Jakarta, Senin (29/4/2019) menyatakan, peluncuran label “Indonesian Tuna” sejalan dengan target asosiasi memperoleh sertifikat dari Marine Stewardship Council atau MSC pada 2020. Proses sertifikasi ekolabel bagi nelayan pancing ulur dan huhate telah berjalan lima tahun untuk tiga wilayah, yakni Sulawesi Utara, Maluku Utara, serta Maumere dan Larantuka di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Produksi tuna dari nelayan yang menangkap satu per satu rata-rata baru 10 persen dari total produksi tuna, tongkol dan cakalang (TTC) Indonesia. Adapun data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, jumlah produksi tuna, tongkol, dan cakalang Indonesia mencapai 20 persen dari total produksi perikanan tangkap Indonesia tahun 2018 yang mencapai 6,72 juta ton.
“Penangkapan tuna dengan cara yang ramah lingkungan meningkatkan nilai jual produk, keberlanjutan suplai tuna, dan perikanan tangkap yang lestari,” kata Janti, di Jakarta,
Proses sertifikasi MSC ditempuh melalui kemitraan dengan organisasi International Pole & Line Foundation (IPNLF). Hingga saat ini, baru dua negara yang secara nasional menerapkan model penangkapan tuna satu per satu, yakni Maladewa, Indonesia. Selain itu, St Helena, wilayah persemakmuran Inggris.
Sertifikasi MSC mensyaratkan tata kelola perikanan berkelanjutan, antara lain pendataan dan ketertelusuran mulai dari nelayan, jenis kapal, daerah tangkapan, jenis ikan, pedagang, usaha pengolahan ikan, dan ritel. Produk tuna tersebut memiliki nilai jual 10-15 persen lebih tinggi ketimbang hasil tangkapan masif dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine).
Secara terpisah, Ketua II Asosiasi Tuna Long Line Indonesia (ATLI) Dwi Agus mengemukakan, upaya memenuhi sertifikasi MSC telah lama dirintis pemerintah bekerjasama dengan asosiasi. Pihaknya kini juga tengah menuju ke sertifikasi MSC untuk kapal rawai tuna (long line). Pertemuan awal untuk mempersiapkan proses sertifikasi MSC akan dilakukan mulai Mei 2019.
“Sertifikasi MSC akan meningkatkan dan mempermudah ekspor ke berbagai negara, bahkan produk tuna langsung masuk ke swalayan,” katanya.
Dwi Agus menambahkan, untuk memenuhi kualifikasi seritikasi MSC, sejumlah persyaratan wajib dipenuhi, antara lain ketertelusuran dari hulu ke hilir. Kapal rawai tuna juga selama ini dinilai menopang perikanan berkelanjutan.