Elite politik hendaknya menghargai ekspresi demokrasi rakyat Indonesia yang sudah ditunjukkan dalam Pemilu 2019. Apabila diabaikan, pematangan demokrasi Indonesia yang sudah berada di jalur yang tepat akan menjadi sia-sia.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elite politik hendaknya menghargai ekspresi demokrasi rakyat Indonesia yang sudah ditunjukkan dalam Pemilu 2019 dengan cara patuh pada hukum yang ada. Apabila diabaikan, pematangan demokrasi Indonesia yang sudah berada di jalur yang tepat akan menjadi sia-sia.
Pematangan demokrasi sudah berada di jalur yang tepat, menurut Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, dengan berkaca pada gelaran pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018, khususnya pada pemilihan gubernur Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan; empat provinsi dengan populasi yang besar.
Hasil kontestasi dari keempat pilkada tersebut dinilai sebagai bentuk manifestasi konsensus politik nasional yang lebih demokratis dan tidak lagi tersentralisasi.
Para gubernur yang terpilih—Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, dan Nurdin Abdullah—semuanya memiliki rekam jejak yang jelas dalam pemerintahan dan tergolong teknokrat.
Pilihan politik nasional pada awal masa Reformasi yang mendorong pembangunan yang terdesentralisasi melalui otonomi daerah akar dari pencapaian ini. Proses pemilu terbukti berhasil memberikan hasil yang baik.
”Ini buah dari proses demokrasi yang sudah berjalan sejak 1999, yaitu otonomi daerah. Ini berhasil menghasilkan pemimpin dari daerah. Ini artinya kita sudah on the track,” tutur Philips dalam diskusi bertajuk ”Menakar Kedewasaan Demokrasi Indonesia” yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Jakarta, Selasa (30/4/2019) petang.
Berangkat dari pemikiran yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyayangkan jika ada narasi yang kurang mengapresiasi ekspresi rakyat yang disalurkan melalui pemilu.
Narasi-narasi yang dimaksud adalah wacana yang membangun ketidak-percayaan kepada institusi negara dan prosedur demokrasi serta mengesampingkan penyelesaian melalui jalur hukum, termasuk pengerahan people power yang pernah disampaikan sejumlah elite politik.
”Rakyat kita sudah secara genuine menunjukkan komitmen pada demokrasi, semestinya elite juga menunjukkan komitmen yang sama,” ucap Titi.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan pun berpandangan sama. Menurut dia, elite politik memiliki tanggung jawab untuk terus menjaga proses pendewasaan demokrasi di Indonesia. Salah satu cara adalah menanamkan kepercayaan atas supremasi hukum dan institusi negara, seperti penyelenggara pemilu.
”Hal-hal ini penting dalam proses pendewasaan demokrasi. Tetapi, ini malah ada bagian dari elite yang justru menimbulkan setback (pemunduran) dalam proses demokrasi kita,” ujar Bara.
Hal-hal ini penting dalam proses pendewasaan demokrasi. Tetapi, ini malah ada bagian dari elite yang justru menimbulkan setback (pemunduran) dalam proses demokrasi kita.
Untuk itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, sebaiknya para elite tetap memegang moral dalam politik.
”Siapa yang kalah harus memperbaiki diri dan yang menang tidak boleh euforia karena harus mewujudkan janji-janji kampanye. Mari kita jaga kedewasaan politik untuk mengikuti seluruh kerangka hukum,” kata Hasto.
Meski demikian, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Ferry Juliantono mengingatkan bahwa unjuk rasa, demonstrasi damai, masih berada dalam kerangka hidup demokrasi. ”Tidak boleh kegiatan itu dianggap sama dengan kegiatan yang inkonstitusional,” ujarnya.
Ferry mengatakan, pihaknya pun sebetulnya mengakui keberhasilan pemilu, khususnya dalam aspek partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dinilai tidak hanya muncul dalam bentuk angka partisipasi yang tinggi, tetapi juga besarnya partisipasi mereka dalam memantau dan mengawasi.
Berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas, partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 81,78 persen. Jika ini selaras dengan hasil penghitungan secara manual oleh KPU, partisipasi pemilih itu lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu lima tahun lalu yang hanya 75,1 persen pada pemilu legislatif dan 68,4 persen pada pemilu presiden.