Frans Sartono / Putu Fajar Arcana / Erwi Edhi Prasetya
·3 menit baca
Sekitar 11.000 penari merayakan Hari Tari Dunia di Solo dengan menari selama 24 jam. Ini sebagai bentuk ungkapan persaudaraan sebagai bangsa beragam.
SOLO, KOMPAS— Sekitar 6.000 penari dari 191 komunitas tari yang berasal dari beberapa daerah, seperti Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, berbaur di Kampus ISI Surakarta, Solo, Jawa Tengah, untuk menari dalam ”24 Jam Menari” yang digelar mulai Senin (29/4/2019) pukul 06.00 hingga Selasa (30/4) pukul 06.00.
Pada hari yang sama, Pemerintah Kota Solo juga menggelar ”Solo Menari Jaranan 5.000 Penari” di Stadion Sriwedari. Kegiatan ini melibatkan para pelajar SMP/MTs dan SD di Solo. Mereka menarikan secara bersama-sama tari Jaranan karya S Pamardi, dosen ISI Surakarta.
Perhelatan tari 24 Jam Menari yang memasuki penyelenggaraan ke-13 ini disemarakkan penari lintas generasi, mulai penari usia dini, pelajar, mahasiswa, hingga para maestro tari, seperti Retno Maruti dan Wahyu Santosa Prabowo. Ikut menari pula sejumlah anak berkebutuhan khusus, seperti penyandang disabilitas tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
Rektor ISI Surakarta Guntur mengatakan, 24 Jam Menari merupakan upaya merawat dan memajukan kebudayaan sekaligus menjaga keberagaman di Indonesia. Partisipasi berbagai lapisan masyarakat dari berbagai daerah menggambarkan miniatur negara Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
”Yang kami harapkan adalah melalui kesenian, melalui tari hari ini, ikatan sosial, kohesi sosial itu dipulihkan kembali. Ketika kemarin ada perbedaan satu dengan lain di masyarakat, dengan tari itu diharapkan menyatukan semuanya lagi,” kata Guntur.
Yang kami harapkan adalah melalui kesenian, melalui tari hari ini, ikatan sosial, kohesi sosial itu dipulihkan kembali.
Ia menyatakan, seni sesungguhnya merupakan bagian penting dari arsitektur kebangsaan. Simbol-simbol penting negara, seperti lagu ”Indonesia Raya” dan Burung Garuda, lahir dari proses estetika yang berakar pada kebudayaan ”tradisional” Indonesia. Bahkan, filosofi bangsa Indonesia, seperti persatuan dan keragaman, lahir dari kondisi riil kebangsaan.
Memberi pencerahan
Perayaan Hari Tari Sedunia yang ke-13, kata Guntur, terus dilakukan karena kesadaran bahwa tari memberi pencerahan dan menjadi bingkai kohesi sosial. ”Tari atau seni itu juga memberikan daya kepada masyarakat,” katanya.
Ketua Panitia Hari Tari Sedunia ISI Surakarta Eko Supriyanto mengatakan, sejak 13 tahun lalu, perayaan hari tari selalu diisi dengan menari selama 24 jam. Bentuk ini tidak sekadar memberi panggung kepada seniman, tetapi lebih menjalin relasi persaudaraan di antara perbedaan. ”Kita bangsa beragam selayaknya menjalin komunikasi yang langsung menyentuh hati lewat seni,” kata Eko.
Pada konteks saat ini, menurut Eko, Indonesia membutuhkan bentuk-bentuk komunikasi yang lembut dan langsung menyentuh pada realita. Ketika komunikasi lewat jalan politik sering kali menemukan perseteruan, seni menjadi medium yang mendekatkan hati.
Indonesia membutuhkan bentuk-bentuk komunikasi yang lembut dan langsung menyentuh pada realita.
Para peserta menari selama 24 jam, kata Eko, berasal dari sejumlah daerah, bahkan ada yang berasal dari Timor Leste. Pergelaran tari-tarian dari berbagai daerah itu akan secara konkret menunjukkan keberagaman bangsa Indonesia.
Menurut budayawan dan koreografer, Sardono W Kusumo, tarian rakyat dari mana pun asalnya selalu mengandung keintiman dalam komunikasi. Pada tubuh orang Indonesia secara tradisional memiliki memori nature-culture yang menjadi bahasa kecerdasan. ”Lewat keragaman bahasa tubuh itulah, orang Indonesia berkomunikasi satu sama lain,” katanya.
Memori nature-culture, tambahnya, melahirkan para genius lokal. Inilah yang menjadi modal penting dalam terus-menerus menjalin silaturahmi kebangsaan di Indonesia.