Saat Pembangunan Besar-besaran Tetap Ada di Jakarta
Oleh
Nina Susilo dan Suhartono
·3 menit baca
Pemindahan Ibu Kota negara bisa-bisa saja direalisasi, tetapi pembangunan Jakarta sebagai pusat perdagangan atau kota niaga harus terus berlangsung di masa datang.
Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke wilayah lain, kemarin, dibahas serius dalam rapat terbatas atau ratas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Inilah ratas yang keempat khusus membahas persiapan pemindahan ibu kota negara. Meskipun prinsip pemindahan sudah disetujui dalam ratas, pemindahan ibu kota tak akan menghentikan pembangunan masif di Jakarta dan sekitarnya, demikian pula pembenahannya. Pemindahannya pun bukan instan, tetapi lewat kajian mendalam sehingga butuh waktu panjang untuk secara resmi memindahkan ibu kota negara.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pekerjaan rumah Jakarta tetap harus diselesaikan kendati ibu kota dipindah. ”Masalah daya dukung lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, soal pengelolaan udara, pengelolaan limbah, dan transportasi masih menjadi PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan,” ujarnya seusai ratas kemarin di Kantor Presiden, Jakarta.
Dalam ratas, Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa pembicaraan mengenai ibu kota ini tak ada hubungannya dengan rencana pembangunan besar-besaran di ibu kota. Sebab, rencana tersebut tetap akan dikerjakan dan berjalan. Rencana pemindahannya pun sudah dibahas sejak era presiden pertama RI, Soekarno, pada 1957, Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Presiden Jokowi, mulai 2017.
Sebelumnya, ada tiga opsi untuk memindahkan ibu kota. Selain pemindahan ke sekitar Istana Negara atau dibuat distrik khusus, juga pemindahan ke sekitar Jakarta, dan opsi terakhir memindahkan ibu kota ke luar Jawa atau kawasan Indonesia timur.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menambahkan, pembangunan Jakarta dan wilayah sekitarnya untuk menata transportasi Jabodetabek serta pembenahan kawasan permukiman dengan anggaran sekitar Rp 571 triliun tetap dilaksanakan. Kendati ibu kota Indonesia tidak di Jakarta, Jakarta tetap akan ramai sebagai pusat perdagangan atau kota niaga.
Pemindahan tersebut terbatas pada urusan pemerintahan. Dalam ratas, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, pemindahan hanya pada fungsi pemerintahan, yaitu eksekutif, kementerian/lembaga, legislatif, parlemen (MPR/DPR/DPD), yudikatif (kehakiman, kejaksaan, MK, dan seterusnya), pertahanan dan keamanan (TNI/Polri), serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia.
Adapun fungsi jasa keuangan, perdagangan, dan industri, kata Bambang, tetap di Jakarta. Kantor Bank Indonesia, OJK, dan BKPM tetap di Jakarta. Konsep ini ditiru dari beberapa contoh yang berhasil di beberapa negara.
Pemindahan ibu kota ke lokasi baru untuk memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. ”Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, bahkan menjadi pusat bisnis yang levelnya regional, Asia Tenggara. (Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas)
Sejumlah menteri dan kepala lembaga yang hadir antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan A Djalil, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Selain itu, hadir pula beberapa kepala daerah, seperti Gubernur DKI Anies Baswedan, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Wali Kota Bogor Bima Arya, dan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany.
Daya dukung kurang memadai
Pemindahan ibu kota dinilai perlu karena daya dukung Jakarta sebagai pusat pemerintahan ataupun pusat ekonomi sudah tidak memadai. Selain itu, pemindahan diharapkan membentuk ibu kota yang sesuai dengan identitas Indonesia dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa.
Saat ini, semua hal berpusat di Jawa. Sebanyak 57 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa, sedangkan wilayah seperti Kalimantan hanya dihuni 6 persen penduduk, Sulawesi 7 persen, dan Papua Maluku 3 persen. Adapun Sulawesi menjadi tempat tinggal 21 persen penduduk Indonesia.
Jawa juga menyumbang 58 persen produk domestik bruto Indonesia. Kesenjangan ekonomi sosial semakin tajam. Akibat segala hal berpusat di Jawa, setiap tahun 40.000 hektar sawah produktif beralih fungsi menjadi permukiman.
Oleh karena itu, dalam jangka panjang, dari tiga opsi yang ada, Presiden tampaknya cenderung memilih untuk memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Namun, semuanya itu harus dilakukan kajian secara mendalam terlebih dahulu. Pasalnya, memindahkan ibu kota negara bukan perkara gampang dan instans.
Seperti disampaikan Wapres Kalla kepada Kompas semalam, Malaysia memindahkan ibu kota negaranya dari Kuala lumpur ke Putradjaja membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dari ide awal pada 1980, dan penetapan secara resmi Putradjaya sebagai ibu kota negara baru pada 2001. ”Bisa saja penetapan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke tempat lain baru 2024 atau setelahnya,” kata Wapres Kalla.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.